o... ;P

ya klo jd permanent residence mah lain ceritanya atuh mbak hehe...
malah byk keuntungannya bukan? ;)


On 5/14/07, Lif Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Bukan.....tapi apply for permanent residence....hehehehe, imigran gelap
tidak ada dalam pikiranku...hiiiiii pernah nonton film imigran gelap dari
china....

On 5/14/07, 2Fa <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> maksutnya mo jd imgran gelap bu ?
>
> _sol_
>
>
> On 5/14/07, Lif Rahayu <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> > Hmmmm, makasih, Pak, secara nyaris saja saya dan suami ikut2an gini,
ke
> > australia. Padahal, yo baik2 aja di indonesia, akhirnya ya gak
jadi....
> >
> >
> >
> > On 5/14/07, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > >
> > > Kisah Anwar-Khonik di Negeri Mimpi
> > >
> > > "Saya kepingin pulang," kata Khonik dengan wajah sendu, saat ditemui
> > Gatra
> > > di kamar 486, Unit Psikiatri Rumah Sakit Universitas Pennsylvania,
> > > Philadelphia, Amerika Serikat. Wanita itu baru tenang hatinya
setelah
> > > diyakinkan bahwa dia segera pulang beberapa hari lagi.
> > >
> > > Khonik memang mengalami tekanan jiwa cukup berat. Bayangkan, sejak
> > > kedatangannya ke Amerika Serikat dua tahun lalu, ibu berusia 30
tahun
> > itu
> > > tak henti-henti didera kemalangan. Dua anaknya diambil hak asuhnya
> oleh
> > > Pemerintah Amerika Serikat, sedangkan suaminya dideportasi alias
> > dipulangkan
> > > secara paksa ke Indonesia. "Dia lebih menderita dari saya," ujar
> Anwar,
> > > suaminya, saat dihubungi di Surabaya dari Amerika.
> > >
> > > Seperti halnya keluarga muda, Anwar Muhammad dan Khonik Insiyah
> awalnya
> > > bahagia. Sebagai lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya,
> Anwar
> > > mampu mencukupi kebutuhan keluarga dengan mengajar bahasa Inggris di
> > > berbagai lembaga kursus di "kota pahlawan". Namun, demi memperbaiki
> > nasib,
> > > Anwar tergiur berangkat ke Amerika Serikat pada 2001.
> > >
> > > Awalnya Anwar bekerja sebagai buruh serabutan. Dua tahun kemudian,
> saat
> > > Amerika mencanangkan "wajib lapor" bagi warga asing, Anwar yang
hanya
> > > mengantongi visa turis ikut mendaftarkan diri. Seperti kaum imigran
> > > Indonesia lainnya, ia mengajukan suaka politik agar mendapat izin
> kerja.
> > > Juga biar merasa lebih aman.
> > >
> > > Nah, agar gampang diberi suaka politik, atas usul pengacaranya,
Anwar
> > > perlu membuat alasan yang masuk akal. Pria 35 tahun kelahiran
> Pasuruan,
> > Jawa
> > > Timur, ini pun mengarang bahwa dia mantan anggota organisasi militan
> > Islam
> > > di Jawa Timur yang diburu karena dianggap membelot.
> > >
> > > Cerita karangan itu berhasil. Anwar pun mengantongi izin kerja
resmi.
> > > Sambil menunggu permohonan suakanya diproses di pengadilan, Anwar
> > bekerja di
> > > tempat lebih layak dibandingkan dengan warga Indonesia lainnya. Ia
> bisa
> > > menjadi pengantar piza Papa John atau menjadi tukang parkir,
misalnya.
> > > Apalagi, Anwar tergolong pekerja keras sehingga "Hasilnya lumayan
> sampai
> > ia
> > > bisa beli mobil sedan di Amerika dan rumah di Sidoarjo," tutur
> > > teman-temannya.
> > >
> > > Agar ikut menikmati kehidupan yang lebih baik, diajaklah Khonik
> bersama
> > > anak perempuannya, Farah Husniatuz Zahra, ke Philadelphia pada 2005.
> Di
> > > sinilah kemalangan berawal. Suatu hari, Anwar ditelepon petugas INS
> > (Badan
> > > Imigrasi Amerika) untuk diproses permohonan suakanya. Tanpa curiga,
ia
> > pun
> > > datang keesokan harinya ke kantor imigrasi. "Sampai di sana saya
> > langsung
> > > diborgol dan dipenjara, padahal proses banding tengah berlangsung,"
> > katanya.
> > > Belakangan baru disadari, ia dituduh terlibat kelompok Islam militan
> > yang
> > > diburu Amerika. "Lha, itu kan cerita ngarang saja," ujar Anwar.
> > >
> > > Ditinggal beberapa bulan, Khonik pun mengalami krisis keuangan
> sehingga
> > > terpaksa bekerja. Apalagi, Rahmadani Fitri Muhammad, anak keduanya,
> > lahir
> > > prematur tujuh bulan akibat ibunya stres, sehingga butuh biaya
ekstra.
> > > Karena meninggalkan anak-anak balita dilarang di Amerika, Khonik
tidak
> > bisa
> > > bekerja jauh-jauh. Sehingga ia bekerja di toko pemilik apartemennya
di
> > > Warung Surabaya, yang terletak di lantai dasar.
> > >
> > > Beberapa hari berjalan seperti biasa, sampai terjadi musibah.
> Rahmadani
> > > jatuh dari gendongan Farah, kakaknya, berguling dari tangga lantai
II
> ke
> > > bawah sehingga mengalami perdarahan di kepala. Baru keesokan harinya
> si
> > > bocah dibawa ke rumah sakit, dan Khonik berkelit bahwa dia yang
> > menjatuhkan
> > > bayinya. Alasan Khonik tidak cocok dengan diagnosis dokter setempat,
> > yang
> > > membuktikan bahwa bayinya gegar otak lantaran jatuh dari tempat yang
> > tinggi.
> > > Bukan dari gendongan orang dewasa. Lantas, ke mana ibunya waktu
> > kejadian?
> > >
> > > Pertanyaan itu bagaikan mengorek kejujuran Khonik yang ingin
> melindungi
> > > anak tertuanya, Farah, melindungi pemilik apartemen, dan ingin
> menutupi
> > > statusnya sebagai imigran gelap. Semuanya terbongkar, dan Khonik
> > digiring ke
> > > penjara dengan minimal empat tuduhan: menelantarkan anak balita,
> > berbohong
> > > kepada petugas, menjadi imigran gelap dan, kalau tidak salah, ikut
> > mendukung
> > > suaminya sebagai anggota kelompok militan. Keempat tuduhan itu baru
> > > disidangkan setelah persidangan mengenai perwalian anaknya, yang
baru
> > > digelar pekan lalu.
> > >
> > > Siang itu, Khonik digiring ke penjara kriminal wanita di State Road,
> > > Pennsylvania, sedangkan Rahmadani diambil Department of Human
Services
> > > (Kantor Pelayanan Masyarakat) dan diasuh oleh sebuah keluarga
Amerika.
> > > Sementara Farah dititipkan ke Rosamelati Andawesi, teman Khonik
sesama
> > > kelompok pengajian di Philadelphia. "Saya nangis dan bingung. Saya
mau
> > > diapain," tutur Khonik, yang tidak mampu berbahasa Inggris itu.
> > >
> > > Setelah dua hari di penjara, Khonik dibebaskan dengan uang jaminan
US$
> > 260
> > > --dari semula US$ 2.600, berkat diplomasi petugas sosial Amerika.
> Malam
> > > hari setelah menerima uang jaminan, pihak penjara mengeluarkan
Khonik.
> > Ibu
> > > muda itu ditinggalkan begitu saja di tempat parkir pada malam hari
di
> > musim
> > > dingin. "Saya bingung, tolah-toleh nggak ada orang. 'Wait here! Saya
> > bisa
> > > antar Anda setelah pulang kerja pukul 11 malam nanti,' kata
pengantar
> > saya
> > > orang Cina," ujar Khonik.
> > >
> > > Setelah hampir satu jam, sebuah mobil tiba, dan Khonik langsung
> > > menghampirinya sambil memberi isyarat hendak meminjam telepon. Ia
lalu
> > > menelepon Rosa, yang kemudian datang menjemputnya malam itu. Mereka
> > berdua
> > > pun pulang ke kediaman Rosa di kawasan selatan Philadelphia.
> > >
> > > Selama ditinggal suaminya bertugas ke Irak selama tiga bulan, Rosa
> > > bersedia menampung Khonik dan Farah. Selama beberapa pekan menunggu
> > > persidangan digelar, Farah bisa bersekolah dan bermain bersama
> anak-anak
> > > Rosa. Sedangkan Khonik membantu membersihkan rumah. Entah karena
stres
> > > berat, pikiran Khonik pun sering goyang. Ia menanggalkan jilbab yang
> > selalu
> > > dipakainya selama ini. "Ia merasa, gara-gara jilbab itu, ia
ditahan,"
> > tutur
> > > Rosa dan teman-teman lainnya. Ia memotong rambutnya sebahu,
mengenakan
> > > giwang, dan bersolek.
> > >
> > > Yang fatal, suaminya meminta dicarikan pengacara untuk
membebaskannya.
> > > Permintaan ini membuat Khonik jadi tertekan. Ia bermaksud mencari
uang
> > untuk
> > > membayar pengacara dan mendatangi agen tenaga kerja, tetangga Rosa.
> Rasa
> > > cinta dan tanggung jawab pada Anwar dan kedua anaknya membuat Khonik
> > ingin
> > > cepat bekerja.
> > >
> > > Agen itu senantiasa didatanginya tanpa kenal waktu. Dan tiga pekan
> lalu,
> > > Khonik menggayuti mobil sang agen agar dibawa ikut bekerja. Tentu
saja
> > > tindakan ini mengganggu lingkungan di sekitarnya, sehingga polisi
> datang
> > > bersama petugas pelayanan masyarakat. Singkat kata, Khonik dibawa ke
> > Rumah
> > > Sakit Universitas Pennsylvania untuk dirawat di unit psikiatri.
> > >
> > > Ke mana Farah? "Karena saya bukan orangtuanya, dia diambil petugas
> > > pelayanan masyarakat dan dititipkan di sebuah keluarga Amerika,"
kata
> > Rosa,
> > > yang tak mampu berbuat apa-apa. Sampai pekan lalu, kondisi Khonik
> mulai
> > > membaik dan bergaul dengan sesama penderita, walau sesekali diam
> > termangu di
> > > tempat tidur. "Banyak zikir dan baca Al-Quran biar pikiran nggak
> > ngelantur
> > > ke mana-mana," kata seorang penasihat spiritualnya. Khonik baru tahu
> > bahwa
> > > Anwar sudah dideportasi ke Indonesia.
> > >
> > > Bagaimana nasib kedua anaknya? Atas saran Iwanshah Wibisono, Konsul
> > Bidang
> > > Penerangan Konsulat Jenderal RI (KJRI) di New York, teman-teman
Anwar
> > dan
> > > Khonik diminta menyampaikan surat permohonan agar perwalian Farah
> > dialihkan
> > > pada keluarga Rosamelati dan Firdaus yang hanya memiliki dua anak.
> Surat
> > > permohonan yang dilampiri keterangan dari KJRI New York serta dari
RW
> > dan RT
> > > di Sidoarjo itu disampaikan ke Pengadilan Philadelphia pekan lalu,
> agar
> > > diluluskan. Sedangkan Rahmadani masih perlu dirawat orangtua asuhnya
> > yang
> > > kebetulan seorang perawat.
> > >
> > > "Saya tidak sempat melihat anak saya," kata Anwar dengan suara
menahan
> > > haru. Adapun Khonik diperkirakan bakal dibebaskan dari rumah sakit
> pekan
> > ini
> > > karena dianggap sehat. Ia selalu membawa tidur foto Rahmadani. "Kini
> > berat
> > > badannya tujuh kilo dan menunggu gips kakinya dilepas," ujar Khonik
> > sambil
> > > memandangi gambar bayinya yang gemuk. Sayang, Khonik masih harus
sabar
> > untuk
> > > pulang ke kota kelahirannya, Ngawi, Jawa Timur, karena menunggu
proses
> > > pengadilan yang lama. Siapa bersedia membantu?
> > >
> > > Didi Prambadi (Philadelphia)
> > > [Internasional, Gatra Nomor 26 Beredar Kamis, 10 Mei 2007]
> > > http://www.gatra.com/artikel.php?id=104532
> >
>

Kirim email ke