Sering kali kalau saya meng-interview seseorang karyawan baru khusus untuk 
departemen kami, senantiasa terlontar sebuah pertanyaan sangat menentukan 
sikap. Saya menanyakan, apa alasan ybs mau bekerja di perusahaan/departemen 
kami.

Jawaban sangat bervariasi dan sebagian besar menjawab dengan klise seperti 
"untuk menambah pengalaman", "menambah ilmu" dsb. Mereka biasanya setelah 
diberikan kesempatan untuk memperjelas alasan yang tepat, akhirnya 
ujung-ujungnya mengatakan "mencari uang".

Nah, disini saya selalu terkenang akan masa lalu dimana setelah lulus S1, 
saya tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan S2 karena memang kebutuhan 
akan uang tidak tercukupi bila harus memaksakan diri "mencari ilmu". Tetapi 
saya berhasil "menghibur diri" dengan menggunakan alasan logika, bahwa 
dimana tempat saya bekerja dan berkarir adalah S2 saya dan begitu seterusnya 
karena keinginan saya untuk mau terus belajar entah sampai kapan...

Kembali dengan interview, mereka biasanya mencoba merenungkan ide saya sbb: 
Bagaimana bila Anda merefleksikan sikap "mencari uang" itu kedepan. Mereka 
saya ijinkan memperkirakan apa yang dijawab seorang maling yang diinterogasi 
oleh polisi. Ya mungkin dengan cara yang lebih keras supaya sang tawanan tsb 
menjawab "mengapa mencuri". Tentu saja mereka dan Anda juga bisa menjawabnya 
dengan mudah bukan? Mereka "butuh/mencari uang" untuk hidup...

Saya selalu mencoba mengingatkan, bahwa tentu saja ucapan "mencari uang" 
tidak salah, tetapi akan menjadi bumerang bila mereka ucapkan dengan penuh 
motivasi yang serius atau menjadi keinginan! Otak kita sangat pintar, 
sehingga bila ada instruksi/motivasi yang masuk dengan sadar dan tidak sadar 
otak kita akan bekerja dengan keras mengejar target tersebut, misalnya 
"mencari uang". Maka amat sangat mungkin tahap-tahap yang terjadi bisa saja 
sbb: mulai menghitung-hitung untung-rugi antara gaji dan jam kerja, 
meng-korupsi waktu dan akhirnya materi. Hal ini biasanya akan menimbulkan 
stress yang tidak sehat. Otak kita akhirnya me"rekomendasi"kan atau "tidak 
bisa lagi membedakan" mana uang pribadi dan uang perusahaan.

Dan biasanya Boss/Owner Perusahaan pastilah bukanlah orang bodoh, dia 
justeru akan main lebih sadis dengan perhitungan untung-rugi dengan 
karyawan. Bisa ditebak juga bukan bila hal ini terjadi siapa yang bakal 
lebih "pintar" yang bakal mendapatkan keuntungan? Bila pun didapat, bukankah 
itu dari hasil yang tidak FAIR? Dan bila sang karyawan dan pimpinan jadi 
"adu ulet" maka bisa dibayangkan sirkuit lingkaran setan yang dibentuk.

Biasanya, sang karyawan baru akan tercenung, dan disinilah saya membagikan 
tips agar sang karyawan bisa lebih berdaya guna:

Saya menceritakan kasus saya ketika ingin belajar lebih lanjut tapi nggak 
punya uang seperti diatas, lalu bertekad belajar dimanapun saya mendapat 
kesempatan. Dan biasanya saya ajak sang karyawan mau belajar atau tidak 
dengan tips ini.

Di tempat kerja atau "kampus" baru ini sang karyawan adalah "siswa" dan saya 
menjadi pembimbing/guru yang bertanggung jawab atas karir/study ybs. Karena 
toh, dimana-mana ya memang seorang pemimpin harus mengajar dan membimbing 
bukan? Bila ybs berprestasi, akan disediakan Promosi dan kemungkinan "naik 
kelas". Bagi para Pemimpin, poin ini sering dilepas, dia mengajar tetapi 
tidak mengikat sang karyawan untuk tetap semangat belajar selama masih 
bersama-sama.

Menggunakan logika, bahwa karena ybs belajar maka mendapatkan istilah "uang 
jajan" sebagai pengganti istilah "gaji". Dari poin ini saja otak kita 
rasanya langsung lebih lega karena tidak lagi berhitung-hitungan dengan 
input-output kerja. Bahkan di "kampus" baru ini ybs tidak perlu membayar 
uang kuliah tetapi justeru menerima seluruh perangkat "belajar"nya dia 
seperti: seragam, komputer, ruangan dsb.

Selalu saya tanyakan, apakah uang jajan saat sekolah/kuliah lebih besar atau 
tidak dengan "uang jajan" yang dia terima di "kampus" ini. Untuk yang ini 
jawaban mereka 100% setuju bahwa "uang jajan" mereka sudah lebih baik. 

Istilah "belajar" dan "kampus" baru buat seorang yang serius akan berdampak 
dahsyat seperti: kita akan menemukan bahwa otak kita bila sedang belajar 
akan menciptakan prestasi-prestasi yang mustahil akan diberikan oleh orang 
yang bermotif mencari duit.

Terbukti bukan, saat dulu kita sekolah/kuliah, walaupun berantem atau 
dimarahin Guru, demi ilmu kita tetap masuk dengan semangat untuk lulus 
bukan? Bahkan untuk tim kami disinilah kami membuat prestasi saat dulu 
kuliah menjadi juara LKIP tingkat Nasional, padahal modal kami cuma satu 
BELAJAR.

Karyawan-karyawan di departemen kami mencapai rekor tertinggi dalam sejarah 
perusahaan, yaitu melakukan penjualan lebih dari 10 kali target! 

Sebagian model seperti ini juga kami praktekkan di tempat dimana kami 
ber-organisasi, bahkan juga saat kami memberikan konseling dan program TRAIN 
the TRAINER. Bahwa semua anggota tim bisa lebih sukses dari pada saya 
sendiri dan karena tanpa pamrih, saya hanya bisa terus menyampaikan model 
"BELAJAR" seperti ini dimana pun dan pasti SUKSES. Salah seorang "office 
boy" kami telah menjadi National Sales Manager dalam waktu 10 tahun. 

Sangat banyak alasan yang diberikan orang ketika mereka sudah capek-capek 
lulus kemudian dengan mudahnya mengganti motivasi yang benar dengan 
motivasi/keinginan mencari uang.

Coba renungkan, kalau Tuhan demikian besar dan dahsyat menurut ukuran 
orang-orang beriman, apakah layak motivasi utama seseorang bekerja adalah 
hanya "mencari uang"? Bukankah seharusnya bisa lebih baik dari makhluk 
lainnya yang memang dipersiapkan hanya untuk "mencari makan". 
Saya banyak bertanya kepada para orang tua dan pembina rohani berbagai 
kalangan, ternyata ini adalah salah satu dosa turunan Feodalisme. Bayangkan 
setelah 350 tahun dijajah, inilah paradigma yang keluar dari para generasi 
tua kepada yang muda: "cepat belajar dan lulus supaya bisa cari uang"...

Mungkin, sekedar membandingkan, kalau sungguh2 para generasi tua maunya 
begitu, sebaiknya jangan sekolahkan mereka, karena tidak mungkin balik 
modal! Coba bayangkan, uang pangkal SD saja sudah 5-10 juta. Kuliah di UI 
saja butuh Rp. 150 juta. Sedangkan lulusan Sarjana sudah jamak bersedia 
dengan gaji di bawah UMR. Sebaiknya, mulai sekarang investkan uang 
pangkal/sekolah mereka dengan sesuatu buat mereka yang nanti langsung bisa 
jualan kalau sudah besar, seperti misalnya (maaf) warung.

OK, menurut saya, sudah waktunya OTAK kita diberikan tugas yang lebih mulia 
yaitu "BELAJAR". Karena saat seseorang belajar, prestasi pasti mengikuti. 
Dan saat belajar dan bekerja, maka setiap orang pasti menerima UPAH bukan? 
Jadi, ajak generasi sekarang memutuskan rantai/kuk "mencari uang" karena itu 
buat makhluk yang kesulitan memahami apa arti belajar. Tips Ini bagi yang 
sedang bekerja.

Nah, TIPS bagi yang sedang mencari kerja, coba renungkan baik-baik apa 
jawaban yang harus disiapkan bila di-interview, yaitu APA KEBUTUHAN ANDA 
YANG PASTI MENGUNTUNGKAN DAN TIDAK MERUGIKAN PERUSAHAAN?. Jangan lagi 
bersilat kata karena bila kita tidak siap mental, sang interview dengan 
mudah me"nekan" Anda sehingga Anda merasa sangat "murah" dimata sang 
interview. Bila ini yang terjadi, maka dalam proses transaksi, sulit untuk 
dikatakan kondisi tersebut "win-win".

Bila Anda masih kesulitan untuk membersihkan "suara-suara" yang meminta Anda 
untuk segera "mencari uang", perbanyaklah doa dan baca kitab suci kemudian 
bila sempat diskusikan dengan kami untuk dibantu mengenal Talenta-talenta 
yang Tuhan berikan sebagai saran pembelajaran dan pe-lipat-gandaan prestasi 
Anda di dunia ini.

Akhir kata, para rohaniwan selalu berkata, bahwa belajar itu adalah perintah 
dari Kitab-kitab Suci. Dan bekerja adalah IBADAH. Jadi renungkanlah, 
benarkah kita boleh "mencari uang" di dalam Ibadah Suci kita? Bukankah UPAH 
itu pasti diberikan ,bukan dicari, bagi yang BEKERJA (baca: BERIBADAH)?

Note: Cerita ini merupakan kisah nyata penulis saat belajar ilmu "Tahu Diri"


Stasia
Kenali Kekuatan anda melalui www.profilpribadi.com/?id=sdb
email : [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke