Oleh: Ir.Muh.Nur Sangadji, DEA
   
  Ketika kembali dari sekolah, seorang anak SD dengan bangganya memperlihatkan 
nilai pekerjaan sekolah untuk pelajaran “Mulok” kepada orang tuanya.  Sang 
orang tua dengan tidak kurang bangganya memuji anaknya karena angka sepuluh. 
Padahal, nilai itu diperoleh dari prestasi  kerja sang orang tua bersangkutan.  
 Jadi, nilai sepuluh itu sesungguhnya untuk orang tuanya,  bukan buat anak 
bersangkutan. 
  Di lain kesempatan, guru menugaskan membawa bahan sejenis pot bunga, sapu 
lidi, ijuk  untuk dinilai. Lagi-lagi kita bertanya nilai ini untuk siapa.  
Orang tua, anak dan guru telah masuk dalam perangkap “masa bodoh” dan 
bersama-sama membohongi diri sendiri sambil merusak masa depan kemandirian anak.
  Di kampus perguruan tinggi, para dosen yang menganggap penting penguasaan 
“Bahasa Inggeris”, memberi tugas penerjemahan buku.  Maksudnya tentu, selain 
untuk penguasaan bidang ilmu, juga sekaligus  menguasai bahasa inggeris, 
meskipun sifatnya pasif. Terkadang, dosen tidak terlalu peduli bagaimana tugas 
terjemahan itu bisa selesai, yang jelas nilai diberi setelah tugas di setor.  
Persis seperti kajadian anak SD, nilai ini pun masih perlu dipertanyakan, untuk 
mahasiswa atau untuk penerjemah.  Sebab, saat ini telah begitu banyak jasa yang 
bisa dibeli termasuk jasa penerjemahan bahasa Inggeris.
  Dua contoh ektrim ini sengaja ditampilkan untuk memperlihatkan betapa 
pendidikan dan lingkungannya, sejak SD hingga Perguruan Tinggi sepertinya tidak 
memandirikan manusia.  Ditambah lagi, model pendidikan pra sekolah dimana orang 
tua selalu menakut-nakuti anaknya di rumah dengan pendekatan tahayul serta 
perkembangan dunia eksternal yang berubah sangat cepat.
   
  Dukungan Teknologi.
  Di era komputerisasai saat ini, proses penggampangan ini menjadi makin 
canggih. Setiap penjual jasa sudah punya program penerjemahan komputer atau 
program perhitungan statistik  yang bisa bekerja lebih cepat.  Fenomena ini 
sesungguhnya tidak bermasalah sepanjang anak didik memahami filosofi dari apa 
yang diolah komputer. Toch, teknologi juga penting, namun teknologi tanpa faham 
filosofi kerja,  akan melahirkan manusia robot yang lebih berbahaya dari orang 
bodoh..
  Sewaktu memeriksa pekerjaan mahasiswa, saya bertanya bagaimana dia 
menjelaskan metodologi dan out put data olahan statistiknya. Mahasiswa bilang, 
bukan dia yang mengerjakan, tapi penyedia jasa yang telah dibayarnya. Bagi 
saya, ini pun tidak jadi soal asalkan mahasiswa bisa menjelaskan apa yang telah 
diolah orang lain. Bila tidak, ya itu tadi, mahasiswa tersebut telah 
berpredikat  “mahasiswa robot” yang kalau manjadi sarjana akan berstatus 
“sarjana Robot” dan nanti terjun kemasyarakat dikuatirkan menjadi “Robot 
Benaran”.  
  Kita tentu boleh berdebat, mana yang lebih “future adabtable”,  apakah 
seorang anak SD masih perlu diajari berhitung atau cukup diajari bagaimana 
menggunakan kalkulator. Apakah masiswa perlu diajari metodologi statistik dan 
rancangan percobaan  atau cukup cara mengoperasikan komputer untuk lahirkan 
data.  Atau, yang lebih mudah lagi, cara menemukan alamat penyedia jasa 
pengolahan data statistik.  Bagi saya, mengatahui  statistik dan operasi 
statistik di komputer merupakan dua ilmu yang mestinya di fahami simultan, 
sehingga nalar mahasiswa bisa dipacu. Inilah pendidikan yang semestinya dan 
bukan pendidikan instan.
   
  Kriminal Akademik.
  Mengolah data statistik adalah bahagain terkecil dari tesis atau skripsi di 
Perguruan Tinggi.  Masih ada bahagian-bagian lain. Lalu, bagaimana kalau nanti 
lahir biro jasa pembuatan “kata pengantar”, “Tinjauan Pustaka”, “Pembahasan” 
dan “Kesimpulan”. Dan ternyata, bahkan disinyalir telah lama ada jasa  
pembuatan Skripsi secara utuh, anda tinggal siapkan uang.  Bukankah ini 
kejahatan akademik “Academik Crime” dan “Moral assasine”, yang lebih sadis  
dari sekedar dua contoh sebelumnya.  
  Disinilah berlaku. pendidikan dan gelar bagi mereka yang punya uang. Lantas,  
tanpa rasa malu orang membeli gelar kemana-mana. Apalagi di Era Internet, 
banyaknya biro yang menawarkan ijasah, diploma, penghargaan dan lain-lain.  
Lalu kita,  karena punya uang dan cari nama,  bersedia diperas untuk prestise 
yang tidak terhormat ini.  
  Padahal,  Alquraan mengingatkan, Allah akan mengangkat orang-orang yang 
beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.  Bagaimana derajat akan 
diangkat, bila proses mencari ilmu menempuh jalan curang, cari gampang, asal 
penampilan dan seterusnya. Dan, kejahatan akademik ini bila kita urut, masih 
sangat panjang. Yang jelas, sejak SD hingga Perguruan Tinggi, anak didik kita 
begitu tergantung tanpa dibangun kreasi dan dibentuk hati nuraninya.  
  Akibatnya kata Oto sumarwoto, Universitas Sebesar UI saja tidak punya posisi 
apa-apa  di tingkat Dunia.  Kita kata beliau, telah menjadi  bangsa miskin yang 
meminta-minta pakai mangkok emas, karena tidak tahu apa dan bagaimana mengolah 
sumber daya akibat tergantung dan tidak amanah karena kehilangan hati nurani. 
   
  Pelajaran Dari KM Dorolonda.
  Saya jadi teringat pada peristiwa tahun lalu  di atas Kapal Dorolonda, antara 
Balik papan dan Pantoloan. Kala itu saya berdiskusi panjang dengan Mr. Gerol, 
orang German yang ditugaskan pemerintahnya  menjadi sepervisi selama satu tahun 
mengawal kapal itu sebelum diserahkan ke putra Indonesia. 
  Mr Gerol mengeluhkan kinerja (SDM) orang Indonesia yang sangat rendah. Ketika 
saya desak, dia bilang hampir di seluruh aspek, tapi yang paling parah adalah 
di aspek percaya diri dan keberanian mengambil keputusan. Mereka, lanjutnya, 
amat tergantung dan tidak mandiri.  Ketika saya tanyakan di mana salahnya. 
Jawabnya, jelas pada pendidikan di  semua level mulai dari SD hingga Perguruan 
Tinggi.  
  Jawaban terakhir ini membuat saya tertegun betapa Si German, seorang Insinyur 
perkapalan yang belum lama tinggal di Indonesia, itupun banyak di atas laut.  
Tetapi, telah membuat analisis dan kesimpulan akurat tentang kenyataan emperik 
di dunia pendidikan kita. Dan, peristiwa yang ditampilkan sebagai contoh di 
bahagian pendahuluan dan uraian lain di tulisan ini menjadi bukti  bahwa 
analisa Mr Gerol ternyata tapat dan  jitu. 
  Karena itu, saatnya kita merenung, bagaimana nasib generasi bangsa ini kelak, 
bila  tatanan pendidikan di negeri ini telah kita rusaki bersama. Lalu, siapa 
yang harus memperbaikinya dan kapan ? Jawabannya tentu,  kalau bukan kita siapa 
lagi dan kalau bukan sekarang, kapan lagi.  Yang jelas Mr Garol sudah kembali 
ke German dan beberapa saat kemudian, KM Dorolonda kandas di Kwandang. Kita 
lantas bertanya, adakah kaitannya antara hilangnya Mr Garol (sumber daya 
manusia Asing)   dengan kandasnya KM Dorolonda. wallahu A’alam. 
  (Penulis, Dosen Untad dan Tim Kerja stake holder Kota Palu, Alumni S1 Untad 
dan  S2 Universitas Lyon 3 Perancis).

       
---------------------------------
Get the free Yahoo! toolbar and rest assured with the added security of spyware 
protection. 

Kirim email ke