----- Original Message ----- 
From: edy harun 
>Prendz ini ceritanya panjang tapi maknanya
> > dalem......met baca yach..
> >
> > Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi
> > meninggalkanku.
> > Sementara aku, sejak suamiku meninggal tiga bulan
> > lalu, tetap tinggal di rumah besar kami di Tebet
> > bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun
> > bekerja padaku, seorang sopir sekaligus tukang
> > kebun, serta seorang keponakan suamiku yang kedua
> > orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan
> > pesawat terbang.
> >
> > Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami,
> > yang disewakannya kepada orang-orang. Setelah mereka
> > menikah barulah ia memberikan kunci rumah-rumah itu.
> > Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah
> > departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari
> > orang-orang yang mengharapkan langkahnya tidak
> > terhalang sebutir kerikil pun.
> >
> > Ia melakukannya karena ingin anak-anaknya mengenang
> > dia sebagai ayah yang bertanggung jawab.
> > Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12
> > tahun pensiun. Sehari sebelumnya ia sempat berbicara
> > kepadaku, telah merasa lengkap menjadi ayah karena
> > melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir,
> > besar, bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga
> > perguruan tinggi, bekerja, menikah, tinggal di
> > rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak.
> >
> > Ia dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang
> > pernah ia pesankan.
> > Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah
> > kami. Menjelang jam tujuh
> > pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu
> > pergi ke dapur, membuatkan
> > secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu
> > rupanya mendapat cerita
> > ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku.
> > Maka tadi sore ia datang dan meminta aku tinggal di
> > rumah besarnya di Ciputat.
> >
> > Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa
> > kasihan pada mendiang suamiku, tapi ia tetap
> > berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan lebih
> > mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku
> > tinggal bersamanya.
> >
> > "Di kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua
> > buku milik Mama. Kalau tetap di sini Mama akan terus
> > bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang menjaga dan
> > mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi, dan Bang
> > Ali." Akhirnya aku menyetujui saja.
> >
> > Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku.
> > Sementara anak-anakku,
> > selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang
> > datang. Dan anakku yang nomor satu
> > jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika
> > aku masih mengaji di kamar, dan pulang begitu malam
> > ketika aku sudah tertidur.
> >
> > Dalam seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya
> > dua atau tiga kali. Bahkan bisa tidak sama sekali.
> > Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu
> > itu setiap hari aku bisa bertemu mereka. Lalu ketika
> > mereka masuk perguruan tinggi dan bekerja, aku pun
> > mulai jarang bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan
> > tinggal di rumah-rumah yang diberikan suamiku,
> > memiliki anak dan sibuk dengan istri atau suaminya,
> > aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah
> > kutemui.
> >
> > Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan
> > sapaan setiap pagi hari pun tidak.
> > Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku
> > melahirkan, mendidik, membesarkan, dan menyenangkan
> > mereka. Aku tidak bermaksud meminta balasan. Tetapi
> > bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri
> > dan tahu berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil
> > aku dan suamiku selalu mengajarkan untuk tidak
> > melupakan kebaikan seseorang.
> >
> > Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan
> > mengirimku ke sebuah panti jompo, setelah istri dan
> > ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang selalu
> > menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku,
> > karena katanya mengganggu tidur mereka. Dua minggu
> > lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika semua
> > berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang
> > tinggal di Australia, ia memberitahukan
> > keinginannya.
> >
> > "Lagipula Mama tidak mungkin kita biarkan kembali ke
> > Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana
> > yang bisa membuat Mama sedih." Dua bulan lagi umurku
> > 68 tahun.
> > Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya
> > Natal lalu saja anak-anakku datang.
> > Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan
> > suamiku yang pernah delapan tahun tinggal bersamaku,
> > hampir setiap akhir pekan menjengukku.
> >
> > Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri,
> > dan anak-anak mereka.
> >  Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya
> > uang jutaan rupiah untuk membeli tiket pesawat bagi
> > tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya di
> > bank.
> > Ia hanya mengirim kartu Natal disertai tulisan dan
> > tanda tangannya.
> >
> > Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah
> > kekasihnya. Katanya karena ia segan. Ingat, segan.
> > Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang
> > sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok
> > bila ia datang ke rumahku bersama orangtuanya. Lalu
> > hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.
> >
> > Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim
> > ini dan itu kepadaku, biasanya berupa buku-buku
> > terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra, agama,
> > sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.
> >
> > Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air
> > hangat yang keluar dari pancuran di bath-tub, saat
> > teduh, dan berdoa. Di sini kami seperti di rumah
> > sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan.
> > Sarapan dan makan pun bebas memilih. Anak-anak telah
> > membayar sangat tinggi untuk menitipkanku di sini.
> > Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku
> > belajar psikologi.
> >
> > Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis
> > cantik dan tidak untuk menuntut ilmu apa-apa. Hanya
> > menunggu ajal.
> >
> > Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan
> > berkumpul di halaman depan untuk berolahraga. Cukup
> > tiga puluh menit sekadar untuk meregangkan otot-otot
> > tua kami. Setelah itu kami diminta untuk
> > membersihkan diri,mandi pagi lagi kalau mau. Pukul
> > 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang makan
> > untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan
> > tidak ingin berolahraga dan tidak ingin sarapan di
> > ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan
> > sarapannya ke kamar.
> >
> > Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan
> > melakukan kegiatan apa saja sesuai keinginan:
> > merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak
> > kami, bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV,
> > mendengar radio, berbincang-bincang dengan
> > teman-teman lain, atau tidur siang.
> > Dan setiap pukul 16.30 kami biasanya akan
> > duduk-duduk di teras panti sambil menikmati
> > secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
> >
> > Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul
> > 19.00 kami kembali berkumpul di ruang makan. Malam
> > ini aku menikmati segelas air teh manis hangat, nasi
> > putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng
> > dengan kuah kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga
> > tahun aku masuk panti.
> >
> > Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca,
> > setiap hari selalu hanya membaca. Apa saja aku baca.
> > Majalah berita, koran pagi, tabloid perempuan, dan
> > majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak
> > pernah kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan.
> > Selama lima tahun di sini, aku sudah membaca semua
> > buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan
> > lainnya kiriman anakku yang nomor satu.
> >
> > Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua
> > hari aku membacanya,dan tampaknya hari ini pun belum
> > akan selesai. Padahal ketika muda dahulu satu buku
> > tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku
> > sedang cukup setengah hari saja. Setelah tua aku
> > menjadi mudah letih dan mengantuk
> >
> > Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku
> > tiba-tiba saja kembali memikirkan suamiku dan juga
> > umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku tidak
> > akan lama lagi di sini. Teman-teman sebayaku semasa
> > di perguruan tinggi, sudah banyak yang tiada.
> >
> >
> > Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak
> > umurku belasan tahun.
> > Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar
> > 524 buah.
> > Tersimpan rapi di perpustakaan pribadi di rumahku.
> > Aku percaya anakku yang nomor tujuh akan menjaga
> > buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang
> > sama denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang
> > lain, serta suamiku, juga memiliki kegemaran yang
> > sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak
> > menghabiskan waktu
> > bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya.
> > Ketika masih tinggal bersamaku hampir setiap awal
> > bulan ia menemaniku pergi ke toko  buku, membeli
> > buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai
> > buku psikologi, karena ilmu itulah yang mampu
> > membuatku tertarik masuk kesebuah fakultas hingga
> > menyelesaikannya.
> >
> > Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak
> > melakukannya. Meski berkeinginan, namun semuanya
> > kini hanya ada di dalam angan-angan dan
> > kenangan-kenanganku.
> >
> > Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan
> > buku-buku kegemaranku terbaru.
> > Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di
> > perpustakaan panti yang hanya beberapa puluh saja.
> > Ketika minggu kedua tinggal di sini pernah
> > kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab,
> > "Uang panti tidak cukup,  Nyonya."
> >
> > "Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat
> > tinggi untuk menitipkan kami di sini? Jadi bagaimana
> > mungkin tidak cukup?"
> > "Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua
> > yayasan yang mengatur.
> > Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di
> > sini tidak terlalu suka membaca."
> >
> > "Begitu? Bagaimana dia tahu?"
> > "Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya.
> > Maklumlah usaha Bapak tidak hanya panti ini."
> > "Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya
> > menyumbangkannya?"
> > "Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."
> > Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak
> > memperbolehkannya.
> > Di telepon ia mengatakan buku-buku itu terlalu
> > berharga karena ada yang sudah berumur puluhan tahun
> > dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika kukatakan
> > buku-buku itu akan lebih berharga jika dibaca orang
> > lain, ia tetap tidak memperbolehkannya.
> > Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu.
> > "Lagipula anggaplah sebagai warisan yang Mama
> > berikan untukku."
> >
> > Anak-anakku, mereka tidak pernah puas hanya
> > menerima.
> > Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan
> > lama lagi di sini.
> > Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun
> > datang atau sekedar menelepon.
> > Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan
> > suamiku yang pernah
> > delapan tahun tinggal bersamaku.
> >
> > Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado
> > berisi selimut tebal dan kartu ucapan buatan pabrik.
> > Kado itu diantar seorang sopirnya. Ingat, sopir.
> > Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk
> > bekerja. Ingat, sibuk.
> > Sekali lagi ingat, sibuk. Padahal dahulu ketika
> > masih tinggal bersamaku,
> > aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di
> > hari ulang tahun mereka dan  merayakannya
> > bersama-sama.
> >
> > Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak
> > bersedia melahirkan mereka.
> > Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah
> > menghidupi mereka. .........
> >
> > comment : I believe that our parents won't give
> > anything to us for granted, the story just want to
> > tell us some example what our parents really need
> > from us .



---------------------------------------------------------------------
>> Mau kirim bunga hari ini ? Klik, http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke