Kak Seto: Sekolah Jadi Penjara bagi Anak

Jepara, 26 Juni 2007 14:30
Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi menilai, beratnya beban kurikulum 
dan sedikitnya ruang bagi tumbuhnya kreativitas, menyebabkan sekolah menjadi 
penjara bagi peserta didik.

"Sistem pendidikan kita memperlakukan anak seperti robot. Anak ke sekolah harus 
membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah masih harus 
mengerjakan PR. Habis itu terus teler," katanya di depan peserta Perkemahan 
Ilmiah Remaja Nasional (Pirnas) di Jepara, Selasa (26/6).

Seto Mulyadi yang biasa disapa Kak Seto itu menggugat, dengan beban sekolah 
yang demikian padat, lantas kapan anak-anak memiliki waktu untuk bermain.

Padahal, katanya, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam tumbuh 
kembang fisik, intelektual, dan mental anak.

Sistem pendidikan yang kaku dan mengekang seperti itu, katanya, menganggap otak 
anak-anak tersebut kosong sehingga harus dijejali dengan berbagai hafalan 
materi pelajaran.

Karena sekolah sudah seperti penjara bagi peserta didik, kata Kak Seto, maka 
ketika guru mengumumkan siswa bisa pulang lebih awal karena guru akan rapat, 
reaksi spontan siswa adalah kegirangan.

"Mereka bergembira karena bisa lepas sejenak dari penjara," katanya.

Menurut dia, karena beban di sekolah berat, tidak mengherankan bila sebagian 
anak pada sat ini ada yang mengidap fobia sekolah (school phobia), yang 
manifestasinya bisa bermacam, misalnya merasa sakit, tidak enak badan, dan 
lainnya.

Kak Seto mengatakan, beban berat tersebut tidak hanya dialami siswa di 
Indonesia, tetapi dihadapi siswa bangsa-bangsa lain yang ingin mengejar 
kemajuan, terutama bangsa-bangsa di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, 
Singapura, Taiwan, dan lainnya.

"Mereka stres menghadapi situasi sekolah dan lingkungan yang begitu menekan 
sehingga ada yang nekat bunuh diri. Padahal semua anak ingin bersekolah dalam 
situasi gembira," katanya.

Ia mengingatkan, kurikulum pendidikan dasar di Indonesia terlalu padat sehingga 
kurang memberi ruang ekpresi dan kreativitas bagi peserta didik. Padahal, 
pendidikan nasional bertujuan mengembangkan segenap potensi peserta didik, 
bukan ingin menciptakan robot atau bebek-bebek (penurut, red).

Menurut dia, kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan beriring 
karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik dengan 
ketidakdispilinan.

"Kecerdasan intelektual (IQ) bukan segala-galanya. Masih ada banyak kecerdasan 
yang bisa dikembangkan untuk tumbuh kembang anak," katanya.

Ia memberi ilustrasi lima tokoh nasional yang memiliki prestasi istimewa di 
bidangnya masing-masing. B.J. Habibie yang ahli pesawat terbang, Rudy Hartono 
(juara tujuh kali berturut-turut All England), Rudy Salam (aktor), Rudi 
Hadisuwarno (tata rias), dan Rudy Choirudin (kuliner).

"Jadi, spektrum kecerdasan itu sangat luas. Rudi Hadisuwarno ketika kecil hobi 
menggunting-gunting kertas, lantas belakangan mahir gunting rambut," katanya.

Pendidikan terbaik

Di tempat sama, Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatn Iptek Lembaga Ilmu 
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Neni Sintawardani mengatakan, Finlandia 
merupakan negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.

Padahal, katanya, di negara itu siswa hanya menempuh belajar di sekolah 30 jam 
per minggu, sedangkan di Korsel 50 jam dan siswa Indonesia menghabiskan waktu 
di sekolah jauh lebih banyak dibanding murid Finlandia.

"Finlandia bisa sukses karena guru-gurunya berkualitas. Yang menjadi guru 
adalah lulusan terbaik SMA. Gaji mereka tidak fantastis tapi profesi mereka 
sangat dihargai," kata Neni.

Kunci sukses lain Finlandia, katanya, guru di negeri itu tidak pernah mengritik 
siswa yang gagal, tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja independen.

"Kegagalan siswa juga menjadikan guru introspeksi. Apa yang salah dengan sistem 
pembelajaran," katanya.

Pirnas yang diikuti 135 siswa SLTP an SLTA dari 17 provinsi di Indonesia dan 
diikuti 42 guru pendamping itu akan berlangsung hingga 1 Juli 2007.

Pirnas VI yang terselenggara atas kerja sam LIPI, Undip Semarang, dan Pemkab 
Jepara ini meliputi bidang IPA, teknik, dan sosial.

Komnas PA menganggap iklan itu telah melanggar pasal 78 dan pasal 80 UU No 
23/2002 tentang Perlindungan Anak. [TMA, Ant] 
http://www.gatra.com/artikel.php?id=105645

Kirim email ke