Liat berita beberapa hari terakhir ini gak?
hampir tiap hari diberitakan anak-anak yg disiksa orangtuanya atau 
anak-anak yg diculik...

ada Idah di Pontianak yg sudah dikurung berbulan-bulan (atau mungkin 
bertahun-tahun) di kamar mandi oleh ibu angkatnya, bahkan kadang tidak 
diberi makan selama beberapa hari hingga saat ditemukan oleh tetangganya 
tubuh Idah sudah tinggal tulang berbalut kulit dengan kepala plontos...
atau ada gadis cilik usia 4 tahun yg biasa disiksa oleh ayah kandungnya 
sendiri di Surabaya, bahkan pernah dihukum memakan nasi yg dicampur (maaf) 
air kencing ayahnya sendiri...
dan banyak lagi berita lain yg melaporkan kekejaman orangtua terhadap buah 
hatinya sendiri darah dagingnya sendiri...kok bisa ya???

mudah-mudahan kita sebagai orangtua dijauhkan dari perbuatan-perbuatan 
sadis seperti itu...aamiin

Sebuah hadits menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada yang 
bisa menolong dari siksa kubur kecuali do'a dari kesalehan sang anak. 
Tentu saja, maksud hadits ini bila sang anak, "titipan Alloh" itu, telah 
kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan 
mendapatkan hadiah dari Alloh karena telah menjaga amanahnya dengan baik.
 

Anak dan Tanggung Jawab Kita
Oleh BAMBANG QOMARUZZAMAN 

SEORANG teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu hari 
dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti biasa, 
sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui zebra-cross. Saat 
itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi; kecuali seorang ibu 
dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan, 
terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia 
tinggalkan. "Hei..hei... ke Sini!!". Kira-kira begitu teriakan ibu itu. 

Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi 
sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti ada 
apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu 
itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross? 
Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya melanggar 
peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar peraturan 
itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"

Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia 
melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu 
yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih 
mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu, begitu 
pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjaga 
dalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?

Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang 
tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau 
menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di 
sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah. "Mudah-mudahan 
anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak. 

Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram, lebih 
tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80, saya 
sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes, 
dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu, mereka 
menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!" Tetangga 
saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja. 
"Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!"

Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena ada 
beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar 
sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang 
menerimanya adalah guru yang terhormat. Marilah kita bandingkan sikap dan 
tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah 
rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan kasih sayang 
yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah 
menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu. Racun itu adalah, 1) uang 
bisa menyelesaikan segalanya; 2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, 
nanti juga uang bisa menambalnya. 

Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar kita 
melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan 
anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat di 
relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat. 
Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan yang 
semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani. 

Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini datang 
dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu 
tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk 
membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu 
harus berada di sini, menjemput bapak!" ujar sang ayah. Pada jam yang 
ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum juga 
kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak datang 
dan mengajukan permohonan maafnya. 

"Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah 
pulang. Saya akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa 
bersalah. Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil berpesan, 
"Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini, kamu sudah 
melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu semua 
karena saya salah mengajarimu, nak. Karena itu biarlah ayah menghukum 
diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang anak 
tak pernah lagi mengingkari janji.

Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita pada Hari Anak. 
Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai 
amanah (titipan) dari Allah? Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan) 
Allah". Pada istilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang 
sedemikian akrab, Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan 
sesuatu yang berharga. Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai 
awalnya. Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah. 

Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga 
pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar "membuat 
bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu rapuh, 
butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai takaran. Kecenderungan 
benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik kecil bisa saja ditipu 
--diberi cahaya palsu-- dan memercayainya seumur hidup. 

Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak 
pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi. Benih 
padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima 
benih fithrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi fithrah yang lebih 
baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada 
yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang anak. 
Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu, telah 
kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan 
mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan baik.

Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan 
mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama ini 
telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan pertengkaran, 
serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon ampunan pada 
Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik.

Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!*** 

Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung.


----------------------------------------------------------
AXA Mandiri Financial Services
Tommy Permana
Underwriting

AXA CENTRE
Ratu Plaza Office Building 9th. floor
Jl. Jendral Sudirman No. 9  Jakarta  Pusat 10270
Tel: 62-21-7278 9988
Fax: 62-21-7279 3020
e-mail: [EMAIL PROTECTED]


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disclaimer:
This Message is confidential; its contents does not constitute a 
commitment by AXA Mandiri Financial Services, except where provided for in 
a written agreement between you and  AXA Mandiri Financial Services. Any 
unauthorized disclosure, use or dissemination of the content, either whole 
or partial, is prohibited. If you are not the intended recipient of the 
message, please notify the sender immediately.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kirim email ke