Sebagai Bahan  untuk di renungkan

Semoga bermanfaat.


Ungkapan Jujur Seorang  Anak


Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi  Mulia Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD  itu. Waktu
itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala  sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika  yang
duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak  berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut  selalu
murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas  hanya
untuk melamun.


Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan  lemah lembut saya tanyakan
kepada Dika:
"Apa yang kamu inginkan ?" Dika  hanya menggeleng.
"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya.
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi  dengan wali kelas dan kepala sekolah
untuk mencari pemecahannya, namun  sudah sekian lama tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta  bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika  meninggalkan sekolah
untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika  menyelesaikan
soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian,  Psikolog
yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera  memberitahukan
hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya  mencapai 147 (Sangat Cerdas)
dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan  pemahaman ruang, abstraksi,
bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan  kecepatan berkisar pada
angka 140 - 160.
Namun ada satu kejanggalan,  yaitu skor untuk kemampuan verbalnya
tidak lebih dari 115 (Rata-Rata  Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda  itulah
yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut.  Oleh
sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk  mengantar
Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika  perlu
menjalani test kepribadian.


Suatu sore, saya menyempatkan  diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian.  Melalui interview dan test tertulis
yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu  telah menarik benang merah
yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa  faktor penghambat
kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca  jeritan hati
kecil Dika.
Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling  dalam itu membuat saya
berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih  jauh dari ideal.


Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku  ingin ibuku:...."
Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka  hatiku, sebentar
saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap  bahwa selama ini
saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain  bebas. Waktu
itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan  edukatif
sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya  menggambar,
kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket,  kapan
waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di  komputer
dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan  demi
masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara  merata
di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit  karena
sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti  berbagai
kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal  kegiatan
Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika  hanya
sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati  masa
kanak-kanaknya.


Ketika Psikolog menyodorkan kertas  bertuliskan "Aku ingin Ayahku..."
Dika pun menjawab dengan kalimat yang  berantakan namun kira-kira
artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja  seperti dia menuntutku
melakukan sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan  pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi  diperintah untuk melakukan ini dan itu.
Ia hanya ingin melihat ayahnya  melakukan apa saja setiap hari,
Seperti apa yang diperintahkan kepada Dika.  Dika ingin ayahnya bangun
pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya  sendiri, makan dan
minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV  secukupnya,
merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat  waktu.
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit  dilakukan
oleh kebanyakan orang tua.


Ketika Psikolog mengajukan  pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku  seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya  yang suka
bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu  yang
saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan  bijaksana.
Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri  saya.
Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan  anak
sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak  adalah
orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog  memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak: .."
Dika pun menjawab  "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain.
Tidak mengatakan bahwa  kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah
dosa"
Tanpa disadari,  orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap
dan bertindak benar,  hingga hampir-hampir tak memberi tempat
kepadanya
untuk berbuat  kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap
kesalahan adalah dosa  yang harus diganjar dengan hukuman, maka
anakpun akan memilih untuk  berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan
yang telah dibuatnya dengan  jujur. Kesulitan baru akan muncul karena
orang tua tidak tahu kesalahan apa  yang telah dibuat anak, sehingga
tidak tahu tindakan apa yang harus kami  lakukan untuk mencegah atau
menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada  kalanya anak-anak perlu
diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian  iapun bisa belajar
dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan  tindakannya yang salah
adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di  waktu-waktu
mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.


Ketika Psikolog menulis "Aku ingin ibuku berbicara tentang....."
Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya  cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan
yang sangat  sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal
yang menurut saya  penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang
diberikan gurunya.
Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu
yang  penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan
jujur itu saya  dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada
hikmat dan  pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak
kalah pentingnya  dengan ilmu pengetahuan.


Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku  berbicara tentang .....",
Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara  tentang
kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa  benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin  ayahku
mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam  banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai
manusia, orang tua tak  luput dari kesalahan. Keinginan Dika
sebenarnya
sederhana, yaitu ingin  orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya
dan kalau perlu meminta maaf  atas kesalahannya, seperti apa yang
diajarkan orang tua kepadanya.


Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap  hari...."
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan  lancar
"Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia  mencium
dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika  yang hampir setinggi saya
sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi  dicium-cium. Ternyata
saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang  ibu tetap
dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu  saya
tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama  kepada
anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai  tindakan
yang tidak adil atau pilih kasih.


Secarik kertas  berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ...."
Dika menuliskan  sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu
kata "tersenyum"
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu  menahan
senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal  kenyataannya
senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan  melunturkan
wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi  bagi
anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat  dari
ayahnya setiap hari.


Ketika Psikolog memberi kertas  bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku...."
Dika pun menuliskan "Aku  ingin ibuku memanggilku dengan nama yang
bagus"
Saya tersentak sekali!  Memang sebelum ia lahir kami telah memilih
nama yang paling bagus dan penuh  arti, yaitu Kafi Putra Andira. Namun
sayang, tanpa sadar, saya selalu  memanggilnya dengan sebutan Nang.
Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata  "Lanang" yang berarti
laki-laki.


Ketika Psikolog menyodorkan  tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
memanggilku .."
Dika hanya  menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang  memanggil Dika dengan sebutan "Paijo"
karena sehari-hari Dika berbicara  dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis  Paijo, tukang sayur keliling"
kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban  Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
karena selama ini saya  bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak.  Kepada banyak orang saya kampanyekan
pentingnya penghormatan hak-hak anak  sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya  bagikan poster bertuliskan
"To Respect Child Rights is an Obligation, not a  Choice" sebuah
seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak  adalah
Kewajiban, bukan Pilihan".
Tanpa saya sadari, saya telah  melanggar hak anak saya karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang  tidak hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang  polos dan dalam
tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang  bangga dan
juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang  Tak
Terucapkan. Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka  tidak
ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya.  Anak-anak
memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi  para
orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam  hati
anak-anaknya. Para orang tua harus mendidik anaknya di dalam  ajaran
dan nasehat yang baik.
               
             








=======================================
Just because we smart don't think the other one is stupid 
Boku wa Isuramu jin da yo                    
=======================================


--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke