http://tonangardyanto.blogspot.com/2006/04/medikalisasi-khitan-pada-bayi.html
        Medikalisasi khitan pada bayi perempuan                                 
                      
  (Berikut adalah tulisan ulang dari tulisan sekitar 1 tahun lalu).

Bila  terjadi kontroversi seputar sirkumsisi pada anak/bayi laki-laki,  
nampaknya semua mudah sepakat tentang sunat pada bayi perempuan. Pada  beberapa 
komunitas, dilakukan praktek sunat perempuan yang diserupakan  dengan 
sirkumsisi pada laki-laki. Karena klitoris merupakan "kembaran"  penis, maka 
kulit di sekitar klitoris juga harus dibuang, seperti  membuang preputium. 
Bahkan ada yang sampai memotong klitorisnya itu  sendiri.

WHO mencatat ada 4 tipe female genital mutilation.  Tindakan "memotong kulit di 
sekitar klitoris" (yang sejenis dengan  preputium pada penis) merupakan tipe 
paling ringan. Sulit dibayangkan  bagaimana kondisi dari tipe-tipe yang lebih 
berat.

Tindakan ini  tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau 
pengirisan  kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak 
ada  indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan  di Jawa Barat pernah 
mengulas tentang hal ini karena menemukan  bekas-bekasnya pada pasiennya. 
Kenyataannya memang ada kelompok yang  meyakini bahwa anak perempuan pun 
diwajibkan menjalani khitan. Dan  praktek tersebut dilakukan juga, bahkan di 
pusat-pusat pelayanan  kesehatan.

Sekitar 1 tahun lalu, Kementrian Pemberdayaan Wanita mengeluarkan seruan untuk 
menghentikan medikalisasi sunat perempuan. Namun, saya memandang seruan ini 
harus dikaji secara komprehensif.

Praktek  sunat pada perempuan (SP) sudah ada sejak jaman sebelum masehi.  
Penelitian anthropologi mendapatkan praktek tersebut pada mummi mesir  yang 
justru ditemukan pada kalangan kaya dan berkuasa, bukan oleh  rakyat jelata. 
Ahli antropologi menduga pada jaman kuno sunat untuk  mencegah masuknya roh 
jahat melalui vagina.  
  
  Survei  epidemiologi WHO menemukan beberapa alasan melakukan SP seperti  
identitas kesukuan, tahapan menuju wanita dewasa, pra-syarat sebelum  menikah 
juga pemahaman seperti klitoris merupakan organ kotor,  mengeluarkan sekret 
berbau, mencegah kesuburan atau menimbulkan  impotensi bagi pasangannya. Banyak 
hal medis terkait dengan alasan FGM  ini kemudian terbukti salah.  
  
  Sebagai  dokter saya mendapati praktek SP bukan monopoli mereka yang  
“terbelakang”. Saat ini tidak sedikit keluarga muda, sarjana, bekerja  dan 
hidup di perkotaan, justru bersemangat melakukannya terhadap  anaknya, bahkan 
meski mereka sendiri di masa kecilnya tidak  mengalaminya. Semangat menjalankan 
agama nampaknya berpengaruh dalam  hal ini.   

Menurut  berita tersebut, medikalisasi harus dilarang meskipun filosofinya  
adalah mengurangi risiko kesehatan daripada dilakukan oleh bukan tenaga  medis. 
Langkah ini dianggap berbahaya karena menggunakan peralatan  seperti pisau, 
jarum dan gunting.   

Memang,  sekilas gambaran medikalisasi SP menakutkan karena  
penggunaan-penggunaan alat-alat seperti itu. Tetapi yang saya ketahui  dan 
pernah baca di media, yang dilakukan adalah membuat perlukaan kecil  pada 
daerah klitoris. Bahkan, banyak yang hanya mempraktekkan “sunat  psikologis” 
dimana sekedar ditoreh sedikit dengan ujung jarum, keluar  setetes darah, dan 
orang tua pasien sudah puas. Bahkan kadang, seperti  yang juga saya lakukan 
selama bekerja di klinik Ibu-Anak dulu, hanya  di”sandiwara”kan dengan 
meneteskan cairan antiseptik sewarna darah,  yang sekaligus diteruskan dengan 
pembersihan daerah sekitar klitoris.  

Perlu  disadari, dalam hal ini kita berhadapan dengan orang tua yang merasa  
memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan tersebut terhadap anaknya.  Ketika 
ini sudah berkaitan dengan soal keyakinan agama,  maka persoalannya tidak lagi 
sederhana, yang berujung pada perilaku  kesehatan. Rasanya kita semua mengerti 
bahwa menghadapi masalah  perilaku, tidak sekedar soal larang-melarang.   

Yang menarik, sebenarnya tuntunan agama dalam hal ini pun menyebutkan "Sentuh 
sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian 
kenikmatan suami".  Bukankah berarti menjadi cocok dengan pilihan para petugas 
medis yang  hanya "menorehkan" sedikit luka tersebut? Dan bukankah berarti 
praktek  yang sampai beberapa tipe tersebut sebenarnya tidak dilandasi 
pemahaman  agama yang tepat?  

Soal  kesehatan reproduksi wanita ditonjolkan oleh kelompok “penentang” SP,  
tetapi bagaimana dengan makin maraknya body-piercing bahkan terhadap  alat 
kelamin di kalangan wanita? Kalau soal hak menentukan pilihan  sendiri yang 
berikutnya ditonjolkan, bukankah sunat perempuan pun  merupakan pilihan sendiri 
sesuai keyakinannya? Bagaimana juga kalau  dipertanyakan kewajiban negara untuk 
melindungi kebebasan warganya  menjalankan keyakinan agamanya sebagai bagian 
dari hak asasi manusia?  

WHO sendiri memang juga berpendapat tidak boleh ada praktek FGM oleh tenaga 
kesehatan. Tetapi European Journal of Obstetrics and Gynecology  bulan Oktober 
2004 lalu menganalisa bahwa usaha terbaik untuk mengatasi  praktek sunat 
perempuan harus berupa pendekatan yang non-direktif,  sesuai dengan kultur 
lokal dan dari banyak sisi (multi-factes).   

Wujudnya  berfokus pada peranan kelompok masyarakat itu sendiri dalam mensikapi 
 praktek FGM, dengan muaranya adalah munculnya keputusan mandiri, bukan  atas 
program dari luar.   

Pengalaman  di beberapa negara, pendekatan legal-formal secara direktif justru  
menimbulkan resistensi. Bisa dibayangkan kalau tenaga medis benar-benar  
dilarang “melayani” sunat perempuan, bukankah justru membuka lebih  lebar 
peluang praktek secara “tradisional”.   

Pengalaman  di Kenya menunjukkan, justru melalui medikalisasi secara perlahan 
bisa  dicapai pemahaman masyarakat yang lebih proporsional soal SP. Sebagian  
masyarakat memang tetap menganggapnya sebagai kewajiban, tetapi  kepedulian 
terhadap risiko kesehatan membuat mereka lebih berhati-hati.  Wujudnya dengan 
memilih tipe FGM yang berisiko minimal (tipe paling  ringan atau sekedar 
sunat-psikologis), bahkan masih ditambah meminta  injeksi anti-tetanus sebagai 
tindakan pencegahan.   

Penggunaan  jarum, pisau atau gunting oleh tenaga medis disamping prosedur 
tindakan  yang memenuhi prinsip aseptik dan anti-septik, tidak bisa dibantah 
akan  meminimalkan risiko kesehatan. Bukankah ini juga yang dikehendaki  
bersama?   

Yang  harus diatur, menurut penulis, justru tidak boleh ada praktek sunat  
perempuan bukan oleh tenaga yang tersertifikasi. Selanjutnya kepada  tenaga 
medis diterbitkan aturan standar praktek sunat perempuan, dengan  mengacu pada 
risiko minimal. Bukankah alasan ini pula yang mendasari  sikap Depkes soal 
pengaturan tindakan aborsi?   

Lebih  jauh lagi, para tenaga medis bisa memberikan banyak penjelasan soal  
kesehatan reproduksi, terutama bagi wanita. Para orang tua lebih bisa  menerima 
penjelasan ini, karena tenaga medis tidak harus menunjukkan  “resistensi” 
terhadap keinginan mereka memenuhi kewajiban sunat bagi  anaknya.   Pengalaman  
di beberapa negara, kondisi positif seperti ini justru tidak bisa  diperoleh 
kalau pelayanan sunat perempuan oleh tenaga medis di larang  pemerintah. Bahkan 
tidak jarang usaha penyuluhan dianggap sebagai usaha  merusak kebudayaan lokal. 
  

Kita sebenarnya memiliki banyak pengalaman soal pendekatan yang 
culture-spesific misalnya mensikapi kebiasan footbinding  (gedhong, bedhong) 
terhadap kaki bayi-bayi yang dulunya juga dilandasi  soal “kemuliaan wanita”. 
Secara perlahan orang tua lebih proposional  memandang kebiasaan tersebut 
dengan pemahaman yang tepat.   

Sementara itu, pendekatan multi-facets harus  melibatkan pihak-pihak seperti 
organisasi keagamaan, mengingat  bagaimanapun itu alasan yang mendominasi 
praktek sunat perempuan di  Indonesia, agar diperoleh kesamaan pandangan agama 
soal sunat  perempuan. Kurikulum kesehatan reproduksi yang marak diusulkan juga 
 wahana yang baik untuk mendidik pemahaman masyarakat.  

Muara  dari langkah tersebut, pada akhirnya masyarakat akan mampu membuat  
keputusan sendiri soal sunat perempuan. Dalam proses menuju kesana,  tindakan 
seperti melarang tenaga medis melayani sunat perempuan, hanya  akan menjadikan 
batu sandungan. Alih-alih mampu menghentikan, bukan  tidak mungkin justru 
menjadi bumerang.

Regards,
Uci mamaKavin+Ija
http://oetjipop.multiply.com
       
---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! 
Answers

Kirim email ke