*http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=8030&no=2*
*Digagahi Anak Sendiri "DIA BUKAN ANAKKU LAGI"* *Betapa hancur perasaan Ny. Sar (60) tatkala suatu malam anak kandungnya memerkosa dirinya. Janda 8 anak ini pun semakin ketakutan karena sang anak mengancamnya. Tapi kini ia berlega jati karena si anak sudah diringkus yang berwajib. Dengan terbata-bata, ibu yang semua rambutnya nyaris memutih itu mengungkapkan kesedihan hatinya kepada NOVA di rumahnya Desa Badas, Kecamatan Pare, Kediri (Jatim). * <javascript:realview('detail_images.asp?act=1&id=8030&imageid=17778','detail_images','516','500');> Di usiaku yang senja seperti ini, mestinya aku bisa berbahagia, berkumpul bersama anak dan menimang cucu di rumah, seperti yang dialami oleh orang tua pada umumnya. Ibaratnya, masa tua merupakan saat untuk melepas penat setelah sekian tahun berjuang keras membesarkan anak-anak. Namun kenyataannya tidak demikian. Di penghujung usiaku yang hanya tinggal beberapa saat lagi ini, aku sepertinya tak pernah lepas dari cobaan. Yang menyakitkan, penyebabnya anak kandungku sendiri yang bernama Sul. Selama ini dia memang selalu menjadi masalah di tengah keluarga. Tapi perbuatan Sul terhadapku sungguh di luar akal manusia. Dia tega memerkosa diriku! Sebenarnya aku malu menceritakan peristiwa yang baru kualami ini. Bukan hanya tabu, perbuatannya juga sangat menjijikan. Aku sangat tak menyangka, dia tega berbuat keji padaku. Dia sepertinya tak ingat bahwa dia bisa hidup di dunia ini lewat rahimku. * SELALU KETAKUTAN * Petaka itu terjadi pada dinihari, 28 Februari lalu. Malam itu aku sendirian di rumah. Biasanya, selain Sul, di rumah ada Pur, anak bungsuku. Saat itu, Pur tengah ke Blora, mengurus surat kendaraan bermotor, sedangkan Sul entah ke mana. Sorenya, dia pesan agar aku tak mengunci rumah. Pas terlelap tidur di kamar, tiba-tiba aku merasakan ada seseorang yang tengah mendekapku. Mendadak aku terbangun. Ketika aku membuka mata, astaga, ternyata Sul sudah dalam keadaan bugil! Melihat gelagat yang tak baik, aku langsung menasihati. "Nak, ingat, jangan kamu teruskan perbuatanmu. Aku adalah ibu yang melahirkan kamu," kataku dengan suara terbata-bata. Rupanya otaknya sudah dirasuki setan. Ia tak menggubris omonganku. Tangannya langsung memegang leherku. Tentu saja tubuhku yang ringkih ini tak mampu melawan badannya yang berotot. Bahkan, ia dengan beringas mengancam akan membunuhku kalau menceritakan perbuatan bejatnya kepada saudara-saudaranya yang lain. Dinihari itu, anak jahanam itu telah memerkosaku. Kehancuran hatiku tak bisa kugambarkan. Aku hanya bisa menangis. Kok, tega-teganya dia berbuat sedemikian jahat padaku. Hatiku sebagai ibu rasanya seperti diiris-iris. Dadaku sampai sesak. Apalagi melihat Sul dengan tenang tidur di tikar ruang tamu, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Kisah memilukan itu kututup rapat-rapat. Aku tak berani mengutarakan ke siapa pun, termasuk pada anak-anakku. Aku khawatir dibunuh seperti ancaman yang dilontarkan Sul padaku. Begitu traumanya sampai-sampai, aku tak berani menatap wajah Sul ketika berpapasan. Sejak kejadian itu, setiap malam aku tak bisa tidur. Dalam hatiku terus berkecamuk, dosa apa yang kulakukan sampai punya anak seperti dia. Setiap malam aku selalu diliputi rasa ketakutan, khawatir perbuatan jahanam itu akan diulang kembali. <javascript:realview('detail_images.asp?act=1&id=8030&imageid=17779','detail_images','516','500');> *BERHARAP DIHUKUM MATI *Persis seminggu kemudian, tepatnya 7 Maret, menjelang subuh keringat dinginku menetes ketika tiba-tiba Sul sudah berada di sebelah tempat tidurku. Seperti kejadian pertama, Sul memaksaku untuk melayani napsu setannya. Tentu saja aku tolak. "Istighfar. Jangan teruskan perbuatanmu," ujarku sambil berurai air mata. Kembali rintihanku tak dihirau kan. Sambil mencengkeram leherku, dia mengancam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Namun, kali ini aku tak mau tinggal diam. Kendati diancam dibunuh, aku bertekad untuk menceritakan perbuatannya. Pagi setelah Sul meninggalkan rumah, aku memanggil anakku yang lain, Sutiyatun, yang rumahnya bersebelahan denganku. Dengan tergopoh-gopoh, Sutiyatun datang ke rumah. Ia khawatir terjadi sesuatu padaku. Kuceritakan perbuatan biadab Sul. Mendengar pengakuanku, Sutiyatun histeris, bahkan sempat pingsan. Dari hasil rembugan dengan anak-anakku, kami sepakat melaporkan perbuatan Sul pada aparat desa agar diteruskan ke polisi. Akhirnya, Sul berhasil ditangkap warga dan polisi. Aku lega. Kehidupan keluarga kami tak lagi diganggu Sul. Kami sempat tumpengan sebagai ungkapan rasa syukur. Aku berharap kelak Sul dihukum mati saja supaya aku tak pernah melihat lagi wajahnya. Memang, sejahat-jahatnya orang tua, tak akan tega melihat anaknya susah. Tapi Sul sudah tak layak lagi disebut manusia. Perbuatannya kelewat keji. Makanya, aku ikhlas tak menganggapnya lagi sebagai anak. Aku sebenarnya heran, mengapa sampai bisa punya anak bertabiat seperti binatang. Padahal, sejak kecil aku mendidiknya dengan baik. Itu terbukti, dari delapan anakku, tujuh di antaranya tumbuh menjadi orang baik-baik. Bahkan, saat ini anak-anakku hidup bahagia dan berkecukupan dengan keluarganya. *TIDAK PERNAH PULANG *Perjuanganku membesarkan anak-anak sungguh amat berat. Bayangkan, setelah 40 hari lahirnya si bungsu, suamiku Matkari, meninggal dunia. Sejak itu, hari-hari susah harus kulalui. Aku harus berjuang sendiri untuk menghidupi kedelapan anakku. Untuk menghidupi mereka, sehari-hari aku harus menjadi seorang buruh tani. Karena penghasilanku kecil, tak jarang dalam sehari aku dan anak-anak cuma makan sekali. Itu pun bukan nasi melainkan singkong. Meski hidup dalam kemiskinan, aku sama sekali tak pernah punya utang. Aku pun tak sanggup menyekolahkan anakku. Paling-paling mereka hanya tamat SD, bahkan ada pula yang tak sampai tamat. Meski demikian, aku tetap mengedepankan budi pekerti. Sejak kecil kutanamkan pendidikan agama. Tiap sore, kusuruh mereka mengaji di langgar atau masjid. Tak terkecuali Sul. Memasuki remaja, Sul mengisi hari-harinya menjadi buruh tani sepertiku. Penghasilannya ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Merasa sudah punya penghasilan, Sul berani menikah. Ia menemukan pendamping hidup pilihannya sendiri bernama Mariani, tetangga desa. Sebagai orang tua, aku sangat bahagia melihat dia sudah mentas dan bisa hidup mandiri. Aku semakin bahagia melihat dia dikaruania dua anak yang lucu-lucu. Tapi entah kenapa, setelah punya anak, sifat Sul berubah. Kelakuannya jadi tak karu-karuan. Sungguh menjengkelkan. Becak maupun sapi pemberian kakaknya yang seharusnya dijadikan modal hidup sehari-hari, malah dijualnya. Belakangan, ketahuan, uang tersebut dihabiskan bersama pelacur di kompleks pelacuran. Sejak itu kehidupannya semakin berantakan. Dia tak pernah pulang dan lebih suka tinggal di kompleks. Akibatnya, istri dan anak-anaknya tak kuat melihat kelakuannya. Dua tahun belakangan ini menantuku pulang ke rumah orang tuanya bersama dua anaknya. *SELALU BAWA GOLOK * Karena tak punya keluarga, Sul tinggal bersamaku di rumah. Sejak itulah, ketenanganku bersama Pur, si bungsu, anakku satu-satunya yang belum menikah, jadi terusik. Betapa tidak. Tiap hari tangannya tak pernah lepas dari golok. Dia selalu mengancamku, juga adik dan kakak-kakaknya, agar memberinya uang yang kemudian ia habiskan di kompleks pelacuran atau membeli minuman keras. Yang menyedihkan, ia mabuk-mabukan di rumah. Kalau sudah begitu, aku dan anak-anakku yang lain tak ada yang berani mengusiknya. Perangai Sul benar-benar sangat kasar. Pernah suatu kali aku dicekik karena tak memberi uang. Hal serupa juga sering dialami saudara-saudaranya. Kalau dia minta sesuatu tapi tak diberi, dia kembali datang dengan membawa golok terhunus. Padahal, sebenarnya adik dan kakak-kakaknya sayang kepadanya. Sering, lo, dia diberi uang atau barang. Tapi lagi-lagi uang tersebut habis di tangan pelacur. Sebagai orang tua, tak henti-hentinya aku berdoa, memohon agar Sul dibukakan mata hatinya oleh Allah. Aku berharap dia menjadi manusia yang baik. Bukannya baik, dia malah tambah bejat. Sejak dia memerkosaku, kesabaranku sebagai ibu habis sudah. Aku tak mau lagi menerima maafnya. Dia bukan anakku lagi! *<javascript:realview('detail_images.asp?act=1&id=8030&imageid=17780','detail_images','516','500');>DI LUAR BATAS KEWAJARAN* Ditemui di Mapolres Kediri, Kamis (10/3), Sul (37) tampak tenang. Mengenakan baju tahanan warna biru, sama sekali tak ada guratan kesedihan atau penyesalan di wajahnya. "Kami juga heran, waktu diperiksa dia biasa-biasa saja," kata Kasatreskrim Polres Kediri, AKP Sudarto, S.H. Dari hasil pemeriksaan, Sul mengakui secara terus terang perbuatannya memerkosa ibu kandungnya. Karena perbuatan itu, polisi menjerat dengan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan subsidair Pasal 23 UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Dalam Rumah tangga. Kedua undang-undang tersebut memberi sanksi sama-sama 12 tahun penjara. Menurut Sudarto, Sul tega memerkosa setelah ia pisah dari istrinya dua tahun silam. Apa pun alasannya, menurut Sudarto, "Tindakan memerkosa, apalagi terhadap ibu kandungnya, merupakan perbuatan di luar batas kewajaran." Ia juga menjelaskan, Sul sempat melarikan diri saat akan ditangkap. "Ia kabur ke tengah sawah sambil membawa senjata tajam. Setelah kami kepung dan akhirnya menyerah." -- Intan Dima Jilbab, Baju Renang Muslimah, Busana Cantik http://muslimahjelita.multiply.com