Sumber:http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05234&rubrik=batita
"BUNDA, AKU INGIN SEKOLAH" Kalau si batita gemar sekali memakai seragam sekolah kakaknya, membawa tas, atau berlaku seperti orang yang sedang membaca buku biasanya lantas muncul pertanyaan, apakah artinya si kecil sudah ingin sekolah? Dalam hati ada perasaan bangga juga, sih, kalau betul dia seperti itu, ya tidak? Namun, keputusan untuk memasukkannya ke sebuah kelompok bermain jangan diambil terburu-buru, apalagi ke TK, sebab menurut Roslina Verauli, M.Psi., dari Empati Development Centre, Jakarta Selatan, perilaku tersebut belum tentu mengindikasikan bahwa anak ingin segera disekolahkan. Memakai seragam, membawa tas dan buku, atau merengek ingin ikut ke sekolah sebetulnya merupakan perilaku peniruan, karena, "Di usia ini anak sedang berada dalam fase peniruan dan eksplorasi," ujar Vera, panggilan akrabnya. Tidak heran kalau di usia 2-3 tahun, anak sangat menikmati permainan peran atau bermain pura-pura. Ia seringkali meniru perilaku apa pun yang dilihatnya. Entah dari orang tuanya, kakeknya, pengasuhnya, dan kalau dia bukan anak pertama, maka dia akan meniru kakaknya yang sudah memasuki usia prasekolah atau SD. Bisa jadi, "keinginan" itu juga muncul karena melihat kegiatan anak tetangga yang lebih besar. Misalnya, berpura-pura sedang berangkat ke sekolah, belajar di sekolah, sampai berpura-pura kalau dia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Hal itulah yang seringkali diterjemahkan sebagai keinginan anak untuk disekolahkan. Terlebih, ketika ditanya misalnya, "Mau ke mana, Adek?" Ia menjawab, "Mau sekolah." Namun, orang tua harap memaklumi, sebenarnya dia belum mengerti arti dari sekolah itu sendiri. "Yang harus diingat, perilaku pura-pura ini didukung oleh keinginan anak untuk bereksplorasi dengan menunjukkan berbagai sikap," lanjut Vera. Selain itu, kemampuan motorik kasar dan halusnya juga sudah mendukung. Dia bisa berjalan, berlari, melompat, dan sebagainya. Imajinasinya pun sudah mulai tumbuh. Hanya saja ada anak yang lebih cepat berproses, ada juga yang lambat melakukannya. Ada anak awal 2 tahun sudah bisa bermain pura-pura, tetapi ada pula yang hingga usia 4 tahun belum bisa melakukannya. LAKUKAN OBSERVASI Jadi, meskipun perilaku anak sudah menunjukkan keinginan untuk bersekolah, orang tua sebaiknya tidak gegabah. Vera menganjurkan untuk melihat perilaku anak secara lebih cermat. Apakah ia sekadar meniru dan bereksplorasi, atau memang benar-benar ingin bersekolah. Lihatlah gejala yang ditunjukkan anak. Biasanya, bila perilaku tersebut hanya timbul beberapa waktu saja dan setelah bosan ditinggalkannya, maka mungkin dia sekadar melakukan peniruan. Beda hal kalau anak intens melakukannya dan berulangkali mengungkapkan keinginannya, "Aku mau sekolah seperti Kakak!" mungkin anak memang benar-benar sudah ingin bersekolah. "Dari situ orang tua bisa menilai apakah keinginannya serius atau tidak," sarannya. Namun begitu, cermati keinginannya lebih jauh lagi. Mungkin karena anak tertarik pada arena bermain di sekolah kakak. Jadi, sebaiknya lakukan observasi lebih dalam. Soalnya, kebanyakan anak batita hanya tertarik bermain di halaman TK tanpa itikad belajar lebih jauh lagi. Untuk memastikannya, ajaklah anak bermain ke "sekolah" kakak. Biarkan dia merasakan bersekolah itu seperti apa. Bila dia hanya asyik bermain di taman bermain, berarti terjawab bahwa keinginannya hanya sampai di situ. Kunjungan percobaan ini bisa dilakukan selama seminggu, secara reguler (2 kali seminggu), atau ikutkan dia dalam kelas percobaan jika pihak "sekolah" memiliki program demikian untuk mengetahui apakah anak memang benar-benar sudah berminat "sekolah" atau tidak. SEKOLAHKAN BILA SERIUS Bila anak benar-benar tertarik dan sudah mampu menerima instruksi sederhana, tak masalah bila kita segera memasukkannya ke "sekolah". "Umumnya, setelah usia 2 tahun, kemampuan kognitifnya mulai berkembang dengan baik dan tidak lagi terfokus pada perkembangan motorik atau manipulasi objek," papar Vera. Hal itu ditandai dengan perkembangan berbahasa yang sudah mulai kompleks dan kemampuan mengatasi masalah-masalah sederhana. "Bila kedua aspek itu sudah terlihat berkembang, oke-oke saja untuk memasukkan anak ke "sekolah". Hal ini, kan, sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan sosialnya." Apalagi, kalau perkembangan bahasa anak sudah dibarengi dengan kemampuannya memahami konsep abstrak, meskipun belum berusia 3 tahun, silakan saja "disekolahkan" dalam kelompok bermain/playgroup. Pemahaman konsep abstrak atau sesuatu yang tidak terlihat ini misalnya, anak bisa membayangkan "sekolah" yang diucapkannya, "Di sekolah aku bisa bernyanyi, menari, bermain ayunan, dan sebagainya." Tak hanya itu, pemahaman akan konsep abstrak pun bisa dilihat lewat kemampuan anak memahami bunyi-bunyian. Misalnya, ketika dia sudah bisa mengetahui keberadaan tukang es krim lewat tuternya yang dibunyikan. "Nah, kalau kemampuan berbahasa dan pemahaman konsep abstraknya sudah berkembang, berarti anak sudah mulai siap untuk 'disekolahkan' dan berhubungan dengan orang lain." Orang tua tidak perlu menunggu usia anak lebih besar bila anak sudah menunjukkan kemampuan tersebut. Soalnya, kesempatan untuk bisa belajar di lingkungan baru sangat baik untuk percepatan pertumbuhannya. Di "sekolah", kan, anak bisa mengenal berbagai figur, ada guru, teman yang berbadan besar, bersuara lantang, ataupun yang bersuara lemah lembut. Anak juga bisa mengenal cara berbagi dan lainnya. Dengan begitu anak berada dalam situasi dimana dia bisa bersosialisasi, belajar, dan mengembangkan kognitifnya. Asalkan, proses pembelajarannya tidak melupakan jiwa anak yang masih dalam taraf bermain. "Hal ini lebih bermanfaat daripada bila anak hanya berkutat dengan mainan di dalam rumah," tandas Vera. Ia memang menyangkal anggapan yang mengatakan tidak baik "menyekolahkan" anak terlalu cepat, karena anak akan lekas bosan sekaligus kehilangan masa bermainnya. "Memang, banyak orang yang berpendapat demikian, tapi kita harus melihat 'sekolah' seperti apa yang membuat anak cepat bosan," ujarnya. Bila yang dimaksud adalah sekolah formal, dimana semuanya serbaterstruktur: ada guru yang mengajar di kelas, jam pelajaran yang ketat, atau ada PR, tentu si batita akan cepat merasa bosan dan jenuh. Dengan begitu, dia pun kehilangan masa-masa bermainnya. Namun, bila anak dimasukkan ke playgroup atau kelompok bermain yang menerapkan konsep bermain sambil belajar, tidak masalah. Misalnya, sekolah tersebut tidak mengajak anak untuk menghafal warna dan bentuk secara textbook, tidak harus bisa membaca, atau duduk rapi dalam kelas. Jika itu yang dilakukan, Vera setuju bila anak segera "disekolahkan". Apalagi kalau kita sendiri tidak bisa menjamin pemberian stimulasi yang optimal kepada anak, contohnya ketika anak bertanya, "Kayaknya awan itu dari tadi ngikutin kita aja, ya?" Kemungkinan akan dijawab, "Ya, memang dari sananya!" Jawaban singkat seperti ini membuat keingintahuan anak tidak tersalurkan dengan baik. Bila dia diperlakukan seperti itu terus, tentu rangsangan terhadap proses berpikirnya lemah dan anak tidak menjadi kreatif. Berbeda bila pertanyaan itu diajukan ke gurunya di sekolah, mungkin jawaban yang keluar bersifat lebih merangsang pola pikir anak. Misalnya dijawab dengan, "Awan sebenarnya tidak mengikuti kita, tetapi karena ukurannya sangat besar dia seolah-olah mengikuti kita." Sangat mungkin dari pertanyaan sederhana itu akan berkembang menjadi dialog di antara mereka. "Nah, inilah manfaat yang bisa didapat anak." DAMPINGI KALA PERTAMA KALI MASUK Memang, aku Vera, keputusan untuk "menyekolahkan" si batita, biasanya mendatangkan kecemasan. Terutama mengenai pengalaman pertamanya di "sekolah" karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing. Untuk mengatasinya, berikan kesempatan kepada anak untuk menyesuaikan diri. Bila anak takut, beradalah di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Selanjutnya, baru lepaskan anak secara bertahap sambil menenangkannya. Ucapkan kata-kata yang membuatnya nyaman. "Lihat, Bu Gurunya baik sekali, kamu tidak perlu takut, ya!" misalnya. Jika anak sudah merasa nyaman, sudah waktunya meninggalkan anak bersama teman-temannya yang lain. Hal ini akan melatih kemandiriannya. TIPS MEMILIH PLAYGROUP Perlu diingat, usia 0-5 tahun adalah masa pertumbuhan awal anak. Pendidikan yang diberikan di usia ini akan berpengaruh besar di usia dewasa kelak. Untuk itu, orang tua diharapkan memberikan pendidikan yang tepat baginya. Pendidikan yang tepat seringkali dikaitkan dengan pilihan orang tua terhadap "sekolah" atau playgroup yang berkualitas. Berikut, Vera memberikan tips kepada kita bagaimana memilih playgroup: 1. Simaklah program atau materi yang diajarkan di sekolah, apakah sesuai dengan tuntutan perkembangan anak atau tidak. Apalagi, bila usia anak kita di bawah 3 tahun, tentu jangan sampai program-programnya malah membuat anak malas sekolah. Untuk mendapatkan informasi ini orang tua harus melihat secara langsung dengan melakukan observasi. Dari situ dinilai apakah programnya memang cocok atau tidak. 2. Lihat pula sumber daya manusia yang dimiliki playgroup tersebut. Gurunya harus benar-benar mengerti pertumbuhan anak. Ia harus interaktif, ramah, mampu memberikan rangsangan kepada anak, dan dapat memberikan pendidikan emosi dan sosialisasi dengan baik. 3. Lihat pula lokasinya, jangan terlalu jauh dari rumah karena akan membuat anak jenuh di perjalanan. Kejenuhan ini akan mempengaruhi kondisi mentalnya sesampai di playgroup. Lebih baik lagi bila memilih playgroup yang tidak berdekatan dengan pasar, stasiun kereta api, terminal bus, atau jalan raya yang sangat ramai. Kondisi ini akan mengusik ketenangan anak belajar dan bermain. 4. Pertimbangkan pula biaya yang harus dikeluarkan. Jangan memaksakan diri untuk menyekolahkan anak di playgroup yang bonafid padahal dana pas-pasan. Memang, playgroup bonafid identik dengan pendidikan yang lebih profesional. Namun, bila di tengah jalan orang tua tidak mampu lagi membiayai, anak terpaksa keluar, berarti anak harus menyesuaikan diri lagi di playgroup barunya. Tak mustahil pula anak akan menolak bila fasilitas "sekolahnya" yang baru kurang menyenangkan. 5. Sangat penting untuk melihat fasilitas yang diberikan sekolah. Biasanya, playgroup selalu memfasilitasi dirinya dengan taman bermain yang nyaman, ruang belajar yang kondusif, serta berbagai fasilitas lain yang dapat mendukung perkembangan anak. Namun, meskipun fasilitas bagus, tetapi dana kita tidak memungkinkan, jangan dipaksakan. Sumber:http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=05234&rubrik=batita. Regards, Uci mamaKavin+Ija http://oetjipop.multiply.com ________________________________________________________ Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di di bidang Anda! Kunjungi Yahoo! Answers saat ini juga di http://id.answers.yahoo.com/