tprahayu wrote:
Ditahun ke 2 aku kok blm dapet deviden sama sekali, atau paling tidak
laporan apalah. Aku tanya sama suamiku soal deviden eh dia bilang
keuntungannya dipake sama kakaknya buat bikin klinik baru + klinik
gigi. Jadi setiap keuntungan yang masuk dipake buat bayar hutang
kekakaknya itu. Dan katanya kakaknya sempet kesel..."saya yang hampir
semuanya modal dari saya aja blm dapet apa-apa, kamu kok malah minta
deviden " kasarnya begitu deh. Tadi malem suami cerita kalo ternyata
tujuan kakaknya ngajak dia adalah bukan karena butuh uang / modal
tapi ngajak suamiku belajar bisnis.
Minimal ada laporan bulanan sesederhana ini:
A. Pendapatan (Revenue) XX
B. Dikurangi Biaya Operasional (XX)
C. Laba (Rugi) [A-B] XX
Akhirnya suamiku sekarang suka keklinik minimal sebulan 3 kali dan
dibayar Rp 500.000,-
Kita bisa lihat dari bulan ke bulan trend operasional, apakah lebih
besar pasak dari tiang? Kalau rugi terus, perlu dianalisa apakah prospek
usaha bagus (ditandai dengan cenderung meningkatnya pendapatan)? Jika
prospek bagus mungkin perlu tambah modal.
Kalau dia masih sanggup ngasih 500K berarti sebenarnya tidak rugi donk!
Jika keuntungan akan dipakai untuk pengembangan usaha, seharusnya laba
dibagikan terlebih dahulu (dalam hal ini Mbak dapat 25%), baru kemudian
masing-masing boleh menambah modal sesuai dengan keinginan. Tentunya,
kemudian prosentasi saham harus dihitung ulang.
Setahu saya, jika kita merupakan pemegang saham pasif (yang dinyatakan
dalam perjanjian tertulis), maka kita tidak ada kewajiban untuk terjun
langsung mengelola usaha. Namanya juga pasif!
YMMV, CMIIW, IANAL.
Regards,
Erik
--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]