Ada artikel bagus nih buat para orang tua.
Pertimbangkan lagi jika ingin membeli PS / video game, bahkan untuk
menginstall game di komputer rumah.
Terutama untuk anak2 yg lebih banyak di rumah tanpa kegiatan.

Triagus

-----Original Message-----
From: Rita Juwita 
Subject: FW: Memenjarakan Anak dengan Kebebasan

Saya nyaris tak percaya ketika datang seorang anak yang wajahnya
tampak linglung. Raut mukanya mengingatkan saya pada anak-anak yang
idiot atau debil. Wajah yang tidak memancarkan semangat. Di matanya,
yang ada hanya tatapan kosong tanpa cita-cita.

Rasanya sulit percaya bahwa anak itu hadir ketika saya baru saja
menuliskan kata linglung untuk prolog buku "Menuju Kreativitas" karya
sahabat saya, Mas Wahyudin. Awalnya saya kira anak yang putih bersih
itu, mengalami keterbelakangan mental bawaan sejenis idiot. Tetapi
ketika
melihat reaksi-reaksi di wajahnya, saya mulai menangkap bahwa anak ini
sebenarnya normal. Pengasuhanlah yang telah membuat ia kehilangan
kekayaan yang paling berharga: "jiwa yang sehat dan hidup".

Lalu, apa yang membuat anak itu sampai begitu mengenaskan jiwanya?
Beban apa yang memberatkan dirinya sehingga hampir-hampir tak sanggup
lagi
untuk berpikir?

Bukan kemiskinan yang membuat tatapan matanya kosong dan hampa. Bukan
kesusahan yang menjadikan jiwanya penat dan lelah. Tetapi kebebasan
untuk bermain game, kapan pun ia mau. Anak sekecil itu, di usianya yang
baru
berkisar 8-9 tahun, telah menghabiskan sepertiga dari usianya setiap
hari untuk hanyut dalam permainan video-game yang menegangkan. Seluruh
energinya seakan telah habis untuk memelototkan di depan layar komputer,
berpacu dengan suara perang-perangan yang mendebarkan.

Saya segera teringat dengan tulisan yang belum selesai saya ketik. Di
prolog itu, sempat saya bercerita sejenak tentang Milton Chen. Dalam
bukunya berjudul The Smart Parent's Guide to KIDS' TV, Chen menunjukkan
bahwa waktu menonton yang cukup sehat adalah berkisar 8-10 jam seminggu.
Dengan kata lain, lamanya waktu menonton sebaiknya berada pada rentang 1
jam 9 menit sampai dengan 1 jam 25 menit. Itu pun dengan catatan
tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat
edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal
15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau
acaranya banyak menayangkan kekerasan, jam menonton harus dipersingkat.

Banyak yang menarik dari buku Milton Chen. Tentang bagaimana tayangan
kekerasan merangsang agresivitas anak, tentang bagaimana TV menumpulkan
perasaan dan kasih-sayang kepada orang lain, atau tentang bagaimana TV
merampas waktu anak yang paling berharga. Tetapi saya tidak ingin
menyibukkan Anda dengan hasil-hasil penelitian itu. Cukuplah kita
merenung sejenak tentang waktu yang kita berikan untuk anak-anak kita.
Barangkali banyak di antara kita yang merasa aman dengan kebebasan yang
kita
berikan pada anak untuk menonton, padahal 4 jam sehari (28 jam seminggu)
di
depan TV ternyata sudah termasuk kategori membahayakan. Benar-benar
mengancam mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa
video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan,
keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.


Diam-diam saya merasa khawatir, jangan-jangan banyak di antara kaum
muslimin-bahkan dari mereka yang punya komitmen dakwah-mengizinkan
anaknya duduk manis di depan TV lebih dari 4 jam sehari. Kalau itu
terjadi, akan lahir di sekeliling kita anak-anak yang tak punya
inisiatif, tumpul
otaknya dan mati gagasannya -meskipun IQ-nya sangat tinggi. Akan lahir
anak-anak yang hatinya beku dan jiwanya mati, sementara syahwat besar
berkobar-kobar.
Mereka inilah yang bisa terkena robopath sebelum dewasa, semacam
Patologi jiwa yang membuat mereka seperti robot. Bertindak tanpa
pikiran,
Bergerak tanpa jiwa. Yang ada hanya jebakan aktivitas yang membelenggu. 

Dampak ini akan lebih terasa jika yang dipelototi anak bukan lagi TV,
tetapi video-game berat. Anak yang hanyut dengan video-game sampai
tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau
justru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperi orang linglung. Tak
tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka
berperilaku sangat
agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan
kecerdasan.

Setiap kali memainkan video-game, anak juga terangsang bertindak
impulsif.
Kalau tidak ada kegiatan penyeimbang yang memadai, anak-anak itu bisa
kehilangan kendali emosi. Mereka tidak mampu mengembangkan kecakapan
emosi yang sehat, normal dan baik. Bahkan bisa terjadi, anak-anak itu
mengalami cacat emosi (emotionally handicapped), meskipun pada awalnya
normal.

Anak yang saya ceritakan di awal tulisan ini merupakan contoh bagaimana
video-game telah menjadikannya seperti anak idiot. Ia tidak nyaman
berada di lingkungan yang tidak dikenal karena keterampilan emosi dan
sosialnya telah rusak.

Bagaimana bisa demikian? Anak ini memelototi video game berat yang ada
di komputernya rata-rata delapan jam sehari!!! Apalagi pada waktu libur,
bisa lebih lama lagi. Kalau dihitung delapan jam saja, berarti lebih
dari
separo waktu jaganya digunakan untuk duduk terpaku. Ia hanya
berinteraksi
dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap detik
selalu bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh secepat-cepatnya.
Anak
mengembangkan naluri membunuh yang impulsif, sadis dan ngawur. Ia tekan
apa saja secara membabi-buta seraya memuntahkan serangan maya secepat
mungkin.

Andaikan sesudah memelototi video-game otak anak bisa segar, delapan
Jam sehari sudah terlalu banyak. Jauh lebih banyak daripada titik bahaya
nonton TV, yakni 4 jam sehari! Padahal, video game menyerap energi
psikis anak lebih besar daripada TV. Beberapa jam sesudah memelototi TV,
otak anak
masih tetap dibebani oleh permainan yang ada di video game. Anak dikejar
oleh bayang-bayang untuk menuntaskan permainan dan memenangkan
pertarungan.
Praktis, anak tidak siap menerima rangsangan lainnya. Lebih-lebih
rangsangan yang daya tariknya lemah dan tidak memberi aktivitas
menantang, akan sulit menyentuh wilayah psikis anak. Nah, proses belajar
akademis termasuk rangsangan yang cenderung tidak menantang, monoton dan
lamban -dalam hal ini bagi anak-anak yang kecanduan video-game.

Kalau ini terjadi, mereka akan merasakan suasana kelas seperti penjara
bagi jiwanya. Tubuhnya ada di kelas, tetapi pikirannya, rasa
penasarannya dan keinginannya ada di video-game. Ada suara-suara guru
yang masuk ke telinga, tetapi tak ada yang terekam. Ibarat komputer,
registrynya
sedang error. Tampaknya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk mengolah
bayang-bayang game yang mendebarkan. Inilah yang menyebabkan anak tidak
bisa memproses pelajaran yang diberikan kepadanya. Sama seperti
komputer,
sistemnya macet (system halted). Hang. Tidak bekerja.

Apa yang bisa dilakukan jika akibatnya sudah separah itu? Terapi. Ini
berarti orangtua tidak bisa melakukan sendiri, kecuali jika orangtua
adalah psikolog anak yang berpengalaman. Bisa jadi proses terapinya
tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Harus melibatkan ahli-ahli lain
untuk
mengembalikan anak pada kondisi normal, bisa belajar berpikir dengan
baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sekolah, serta
dapat
mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan wajar. Terapi juga
diarahkan agar anak bisa belajar mengelola emosinya, mampu menghidupkan
perasaannya dengan baik dan sehat, serta belajar menumbuhkan inisiatif
positif. Itu pun dengan catatan, proses terapi tidak bisa menjamin
selalu berhasil dengan sempurna. Selalu ada kemungkinan proses terapi
itu masih meninggalkan masalah, meskipun kecil, terutama jika orangtua
tidak dapat diajak bekerjasama dengan baik. Tentu saja, sangat mungkin
proses terapi akan mampu mengatasi masalah dengan sempurna. Tetapi
berhati-hati agar tidak timbul persoalan yang berat, adalah jauh lebih
baik. >

Persoalannya, kenapa sebagian orangtua dengan mudah menyediakan
alat-alat permainan semacam itu? Banyak kemungkinan.

Pertama, orangtua tidak mau repot dengan anak. Mereka belikan anak apa
pun yang dapat membuatnya diam. Kadang tanpa sadar, orangtua melakukan
dengan melemahkan rasa sayang anak pada orangtua. Ketika anak rewel,
orangtua segera menyodorkan TV, VCD, video-game atau apa pun yang dapat
membuat anak diam. Padahal cara ini bisa berdampak pada lemahnya
keterampilan emosi anak.
Mereka tidak belajar bagaimana mengelola keinginan atau mengambil
pertimbangan.

Pada sebuah kasus, seorang anak mempunyai gejala persis seperti anak
pengidap autisme. Setelah ditulusuri, anak ini ternyata pada dasarnya
normal. Pola asuh orangtuanya yang membuat anak cacat emosi. Kedua
orangtua bekerja dan begitu tiba di rumah, mereka sibuk melepas lelah
dengan
menutup di kamar. Setiap anak rewel, orangtua menyodorkan
tawaran-tawaran berupa VCD dan game. Tak ada sentuhan.

Kedua, orangtua tanpa orientasi pendidikan yang baik. Mereka
memberikan mainan apa saja asalkan anak senang. Mereka bisa terlibat
dalam
permainan.
Hanya saja mereka tidak memiliki arah, sehingga apa pun yang sedang
trend akan diberikan kepada anak. Sedihnya, sekolah pun ternyata tak
sedikit
yang miskin orientasi.

Ketiga, semangat tanpa ilmu. Mereka belikan anak berbagai bentuk alat
permainan, termasuk video game, karena menginginkan anaknya maju, modern
dan kreatif. Mereka memberi alat permainan karena mendengar bahwa
kegiatan
bermain sangat penting untuk merangsang kecerdasan, kreativitas,
inisiatif dan semangat anak. Sayangnya, mereka lupa bahwa alat permainan
-atau yang dianggap sebagai alat permainan-tidak sama dengan bermain.

Kegiatan bermain akan menyegarkan pikiran anak, menyenangkan dan
menggugah anak untuk lebih aktif. Tetapi alat permainan tidak selalu
positif.
Sebagian alat permainan bisa berfungsi sebagai alat terapi atas berbagai
jenis gangguan psikis anak. Sebagian justru bisa mengganggu.

Masalah ketiga ini agaknya perlu saya tekankan. Saya pernah merasa
sangat sedih ketika suatu hari seorang guru mengajarkan tepuk sambal
kepada
anak.
Atas nama kreativitas dan fun, guru mengajarkannya. Padahal dari segi
isi kalimat maupun gerak, nyaris tak ada yang bisa dipetik.

Termasuk semangat tanpa ilmu adalah perkataan sebagian orangtua
tentang kebebasan. Mereka pernah membaca tulisan yang cuma sekilas bahwa
anak perlu diberi kebebasan agar anak cerdas, kreatif dan penuh
inisiatif. Mereka akhirnya benar-benar belajar "menghargai" setiap
keinginan dan pendapat anak. Tetapi rupanya menghargai dianggap sama
dengan menuruti tanpa
kendali.
Walhasil, inginnya memberi kebebasan pada anak, yang terjadi justru
memenjarakan anak dengan kebebasan. Bermula dari kebebasan tanpa arah,
anak kehilangan saat berharga untuk belajar bersosialisasi. Anak tak
punya
kesempatan untuk belajar mengelola emosinya.




--------------------------------------------------------------
Info tanaman hias: http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke