http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=feature%7C-45%7CX
Jumat, 14 Maret 2008 Kehamilan dan Perjuangan Melawan Maut Oleh: Eko Bambang Subiyantoro Seorang ibu gagal melahirkan. Tragisnya, tangan bayi sudah terlanjur keluar dari lubang tempat bayi lahir. Karena pendarahan terus-menerus dan posisi bayi yang sulit dikeluarkan secara normal, persalinan itupun dihentikan. Persalinan ini hanya ditolong oleh bidan desa. Kondisi ibu dan bayi semakin kritis. Warga desa secara bergotong royong segera membawanya ke rumah sakit. Sayangnya, ibu ini tinggal di satu desa terpencil di Kabupaten Sambas. Mencapai Kota Sambas paling mudah menggunakan perahu motor, dengan menyusuri sungai Sambas dan anak sungainya kurang lebih dua jam dan ditambah proses perjalanan darat sampai satu jam. Selama tiga jam ibu itu terus membawa bayi dalam kandungan yang tangannya sudah terkatung diluar, dengan pendarahan yang terus-menerus. Ibu itu terus berjuang melawan maut. *** Kasus ibu melahirkan yang tragis dan menyedihkan ini terjadi di Desa Senujuh, Kecamatan Senjangkung Kabupaten Sambas. Seperti disampaikan diatas, desa ini sangat terpencil. Mencapainya hanya dua cara melalui darat dengan menempuh perjalanan hingga 3 - 4 jam, dengan kondisi jalan yang sangat buruk dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, atau menyusuri sungai sambas dan anak sungainya dengan perahu motor selama 2 jam melewati sejumlah hutan. Desa yang dihuni sekitar 238 kk, dan kurang lebih sekitar 1150 jiwa, sebagian besar berprofesi sebagai petani di sawah maupun di perkebunan karet. Selain bertani mereka juga memanfaatkan hutan sebagai mata pencahariannya, seperti kayu, kulit rotan yang diolah untuk kerajinan tangan oleh perempuan di desa itu. Masyarakat desa ini benar-benar sangat tergantung dengan alam raya yang telah memberikan banyak sekali kehidupan yang telah berpuluh-puluh tahun terjadi. Hampir terjadi diseluruh wilayah di Indonesia, di Desa Senujuh juga menghadapi masalah kesehatan masyarakat dan secara khusus pada perempuan. Di desa ini hampir tidak ada perhatian secara baik terhadap masalah kesehatan reproduksi perempuan, mulai dari kesehatan remaja, dewasa, ibu melahirkan dan kesehatan bayi. Puskesmas harus ditempuh sekitar 1 jam. Posyandu hampir tidak pernah ada, kecuali untuk kegiatan simbolis desa, yang ada hanya bidan desa, tetapi itupun dengan kemampuan yang sangat terbatas. Ibu meninggal atau bayi meninggal karena melahirkan bagi warga desa sudah hampir menjadi resiko yang harus diterima ketika seorang ibu hamil. Warga desa tidak punya pilihan lagi, karena memang desa mereka sangat terpencil dan kurang mendapat perhatian. Masyarakat tidak lagi berpikir tentang asupan gizi, minimal bayi bisa lahir saja sudah sangat cukup. Setidaknya dalam dua tahun terakhir ini, menurut Zurainah (35 tahun), seorang warga desa yang aktif membangun kesadaran perempuan di desa itu mencatat ada dua ibu yang meninggal karena melahirkan beserta anaknya dan sekitar enam bayi yang meninggal pada saat melahirkan. "Ibu-ibu kalau hamil dan akan melahirkan disini susah sekali, ia harus berjuang untuk keselamatan bayinya dan juga dirinya. Kepala desa disini tidak perhatian, yang diperhatikan justru investor sawit, tapi masalah kesehatan warganya sama sekali tidak ada perhatian,"ujar Zurainah. Sikap aparatur desa memang tidak adil dan kurang memberi perhatian bagi warganya. Menurut keterangan warga, aparatur desa lebih banyak memberi perhatian kepada para investor perusahaan sawit, karena dianggap bisa menambah kas desa. Tetapi penambahan kas desa tidak memperbaiki situasi desa secara lebih baik. Kehadiran perkebunan sawit di desa ini justru menambah persoalan baru masyarakat desa, seperti kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir, air menjadi keruh, hutan dibabat dan masyarakat kehilangan mata pencaharian dan sebagainya. "Saya ingin pemerintah dan aparat memberi perhatian terhadap masalah ibu hamil dan anak-anak, karena kita yang perempuan ini terus-menerus susah, mana kondisi desa sekarang semakin rusak,"ujar Zurainah menitipkan pesan. "Kalau memang tidak bisa menghadirkan dokter atau membangun puskesman, setidaknya program kesehatan masyarakat dan bagi ibu secara khusus bisa rutin dilaksanakan, entah dua minggu sekali atau satu bulan sekali, yang penting ada pemeriksaan rutin dan jelas dari dokter,"tambahnya. *** Ibu itu akhirnya selamat, tapi bayinya meninggal dunia. Diantar beberapa warga, saya bertemu dengan beliau, dirumahnya setelah melewati rintangan banjir selutut yang saat itu sedang meluap setelah hujan. Rumahnya sederhana, sebagian besar dari kayu sebagai ciri khas rumah di desa ini. Tidak ada perabotan, hanya tikar di ruang tamu dengan penerangan lampu minyak. Dari sini saya ketahui namanya Zuraidah, tidak ingat berapa umurnya secara pasti, perkiraanya sekitar 30 an. Menurut Zuraidah, dokter melakukan operasi cesar dan harus memotong sejumlah bagian organ dirahim ibu untuk mengeluarkan bayi, karena kondisinya sudah parah. Pupus sudah harapannya untuk mempunyai anak, karena rahimnnya tidak mungkin lagi bereproduksi. Ini adalah kematian anaknya yang keempat. Semua meninggal dalam kandungan. Anak pertama karena pendarahan. Anak kedua dan ketiga kembar, keduanya juga meninggal karena pendarahan dan terlambat pertolongan dan anak keempat meninggal dengan kondisi yang tragis. "Sebaiknya wawancara dihentikan, dia isteri saya, biarlah apa yang terjadi menjadi masa lalu, ujar suami Zuraidah, yang tiba-tiba memotong pembicaraan, setelah saya berbincang selama 15 menit dengan Zuraidah. Wajah Zuraidah nampak ketakutan melihat suaminya tidak mengizinkan untuk berbicara. Ia pun jadi terdiam sambil menunduk, padahal sebelumnya ia sangat antusias untuk menceritakan pengalamannya secara lebih mendalam sebagai pelajaran bagi perempuan dan pengalamannya didengar oleh pihak yang bertanggungjawab atas masalah kesehatan ibu hamil dan melahirkan agar apa yang dialami tidak terjadi. Meskipun tidak dapat hasil yang mendalam, lima belas menit bersama Zuraidah telah menguak, wajah patriakhis negeri ini, dimana persoalan-persoalan kesehatan perempuan tidak diperhatikan dan kedua perempuan tidak mempunyai hak atas dirinya untuk bertindak atas dirinya. Keputusan hidup-matinya telah dirampas oleh laki-laki, padahal yang merasakan sakit atas satu penderitaan memperjuangkan bayi dan hidupnya dari kematian adalah dirinya bukan laki-laki dan bukan suaminya. Inilah potret perempuan di Indonesia, kehamilan bukanlah berkah, tetapi perjuangan melawan maut. __._,_.___ =================================== Utamakan... Doa, Usaha, Ikhtiar & Tawakal ===================================