Gizi Generasi Televisi
Oleh Tan Shot Yen

SAYA terenyak ketika sopir taksi yang saya tumpangi mengeluh. Uang dua puluh 
ribu rupiah yang dibawanya pulang habis dalam sehari untuk jajanan kedua 
anaknya yang masih di bangku SD. Lebih mencengangkan lagi ketika ia menyebutkan 
berbagai merek jenis makanan kemasan yang menjadi favorit anak-anak itu. Mereka 
sudah tidak pernah mau menyentuh sayur kecuali dipaksa dan diancam.

Aneka rasa makanan dalam aneka kemasan menawan merambah warung-warung kecil. 
Paha ayam dan irisan sayur hijau-cukup berupa gambar pada bungkusnya-serta 
pernyataan "diperkaya oleh mineral dan zat gizi" ampuh mendongkrak nilai jual. 
Padahal, kompleksitas kebutuhan gizi manusia jelas melampaui angka yang 
tertera. Pernah, seorang artis cilik dalam iklan televisi menepis buah jeruk 
asli demi dagangan terbarunya: serbuk minuman artifisial beraroma jeruk.

Masalah busung lapar pertama-tama adalah masalah ketidakadilan ekonomi. Situasi 
ini diperparah dengan terpesonanya pemerintah oleh investasi pelbagai produk 
industri pangan. Bukan hanya abai terhadap tanggung jawabnya menyediakan pangan 
bersubsidi bagi kaum miskin dan memberikan pendidikan pangan yang adil serta 
mendasar (baca: bebas kepentingan investasi produk industri pangan), pemerintah 
juga tidak lagi mencermati hasil- hasil penelitian tentang korelasi produk 
teknologi pangan dan dampaknya di kemudian hari.

Kenyang semu

Saat ini pemenuhan kebutuhan gizi manusia sehat bersumber dari alam tergilas 
keberingasan investasi industri pangan. Pasar banjir oleh refined foods dengan 
segala risikonya, termasuk meningkatkan penyakit kardiovaskuler, menekan daya 
kekebalan tubuh, mencetuskan reaksi peradangan tersembunyi dan rasa sakit 
kronis. Sudah bertahun-tahun Barry Sears- pakar biokimia dan nutrisi-menjadi 
musuh bebuyutan industri pangan Amerika Serikat karena pemaparannya.

Dengan minimnya pengetahuan tentang makanan sehat, bagaimana masyarakat dapat 
membuat pilihan bijak? Terpesona akan tayangan iklan makanan, bangsa yang kini 
lebih mahir menonton televisi ketimbang membaca menjadi ladang subur bagi 
tumbuhnya "makanan dagang". Seorang ibu akan merasa lebih berdosa bila tak 
mampu membeli susu dan biskuit anjuran iklan ketimbang memberi dua potong tempe 
dan sepiring sayur bayam yang bisa dikonsumsi tiga kali sehari. Pernah seorang 
ibu miskin bersikukuh memberikan susu kaleng kepada anak balitanya. Jadilah 
satu sendok teh bubuk susu terlarut dalam dua ratus cc botol bayi!

Tidak ada kebijakan dan intervensi pemerintah saat ini yang sanggup membendung 
komersialisasi pangan menyesatkan, bahkan pantas dituding sebagai salah satu 
penyebab malnutrisi. Minimnya informasi mengenai sumber pangan sehat yang 
terjangkau semua lapisan jelas mencerminkan kekalahan food for health dalam 
perang melawan food for commerce yang tengah mengambil korban rakyat jelata.

Malnutrisi tidak lagi melanda mereka yang sungguh-sungguh miskin, tetapi juga 
yang miskin pengetahuan kesehatan sebenarnya, yang sirna oleh simulacra 
kecanggihan sains. Kita sibuk mencari virus baru atau mutasinya sebagai 
penyebab penyakit yang tiba-tiba mencuat menjadi perhatian massa. Mengapa tidak 
mencermati pertanyaan ini: Bagaimana daya tahan tubuh manusia diserang?

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam rentetan penyakit virus-sebutlah SARS, flu 
burung, demam berdarah dengue, polio- ujungnya mendapat gong besar: busung 
lapar. Daya tahan kekebalan tubuh menderita secara kronis hingga anjlok ke 
titik paling rendah-dan saat itu serangan penyakit mendera.

Sirnanya keprofesian

Kita berada di puncak kejenuhan antara keserakahan dalam bentuk komersialisasi 
dan tuntutan alam yang senantiasa menghendaki kesetimbangan serta harmoni. 
Simulacra menggiurkan tengah "mengenyangkan" perut bangsa ini, dari lapisan 
massa yang "kurang berpendidikan" hingga mereka yang berprofesi pemberi jasa 
pelayanan masyarakat.

Berbagai masalah kesehatan tidak lagi ditangani melalui cara berpikir rasional 
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemenuhan prosedur menjadi jauh lebih utama. 
Padahal, begitu banyak prosedur masih bertabrakan dengan berbagai kepentingan. 
Wajar jika seorang ibu perlu membawa pulang bayinya yang busung lapar dari 
rumah sakit hingga mati di rumah karena biaya rumah sakit sudah tak 
tertanggungkan. Rumah sakit dalam hal ini selalu tampak "benar". Mereka punya 
surat sakti: tanda tangan pasien menolak rawat atau "pulang paksa". Apa pun 
alasannya. Sistem pelayanan kesehatan dan pemerintah pun terbebas dari tanggung 
jawab moral.

Kepentingan komersial meluluhlantakkan aspek moral dan pelayanan yang bersifat 
lege artis (sesuai dengan keprofesian). Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah 
adalah fenomena terpentalnya pemerintah sebagai penyelenggara public service 
dalam kinerja infrastruktur, untuk lalu terperangkap dalam laissez faire. 
Horornya: privatisasi dianggap dengan sendirinya "meningkatkan kualitas". 
Caranya, biarkan rumah sakit saling bersaing termasuk menjejalinya dengan alat 
kesehatan berteknologi canggih yang mengakibatkan biaya pelayanan melonjak. Ke 
mana akan pergi si miskin busung lapar?

Samsi Jacobalis, mantan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, pernah 
mengatakan, sains makin didominasi teknologi, sedangkan teknologi makin 
didominasi motivasi mencari laba. Artinya, sains dan teknologi cenderung 
menjadi alat kekuasaan bisnis global. Adakalanya teknologi canggih digunakan 
bukan atas indikasi medik yang mutlak, melainkan demi pengembalian modal 
investasi alias kredit bank yang dpergunakan membeli alat itu.

Dalam "RS Indonesia Tak Siap Bersaing" (Kompas, 22/12/2004) tersingkap lebar 
testimoni memalukan. Nyawa manusia dipertaruhkan demi kepentingan-kepentingan 
yang sulit diterangkan.

Kriminalitas komersialisasi

Menangani busung lapar secara terpadu adalah satu hal. Tetapi tanpa keseriusan 
pendidikan yang adil tentang pangan sehat plus murah, terutama tanpa ketegasan 
pemerintah menangani komersialisasi pangan, ancaman malnutrisi tidak berhenti. 
Pemberdayaan masyarakat agar mampu menentukan dengan bijak kelangsungan 
hidupnya adalah kewajiban pemerintah yang tak bisa dielakkan. Bukan hanya 
menggratiskan biaya perawatan. Jika sehat, masyarakat tidak perlu rumah sakit. 
Tentu saja ini mengandaikan media bersedia mendidik ulang selera pasar dan gaya 
hidup.

Sumber protein bayi yang terbaik bukan biskuit dengan kemasan bergambar bayi 
montok kebule-bulean. Makanan instan yang didistribusikan saat bencana alam 
bukan dewa penolong modern ketimbang dapur umum zaman lauk tempe dan sayur 
asem. Bangsa ini memang sedang diracuni komersialisasi teknologi pangan. 
Hedonisme rasa membungkam ratapan tubuh yang haus makanan sehat.

Komersialisasi di era global adalah soal biasa. Tetapi ketika melibatkan jenis 
pangan dan pelayanan kesehatan paling dasar, apalagi menyangkut hidup mati 
orang, komersialisasi adalah sebuah kriminalitas.

Tan Shot Yen Seorang Dokter, Peserta Program Pascasarjana Sekolah Tinggi 
Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

===================================
Utamakan... Doa, Usaha, Ijtihad & Tawakal
===================================

Kirim email ke