Say NO to Puyer!!May 5, '08 10:20 AM
 for everyone
ngambil dari : http://sisiliapa.multiply.com/journal/item/160/Say_NO_to_Puyer

Postingannya Esti nih...daku dateng di acara itu juga, tapi mondar mandir nggak 
karuan (sok sibuk, hehehe...) jadi maunulis juga bingung, nggak runtut. Thanks 
ya Es...boleh copas di sini...



Sabtu kemarin, tanggal 3 Mei 2008, aku
ikut seminar kesehatan, dengan tema : Seminar dan Diskusi Pakar : Puyer,
Quo Vadis? Sepintas, nggak ada yang aneh sama judulnya.. kelihatannya cuma
'oohh tentang puyer'. Siapa sih nggak kenal puyer? Dari jaman kita
masih kecil, sampe sekarang kita punya anak, dokter kan sering meresepkan
puyer buat kita. Jadi, kenapa musti dibuat seminar khusus??



Menilik para pembicara... hmmm...

1. Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudi, Sp.FK
(Departemen Farmakologi FKUI)

2. Dra. Ida Z. Hafiz, Apt. Msi (Departemen
Farmasi FKUI)

3. Dr. Moh Shahjahan (WHO)

4. dr, Purnamawati S. Pujiarto, Sp.A(K),
MMPed (Yayasan Orang Tua Peduli)



Kemudian ada diskusi yang diikuti para
panelis dari YLKI, IDI Jakarta, Pembicara, Majelis Kode Etik Kedokteran,
Dirjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes.

Jelas ini seminar penting. Pesertanya
lumayan banyak, ada dari mahasiswa FKUI, dokter2, apoteker2, dan juga masyarakat
awam. Pesertanya sekitar 300 orang. Makin penasaran, hal yang begitu biasa,
diseminarkan, dengan dihadiri para ahli??



Dari seminar ini, aku lumayan terhenyak
dengan penjelasan dari Prof Rianto. Sebenernya aku udah tau sih, puyer
itu polifarmasi, yang akan meningkatkan efek samping obat, yang dosisnya
jadi nggak jelas, yang meningkatkan risiko interaksi obat, de el el. Tapi
penjelasan Prof Rianto lebih membuka mata terhadap risiko puyer yang nggak
main-main. Apa aja sih risiko pemberian puyer itu :



1. Menurunnya kestabilan obat - kenapa?
karena obat-obatan yang dicampur tersebut punya kemungkinan berinteraksi
satu sama lain.



2. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran krn proses 
penggerusan.
Ada obat yang sedemikian rupa dibuat, karena obat tersebut akan hancur
oleh asam lambung. Karena misalnya, obat itu ditujukan untuk infeksi saluran
pernapasan atas, maka obat tersebut harus dibuat sehingga terlindung dari
asam lambung. Nah, kalo digerus jadi puyer, ya obat itu akan segera hancur
kena asam lambung. Lebih buruk, obat itu bisa jadi malah akan melukai lambung.



3. Dosis yang berlebihan - dokter kan nggak mungkin apal sama setiap merek
obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang berbeda,
namun kandungan aktifnya sama.



4. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping - karena
berbagai obat digerus jadi satu (Prof Rianto menyebutkan, ada dokter yang
meresepkan sampai 57 obat dalam 1 puyer!!!), dan terjadi reaksi efek samping
terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan reaksi,
lha wong obatnya dicampur semua...



5. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter bisa jadi
nggak kebaca sama apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan (Prof
Rianto mencontohkan pasien asma diberi obat diabetes karena apoteker salah
baca tulisan dokter. Alhasil pasien seketika pingsan, dan saat sadar, fungsi
otaknya sudah tidak bisa kembali seperti semula).



6. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada
sisa obat yg menempel di alatnya. Berarti, puyer yang diberikan ke pasien,
dosisnya sudah berubah - jadi.. kalo yang diresepin itu AB, tetep akan
ada kemungkinan resistensi dong ya, kan dosisnya udah di bawah dari yang
diresepin dokter?



8. Proses pembuatan obat itu kan harus steril, istilahnya harus dibuat
dalam ruangan yang jumlah kumannya sudah disterilkan (istilah kerennya
clean room) - lha waktu proses pembuatan puyer di apotek... hmmm di dalem
clean room kah? Apotekernya pake sarung tangan kah? Sisa obat lain yang
sebelumnya digerus, sudah dibersihkan dengan benarkah? Kalo itu semua jawabannya
tidak (atau salah satu aja jawabannya tidak), means, obat yang digerus
sudah tercemar.



Yang paling mengerikan : ada obat yang sengaja dibuat slow release,
artinya dalam 1 tablet yang diminum, itu akan larut sedikit demi sedikit
di dalam tubuh. Kalo sudah digerus jadi puyer, obat itu akan seketika larut.
Kebayang kan, berarti akan ada efek dumping... mampukah tubuh kita menahan
efek itu? Sementara, yang biasa dikasih puyer kan bayi dan anak-anak...
mampukah tubuh kecil mereka menahan efek ini..??



Lebih terhenyak lagi, saat Dr. Moh Shahjahan
dari WHO menceritakan bawa untuk Asian Region, cuma Indonesia yang masih
pake puyer. Even Bangladesh, yang miskin itu, sudah lama meninggalkan puyer,
karena dinilai terlalu banyak risk nya ketimbang benefitnya.



Sayang, dari seminar tersebut, para
dokter sendiri masih pro dan kontra mengenai puyer. Kebanyakan yang pro
puyer, hanya menyoroti soal murah dan mudah (kan pasien kecil susah minum
obat)... tapi kalo sudah membahayakan jiwa... masihkah bisa berlindung
di balik alasan2 tersebut??



So far, yang bisa dilakukan hanyalah
menyadari konsumen yang bijak. Bukan dokter yang akan menanggung efek 
sampingnya...
tapi anak-anak kita.. jadi bijaklah dalam memutuskan apapun yang harus
diminum oleh anak...



dr. Purnamawati menyarankan:

1. tanya diagnosa dalam bahasa medis,
setiap kali kita berkunjung ke dokter (ternyata radang tenggorokan itu
bukan diagnosa, tapi gejala... hiks..), supaya kita bisa browsing di internet
mengenai penyakit tersebut

2. tiap kali diberi obat (atau resep)
tanyakan nama obatnya, kegunaan obat tersebut, dan efek sampingnya. Usahakan,
sebelum ditebus, browsing dulu di internet, supaya kita benar2 tahu apa
kandungan aktif dari obat tersebut dan apa efek sampingnya.



Selama kita masih bisa ke dokter, dan
dokter masih sempet nulis resep, artinya keadaan belum emergency. Jadi
sempatkan untuk browsing dan/atau cari 2nd opinion. Kalo keadaan emergency,
pasti dokter gak akan nulis resep, tapi akan segera merujuk ke RS, bukan?



Soal obat, aku punya pengalaman, dikasih
obat penahan rasa sakit sama dokter (saat itu aku menderita abses peritonsillar
- di dokter ke 3 baru berhasil dapetin diagnosa ini, 2 dokter sebelumnya
cuma bilang radang tenggorokan), yang ternyata efek sampingnya : penurunan
kesadaran, halusinasi, pendarahan lambung... Jadi, ndak usah ditebus aja
lah... masih bisa kok nahan sakit sebentar lagi.



Semoga, berawal dari seminar ini, dunia
kesehatan Indonesia bisa lebih berbenah diri, demi anak-anak Indonesia.

Regards,
Uci mamaKavin+Ija
http://oetjipop.multiply.com
       
---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! 
Answers

Kirim email ke