http://puterakembara.org/rm/Alergi7.shtml

*PERMASALAHAN ALERGI SUSU SAPI *
*Dr Widodo Judarwanto SpA, (email : [EMAIL PROTECTED]) <[EMAIL PROTECTED]>
*
...

*MANIFESTASI KLINIS*

Gejala yang terjadi pada alergi susu sapi secara umum hampir sama dengan
gejala alergi makanan lainnya. Target organ utama reaksi terhadap alergi
susu sapi adalah kulit, saluran cerna dan saluran napas.  Reaksi akut
(jangka pendek) yang sering terjadi adalah  gatal dan anafilaksis. Sedangkan
reaksi kronis (jangka panjang) yang tyerjadi adalah astma, dermatitis (eksim
kulit) dan gangguan saluran cerna. Beberapa manifestasi reaksi simpang
karena susu sapi melalui mekanisme IgE dan Non IgE.

Target organ yang sering terkena adalah kulit berupa urticaria dan
angioedema. Sistem saluran cerna yang terganggu adalah sindrom oral alergi,
gastrointestinal anaphylaxis, allergic eosinophilic gastroenteritis. Saluran
napas yang terjadi adalah asma, pilek, batuk kronis berulang. Target
multiorgan berupa anafilaksis karena makanan atau anafilaksis dipicu karena
aktifitas berkaitan dengan makanan

Selain target organ yang sering terjadi tersebut di atas, manifetasi klinis
lainnya berupa Manifestasi tidak biasa (anussual Manifestation). Diantaranya
adalah manifestasi kulit berupa vaskulitis, fixed Skin Eruption. Sistem
saluran cerna yang terganggu adalah chronic Pulmonary disease (Heiner
Syndrome), hypersensitivity pneumonitis. Saluran cerna yang terjadi adalah
konstipasi, gastroesophageal refluk, saluran napas seperti hipersekresi
bronkus (napas bunyi grok-grok) dan obstruksi duktus nasolakrimalis (mata
sering berair dan belekan) Target multiorgan berupa
irritability/Sleeplessness in infants, artropati, nefropati dan
trombositopeni

Reaksi susu sapi  yang timbul karena reaksi non Ige berupa dermatitis
atopik, ermatitis Herpetiformis, proktokolitis, entero colitis, alergi
eosinophilic gastroenteritis, sindrom enteropati, penyakit celiac  dan
sindrom Heiner

Terdapat 3 pola klinis respon alergi protein susu pada anak : Reaksi Cepat,
waktu dari setelah minum susu hingga timbulnya gejala. Reaksi sedang
(pencernaa), 45 menit hingga 20 jam. Sedangkan Reaksi Lambat (kulit dan
sal.cerna), Lebih dari 20 jam. Reaksi awal kulit gejala timbul dalam 45
menit setelah mengkonsumsi susu. Reaksi tersebut dapat berupa bintik merah
(seperti campak) atau gatal. Gejala lain berupa gangguan system saluran
napas seperti napas berbunyi .ngik. (wheezing), atau rhinoconjuncy=tivitis
(bersin, hidung dan mata gatal, dan mata merah). Gejala tersebut bias
terjadi meskipun hanya mengkonsumsi sedikit susu sapi. Hill dkk telah
mellaporkan bahwa hamper semua (92% penderita dalam kelompok ini dalam
pemeriksaan skin prick test   terhadap susu sapi hasilnya positif..
Anafilaksis susu sapi adalah merupakan reaksi paling penting dalam kelompok
ini.

Dalam kelompok reaksi sedang gejala yang sering timbul adalah muntah, diare
dimulai setelah 45 menit hingga 20 jam setelah mendapatkan paparan dengan
susu. Menurut penelitian sekitar sepertiga dari kelompok ini didapatkan
hasil positif hasil tes kulit (skin prick test).

Gejala yang timbul dalam reaksi lambat terjadi dalam sekitar 20 jam setelah
terkena paparan susus sapi.  Untuk terjadinya reaksi ini dibutuhkan jumlah
volume susu sapi yang cukup besar. Dalam kelompok ini hanya sekitar 20% yang
didapatkan hasil uji kulit yang positif. Uji temple alergi ( Patch Test)
yang dilakukan selama 48 jam sering terdapat  hasil positif pada kelompok
ini. Sebagian besar terjadi dalam usia lebih dari 6 bulan. Tanda dan gejala
yang sering timbul adalah diare, konstipasi (sulit uang air besar)  dan
dermatitis (gangguan kulit)

*DIAGNOSIS ALERGI SUSU SAPI*

Diagnosis alergi susu sapi adalah suatu diagnosis klinis berupa anamnesis
yang cermat, mengamati tanda atopi pada pemeriksaan fisis, pemeriksaan
imunoglobulin E total dan spesifik susu sapi. Untuk memastikan alergi susu
sapi harus menggunakan provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo
Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC yang menjadi gold standard atau baku
emas. Namun cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak
praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak
melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit
Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah
dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan .Eliminasi
Provokasi Makanan Terbuka Sederhana..

Anamnesis atau mengetahui riwayat gejala dilihat dari jangka waktu timbulnya
gejala setelah minum susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi. Harus
diketahui riwayat pemberian makanan lainnya termasuk diet ibu saat pemberian
ASI dan pemberian makanan pendamping lainnya. Harus diketahui juga gejala
alergi asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan,
dan alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari orang
tua), dan pasien sendiri.

Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, ras. Saluran
napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan asma,
rinitis alergi. Gangguan saluran cerna, muntah, diare, kolik dan obstipasi.

Pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan hadala ada kulit tampak kekeringan
kulit, urtikaria, dermatitis atopik *allergic shiner.s, Siemen
grease*, *geographic
tongue, *mukosa hidung pucat, dan wheezing (mengi).* *

*PITFALL DIAGNOSIS DAN PENANGANAN*

Pitfall atau .kesalahan yang menjerumuskan. terjadi pada awal penentuan
diagnosis dilakukan hanya berdasarkan data laboratorium baik  tes kulit atau
IgE spesifik terhadap susu sapi. Padahal baku emas diagnosis adalah dengan
melakukan menggunakan provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo
Control Food Chalenge = DBPCFC). Penelitian yang dilakukan penulis terungkap
bahwa 25 anak dengan hasil IgE spesifik terhadap susu sapi positif, ternyata
setelah dilakukan elimisasi provokasi terbuka sekitar 48% dapat toleran
terhadap susu sapi .nutrien dense., 40% toleran terhadap susu sapi
evaporasi, 24% toleran terhadap susu formula sapi  biasa.

Pitfall diagnosis juga sering terjadi hanya berdasarkan anamnesa tanpa
pemeriksaan penunjang dan DBPCFC. Bila anamnesis tidak cermat sering terjadi
kesalahan karena karena faktor yang mempengaruhi gejala yang timbul bukan
hanya protein susu sapi.  Reaksi simpang yang terjadi dapat juga diakibatkan
oleh beberapa kandungan tambahan yang ada di dalam susu formula dan reaksi
yang ditimbulkan karena diet ibu saat pemberian ASI. Faktor lain yang memicu
timbulnya gejala adalah faktor terjadinya infeksi pada anak. Saat terjadi
infeksi seperti batuk, pilek atau panas sering memicu timbulnya gejala
alergi. Misalnya saat infeksi saluran napas akut pada penderita alergi
sering disertai gejala diare, muntah dan dermatitis.

Terlalu cepat memastikan suatu anak menderita alergi susu sapi biasanya
didasarkan ketidakcermatan dalam menganalisa permasalahan kesehatan pada
penderita. Dalam menentukan apakah suatu anak mengalami alergi susu sapi
diperlukan ketelitian dan kecermatan.  Bila anak minum PASI (Pengganti Air
Susu Ibu) dan ASI (Air Susu Ibu), harus cermat dalam menentukan penyebab
gangguan tersebut. Dalam kasus tersebut, PASI atau ASI dapat dicurigai
sebagai penyebab alergi. Pada pemberian ASI, diet yang dimakan ibunya dapat
mempengaruhi bayi. Bila pemberian PASI sebelumnya sudah berlangsung lebih
dari 1 . 2 minggu tidak terdapat gangguan, kemungkinan susu formula sapi
tersebut bukan sebagai penyebab alergi. Harus diperhatikan apakah diet
ibunya sebagai penyebab alergi.

Kadang ada beberapa anak dengan susu formula sapi yang satu tidak cocok
tetapi susu formula sapi lainnya bisa diterima. Hal inilah yang menunjukkan
bahwa komposisi dan kandungan lain di dalam susu formula tersebut yang ikut
berperanan. Faktor yang berpengaruh mungkin saja karena perbedaan dalam
proses pembutan bahan dasar susu sapi. Dengan pemanasan dan proses tertentu
yang berbeda beberapa kandungan protein tertentu akan menghilang.

Sebagian besar alergi susu sapi pada bayi adalah tipe cepat yang diperan
oleh IgE dan gejala utama adalah ras kulit, eritema perioral, angioedema,
urtikaria dan anafilaksis. Sedangkan bila gejala lambat pada saluran cerna
berupa muntah, konstipasi dan diare dan gangguan kulit dermatitis
herpertiformis biasanya bukan diperani oleh IgE.  Peranan Non IgE inilah
biasanya disebabkan bukan oleh kandungan protein susu sapi.. Melihat
berbagai jenis kandungan protein dalam susu sapi dan beberapa zat tambahan
seperti AA, DHA, sumber komponen lemak (minyak safflower, minyak kelapa
sawit, minyak jagung, minyak kedelai) atau aroma rasa (coklat, madu dan
strawberi).  Masing masing kandungan tersebut mempunyai potensi berbeda
sebagai penyebab alergi atau reaksi simpang dari susu formula..

Kandungan DHA dalam susu formula kadang dapat mengakibatkan gangguan pada
anak tertentu berupa gangguan kulit. Sedangkan kandungan minyak kelapa sawit
dapat mengakibatkan gangguan saluran cerna berupa konstipasi. Aroma rasa
susu seperti coklat sering menimbulkan reaksi batuk atau kosntipasi. Begitu
juga kandungan lemak tertentu, minyak jagung dan laktosa pada susu formula
tersebut dapat mengakibatkan manifestasi yang hampir sama dengan alergi susu
sapi.  Bila gangguan akibat susu formula tersebut hanya ringan mungkin
penggantian susu sapi formula tanpa DHA atau susu sapi formula tertentu
keluhannya dapat berkurang. Jadi bila ada keluhan dalam pemakaian susu sapi
formula belum tentu harus diganti dengan susu soya atau susu hidrolisat.
Tapi bila keluhannya cukup berat mungkin penggantian susu sapi formula
tersebut perlu dipertimbangkan untuk pemberian susu soya atau hidrolisat
protein.

            Bayi atau anak yang sebelumnya telah mengkonsumsi salah satu
jenis susu sapi dan tidak mengalami keluhan dalam  waktu lebih 2 minggu.
Biasanya setelah itu tidak akan mengalami alergi susu yang sama dikemudian
hari. Hal ini sering disalah artikan ketika anak mengalami gejala alergi,
kemudian susunya diganti. Padahal sebelumnya anak telah beberapa bulan
mengkonsumsi susu yang diganti tersebut tanpa keluhan. Sering terjadi saat
terjadi gangguan terdapat faktor penyebab lainnya. Riwayat pemberian makanan
lainnya atau adanya infeksi yang diderta anak saat itu dapat menimbulkan
gejala yang sama. Kasus yang seperti ini menunjukkan bahwa kita harus cermat
dan teliti dalam mencurigai apakah seorang anak alergi susu sapi atau bukan.

            Beberapa penelitian menunjukkan alergi susu sapi sekitar 80%
akan menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun. Penelitian yang
dilakukan penulis terhadap 120 penderita alergi susu sapi menunjukkan bila
gejalanya ringan akan bisa toleran usia di atas 1 tahun. Bila gangguannya
berat, disertai gangguan kulit dan mengakibatkan  batuk dan pilek biasanya
akan tahan terhadap susu sapi di atas usia 2 hingga 5 tahun.

            Pitfal penanganan yang sering terjadi adalah saat gejala alergi
timbul, penderita paling sering direkomendasikan oleh para klinisi adalah
pemberian susu partial hidrolisa. Padahal relkomendasi yang seharusnya
diberikan adalah susu formula ekstensif hidrolisat atau susu soya, Pemberian
partial hidrolisa secara klinis hanya digunakan untuk pencegahan alergi bagi
penderita yang beresiko alergi yang belum timbul gejala. Namun pada
pengalaman beberapa kasus bila didapatkan gejala alergi yang ringan ternyata
pemberian susu parsial hidrolisa bisa bermanfaat.

            Pemberian obat anti alergi baik peroral atau topikal bukan
merupakan jalan keluar yang terbaik untuk penanganan jangka panjang.
Pemberian anti alergi jangka panjang merupakan bukti kegagalan dalam
mengidentifikasi penyebab alergi.
... to be continued ...

Kirim email ke