Sempurna Itu Membosankan Oleh: Yuli Nava http://wrm-indonesia.org/content/view/1341/1/
Sempurna Itu Membosankan. Itu kalimat yang saya pilih untuk menggambarkan sebuah pernikahan yang “steril”, pernikahan ala putri dan pengeran dalam dongeng-dongeng. Buat saya pribadi, sebuah pernikahan yang datar tanpa diwarnai riak perbedaan, adu argumen, kejengkelan, kelucuan, dan kekonyolan, selain membosankan juga terlihat tidak manusiawi. Seperti memakai topeng yang sudah dibentuk untuk selalu tampil tanpa cela, apapun yang terjadi. Celakanya (atau sayangnya), sebagian besar dari kita -termasuk saya- sudah kadung dibesarkan dengan gambaran pernikahan yang demikian adanya, yang hanya berisi kebahagiaan, tanpa riak dan tanpa masalah. Sedari kecil, kita sudah dijejali banyak dongeng tentang putri dan pangeran yang bertemu, jatuh cinta, menikah, tinggal di istana gemerlap, bahagia selamanya. Tidak perlu bangun berkali-kali tengah malam untuk mengurus bayi yang menangis (toh sudah banyak dayang), tidak perlu ribut mengatur uang bulanan (sudah ada simpanan emas yang tak ada habisnya), tidak perlu cemburu atau merasa kurang perhatian dari pasangan (tugas putri dan pangeran dalam dongeng adalah untuk saling mencintai selamanya dengan sempurna. Titik. Tamat.) Itulah sebabnya, tanpa sadar diam-diam kita membentuk harapan yang tinggi saat menikah. Berharap bahwa kehidupan dalam pernikahan akan lebih baik dibandingkan saat masih bujang, berharap bahwa semua masalah akan selesai dengan sendirinya tanpa harus berurai airmata atau menguras tenaga dan emosi. Kenyataannya, menikah itu seperti naik roller coaster. Harus siap muntah-muntah, pusing, cemas. Atau seperti memasuki ruang gelap yang dipenuhi ranjau (hal. 11). Begitu yang digambarkan oleh penulis buku ini. Saat menjalani tahun-tahun pertama pernikahan, si penulis merasakan betapa banyak hal yang harus dijalani dan pahami sebelum bisa melihat esensi sejati dalam sebuah pernikahan. Perjuangan sang penulis saat menyelami dunia barunya saat itu membawanya pada banyak konflik, kejutan, dan kegamangan. “.... pertengkaran-pertengkaran pun sering terjadi. Apa saja dapat menjadi api penyulut pertikaian....”(hal. 16). “Hal tersebut membuat saya sering bertanya pada Allah. Apakah Dia telah salah memberi kan suami untuk saya?” (hal. 16) Saat penulis merasa letih dengan berbagai kendala komunikasi yang belum bisa terselesaikan, dia akhirnya mulai melihat apa yang sebenarnya menjadi batu sandungan selama ini. “Saya berharap dia dapat menjadi suami idaman seperti yang ada di dalam benak saya.... tetapi semakin saya berusaha, semakin saya merasa gagal...”(hal. 26). “Saya mulai menerima kenyataan bahwa dia bukan tipe lelaki romantis seperti yang ada di benak saya. Bahwa definisi romantis antara saya dan dia berbeda” (hal. 28). Dengan melihat satu demi satu akar permasalahan itu, penulis akhirnya mampu untuk memahami bahwa bagaimanapun, dia dan pasangan hidupnya adalah dua karakter yang berbeda. “Seleranya, kepribadiannya, gayanya, sudah terbentuk sebelum kami menikah” (hal. 28). Dengan pemahaman baru tentang perbedaan karakter ini, penulis akhirnya mampu melihat jalan keluar yang lebih baik. Perlahan-lahan dia mulai bisa menerima kehidupan barunya yang sama sekali beda dibandingkan saat masih lajang. “Saya pun mulai belajar menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa lagi pergi sesukanya, belanja sesukanya, kumpul-kumpul sesukanya, dan bicara sesukanya” (hal. 33). “Saya juga mulai menerima sikap suami yang lebih senang menyendiri dalam menyelesaikan masalahnya. Berbeda dengan cara saya jika menghadapi masalah” (hal. 34). Perubahan cara pandang dan penerimaan tersebut juga berdampak positif pada pasangannya, seperti yang dia gambarkan berikut: “Kebiasaan saya yang senang berbicara pada suami di rumah mulai dimengerti oleh suami. Perlahan, dia pun mulai menikmati celotehan saya” (hal. 34). Membaca buku ini, mengingatkan saya pada perjalanan pernikahan saya sendiri. Banyak hal yang diceritakan dalam buku ini juga saya alami, diantaranya kejutan karena perbedaan pola pikir, budaya, kebiasaan, gaya hidup, dan sebagainya. Meskipun tidak sampai sedahsyat pengalaman pribadi sang penulis, guncangan perbedaan itu cukup untuk membuat saya bertanya: benarkah pilihan yang saya buat ini? Benarkah langkah yang saya tempuh ini, dengan meninggalkan keluarga dan pekerjaan di tanah air untuk memulai hidup yang sama sekali baru dengan orang yang sebenarnya juga baru saya temui saat menikah? Wah, ternyata saya tidak sendirian. Demikian pikir saya ketika membaca baris demi baris kalimat dalam buku ini. Alhamdulillah, buku ini turut membantu saya untuk menguatkan kembali keyakinan bahwa menikah adalah sebuah keputusan paling tepat yang pernah saya ambil. Kelebihan dari buku ini adalah alur cerita yang tertata rapi. Membaca buku ini, seperti mengunjungi ruang hati si penulis dan bercakap-cakap dengannya. Sangat memikat dan mengalir lancar. Di dalamnya ada kiat-kiat sederhana bagaimana untuk bisa memahami pribadi pasangan, bagaimana untuk mengkomunikasikan apa yang kita mau dan pikirkan, dan bagaimana untuk menikmati kehidupan pernikahan yang kadang tidak selamanya berjalan mulus. Buku ini pantas dibaca oleh siapapun yang ingin mewujudkan pernikahan yang sakinah. Dalam artian, sebuah pernikahan yang tidak menafikan perbedaan karakter, juga tidak menafikan perbedaan pendapat. Sebuah pernikahan yang sakinah adalah yang diperjuangkan bersama, bukan hadiah gratis yang jatuh begitu saja dari langit. Judul buku: Catatan Cinta Seorang Istri Penulis: Meidya Derni Penerbit: Lingkar Pena Kreativa Cetakan: I, Januari 2009 Tebal: 198 hlm