Kutipan wawancara oleh kompas sebelum salah satu pendiri Batik Tulis Tasik
Indah Wafat.

*Tasik Punya Batik, Garut Punya Nama *

"KEMARIN ada lagi yang meninggal. Berkurang satu lagi pembatik saya. Besok
entah apa lagi. Mungkin ada lagi yang berhenti karena tidak kuat lagi. *Yahh
*..., mereka sudah tua-tua. Yang paling muda saja umurnya lima puluh tahun,"
keluh Udey Budiman, salah seorang pengusaha batik tulis di Kecamatan
Cipedes, Tasikmalaya (Jabar). Ia menceritakan kesedihannya sekaligus
kegalauan hatinya karena salah satu pembatik yang bekerja padanya,
meninggal.

Tak hanya di Tasik, keluhan sama juga dilontarkan pembatik-pembatik
tradisional lainnya di Garut. Sudah lebih lima tahun terakhir mereka merasa
resah karena jumlah pembatik tradisional terus berkurang setiap tahun. Ada
yang meninggal, ada yang memang karena sudah tua sekali dan tidak sanggup
membatik lagi. Sementara generasi muda yang diharapkan sebagai penggantinya
tidak kunjung datang atau bertahan.

Kadang ada memang yang berminat dan menggantikan pembatik tua yang sudah
berhenti, tetapi itu biasanya tidak bertahan lama. Kebanyakan, mereka
bertahan hanya hitungan bulan atau paling lama satu tahun. Setelah itu
berhenti.

* ****

TIDAK berminatnya generasi muda menjadi pembatik tidak lain karena tersedia
lapangan pekerjaan <http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>lain yang memberi
gaji lumayan, sementara pekerjaan
<http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>membatik
terasa rumit dan semakin sedikit generasi muda yang paham seni batik. "Di
Garut ini sangat mudah dapat pekerjaan
<http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>yang gajinya lumayan seperti jadi
buruh pabrik atau pegawai dan yang lainnya. Apalagi bila mereka memang tidak
punya jiwa seni dan tidak sabar. Akhirnya mereka melihat pekerjaan
<http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>membatik itu adalah pekerjaan
<http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>yang membosankan dan membuat jenuh,"
jelas Uba Sri Husaodah Muharam, pengusaha batik tulis garutan yang giat
mempertahankan batik Garut.

Menurut Udey Budiman, pekerjaan <http://www.kompas.com/iklan/lowongan/>lain
memberi gaji lebih menggiurkan dan jam kerja lebih singkat. Hal ini membuat
anak-anak muda makin enggan melirik batik. Apalagi kerja membatik sangat
membutuhkan ketekunan dan kesabaran.

"Kerja di pabrik atau jadi pramuniaga misalnya, gajinya bisa dua ratus ribu
hingga empat ratus ribu rupiah. Sementara membatik, pendapatannya kurang
lebih sama tetapi jam kerjanya kadang lebih panjang. Apalagi bila mereka
memang tidak punya jiwa seni. Membatik ini kadang lebih dilihat sebagai
beban daripada lahan cari duit," tandasnya.

Berbagai cara telah dicoba untuk membangkitkan minat anak muda untuk menjadi
pembatik. Pemda dan perajin sama-sama rajin mengadakan pelatihan dan
pembinaan, bahkan memasukkan batik ke dalam mata pelajaran keterampilan di
sekolah-sekolah. Sayangnya berbagai usaha ini belum berhasil memanggil
generasi muda itu.

"Saya pernah melakukan pelatihan membatik untuk anak-anak SMP dan SMA serta
pengangguran. Saat mengikuti pelatihan, mereka kelihatan penuh minat dan
antusias. Setelah itu saya pekerjakan di tempat saya dengan gaji yang tak
kalah menarik. Tetapi, yang bertahan sampai sekarang hanya dua orang," jelas
Uba.

* ****

SANGAT bisa dipahami bila kondisi itu makin membuat galau pembatik-pembatik
tradisional. Apalagi seiring dengan itu, jumlah usaha batik juga terus
berkurang.

Di Tasikmalaya, pada masa kejayaan batik antara tahun '60-an hingga '70-an,
tak kurang ada 400 usaha batik yang menyerap ribuan tenaga kerja. Tak heran
pada masa itu Tasik terkenal dengan julukan kota batik. Tahun 2000, yang
tinggal hanya 84 usaha dengan 300-an tenaga kerja. Dari jumlah tenaga kerja
itu, pembatik-pembatik yang membuat batik tulis tinggal puluhan, itu pun
usianya rata-rata di atas 50 tahun. Selebihnya adalah tukang celup atau
tukang warna.

Tidak berbeda dengan Garut. Di kota ini kendati sejak dulu jumlah usaha
batik memang tidak sebanyak Tasik, tetapi terjadi juga pengurangan
besar-besaran. Tahun ini tinggal tiga usaha batik yang bertahan dari jumlah
puluhan sebelumnya.

Semua itu tentu saja berdampak pada makin berkurangnya produksi batik
tradisional atau yang lebih dikenal dengan batik tulis. Apalagi saat ini
sudah banyak usaha batik yang lebih memfokuskan produksinya pada batik
printing dan cap.

Pilihan pengusaha pada produksi batik printing dan cap tak lepas dari
masalah tenaga kerja, pasar dan daya beli masyarakat. Untuk membuat 1.000
potong batik printing hanya butuh waktu satu hari dengan tenaga kerja 20
orang. Sedangkan dengan batik tulis, untuk satu potong saja, rata-rata
membutuhkan waktu satu bulan.

Proses membatik memang lama, mulai dari menggambar, memberi malam pada
gambar memakai canting, diwarnai menggunakan kuas, ditembok (warna yang
sudah dioles, ditutup lilin untuk mencegah terkena warna lain), dicelup
(memberi warna dasar), hingga pelepasan malam memakai air mendidih (*rorod*
).

Setelah itu masih ada persoalan pemasaran. Harga batik tulis yang berkisar
Rp 200.000 hingga Rp 2 juta bahkan lebih membuat pembatik harus menunggu
pembeli dengan sabar.

Bagi yang punya relasi atau bekerja sama dengan perancang atau pengusaha
batik yang lebih besar di Jakarta atau Yogyakarta misalnya, masalah
pemasaran ini tidak begitu sulit. Ini yang terjadi di Garut di mana
rata-rata pembatik sudah mempunyai pasar yang luas. Kerja sama dengan
perancang membuat pembatik akhirnya berani melanggar aturan dasar. Misalnya
Udey Budiman mencoba menawarkan warna dan corak milenium dan sesuai
*trend*mode, itu artinya warna abu-abu, putih dan keperak-perakan di
atas warna
biru dengan motif bulatan dan garis. Mungkin karena ini, nasib batik Garut
lebih baik dibanding batik tasikan dalam pemasaran.

Namun, di Tasik banyak pembatik yang menjual sendiri atau hanya menunggu
pembeli datang. Paling banter pasaran akan bagus saat musim pernikahan. Pada
saat itu mereka biasanya mengerjakan pesanan batik, baik untuk digunakan
pengantin maupun keluarga pengantin, para penjemput tamu sampai panitia.

Harapan juga biasanya lebih besar bila ada kunjungan pejabat dari pusat atau
perayaan hari-hari besar. Biasanya pada saat seperti itu banyak ibu-ibu
pejabat yang memesan kain batik.

Sering kali pembatik Tasik juga tertolong oleh pembatik di Garut. Ini
terjadi bila Garut mendapat pesanan banyak sementara tenaga kerja yang ada
tidak sanggup menyelesaikan.

"Kami sering diberi pesanan untuk membantu mengerjakan pesanan-pesanan
mereka. Kadang desain dan gambarnya sudah ditentukan tetapi kadang mereka
minta apa yang kami punya," jelas Udey. Batik garutan memiliki ciri warna
biru, krem dan soga agak merah dengan motif *sapu jagat, merak ngibing* dan
*lereng peteuy*. Sedangkan batik tasikan bercirikan warna dasar merah,
kuning, ungu, biru, hijau dan soga.
Dari segi pemasaran tambah Udey, hal ini sebenarnya sangat menolong, tetapi
di pihak lain pembatik dan batik Tasikmalaya dirugikan karena dengan cara
itu nama batik tasikan kalah terkenal ketimbang batik garutan. Hampir tidak
ada konsumen yang tahu bahwa di antara batik garutan yang mereka beli,
terdapat batik-batik buatan Tasikmalaya. Sekitar 20 persen produksi batik
Tasik dipasarkan di Garut dengan nama batik garutan. Ini jadinya seperti
kerbau punya susu, sapi punya nama. Batik tasikan makin tenggelam oleh pamor
batik garutan. *(reny sri ayu taslim)
*
*Ayoooo, kita lestarikan kesenian Batik Tulis Indonesia.*
*Sekedar lihat-lihat koleksi kami di http://www.kitabbatik.com betapa
indahnya Indonesia kita, sayang kalau harus sampai punah, lihat-lihat,
menikmati keindahan foto-fotonya juga ga apa-apa kok........:)*
**
*salam,*
*http://www.kitabbatik.com*
*Spesialis Batik Tulis Nusantara
*

Kirim email ke