Artikel,mungkin buat Moms yg sdh punya putra/i lbh besar.. Fun Math??visit www.enopi.com Powered by Telkomsel BlackBerry®
-----Original Message----- From: Armiati Amy <amyju...@yahoo.com> Date: Thu, 16 Dec 2010 10:49:11 To: <amyju...@yahoo.com> Subject: Matematika itu mudah Matematika yang Ramah December 7, 2006 Jangankan mengerjakannya, melihat susunan angka dan variabel yang tertulis di dalam soal saja membuat Dewi Sutriatni (18) sebal. Pelajar Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 16 Kota Bandung ini sejak di sekolah dasar sudah membenci Matematika(Kompas Jabar, 13/03/06). Kebencian Dewi terhadap Matematika, juga dirasakan oleh banyak siswa-siswi SD-SMA lainnya. Alasan yang kerap mereka lontarkan adalah Matematika itu rumit, abstrak, dan sulit. Jurang Komunikasi Citra Matematika sebagai bidang yang rumit, abstrak, dan sulit bisa jadi disebabkan karena penggunaan simbol-simbol ‘aneh.’ Penggunaan simbol-simbol ini pada dasarnya hanya untuk menyederhanakan bentuk. Penulisan 5+5+5+5 misalnya, dapat disederhanakan dalam bentuk 4 x 5, yang artinya terdapat angka 5 sebanyak 4 buah. Penulisan simbol-simbol Matematika dalam bahasa sehari-hari pernah dilakukan oleh ahli filsafat abad ke-18, Etienne de Condillac dalam buku Langue des Calculs(Bahasa Komputer). Ia mencoba menyatakan dua baris aljabar memakai bahasa Perancis yang sederhana. Hasilnya, ia membutuhkan dua halaman yang ketika dibaca pun sama sekali tidak mudah. Apa yang dilakukan oleh Condillac merupakan salah satu usaha untuk menjembatani komunikasi antara Matematikawan dan atau ilmuwan, dengan orang awam. Hanya saja usaha ini mungkin tak sepenuhnya bermanfaat. Pertama, meski simbol-simbol matematis tersebut bisa dinyatakan dalam bahasa sederhana, makna yang terkandung di dalamnya masih relatif abstrak bagi orang awam. Konsep integral yang digunakan untuk menghitung luas daerah di bawah kurva pada selang tertentu misalnya, secara sederhana dapat diilustrasikan dengan membagi selang menjadi bagian-bagian sangat kecil, kemudian integral adalah penjumlahan dari luas bagian-bagian sangat kecil tersebut. Bagi orang yang terbiasa berhubungan dengan simbol-simbol Matematika, penjelasan ini dapat menambah pemahaman. Namun bagi orang yang tidak terbiasa, keterangan tambahan ini bisa jadi sama abstraknya dengan integral itu sendiri. Kedua, persamaan matematis yang kompleks tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal. Sebagaimana yang dituliskan dalam Wikipedia Indonesia mengenai Matematika, kian kompleks suatu fenomena, kian kompleks pula model Matematikanya, dan begitu pula sebaliknya. Untuk fenomena sederhana seperti menghitung pengeluaran keuangan bulanan misalnya, kita cukup menggunakan aritmatika(ilmu hitung) yang sederhana. Hubungan berbanding lurus antara Matematika dengan fenomena alam, menyebabkan penerjemahan notasi Matematika kedalam bahasa sehari-hari menjadi tidak efisien. Adanya perbedaan bahasa yang digunakan oleh Matematikawan untuk menjelaskan fenomena alam dengan bahasa sehari-hari, menciptakan jurang komunikasi yang memungkinkan timbulnya prasangka. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Iwan Pranoto(pemerhati pendidikan Matematika dan dosen pada Program Studi Matematika Institut Teknologi Bandung) dalam Semiloka Mengatasi Fobia Matematika pada Anak di Bandung, “Matematika itu tidak sulit. Masalahnya, banyak orang tidak dapat berMatematika secara optimum gara-gara takut terhadap Matematika. Ketakutan tersebut membuat mereka enggan belajar bahkan menjadi antipati”(Kompas Jabar, 16/08/04). Psikolog Alva Handayani pada kesempatan yang sama juga menguatkan pendapat tersebut, “Munculnya fobia Matematika juga disebabkan sugesti yang tertanam dalam benak seorang anak bahwa Matematika itu sulit. Sugesti tersebut muncul dari orang-orang sekitar yang mengatakan Matematika itu sulit” (Kompas Jabar, 16/08/04). Lebih jauh, Schoenfeld dalam buku “Learning to think mathematically: Problem solving, metacognition and sense making in mathematics” menyebutkan ada tujuh hal yang menyangkut mitos pembelajar tentang hakikat Matematika dan aktivitas pembelajaran Matematika, yaitu: (1) soal-soal Matematika mempunyai hanya satu jawaban yang benar, (2) hanya ada satu jalan yang benar untuk menyelesaikan soal-soal Matematika—biasanya cara guru yang telah didemonstrasikan di kelas, (3) pembelajar biasa tidak dapat mengharap untuk memahami Matematika, mereka mengharap sederhana menghafalnya dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari secara mekanis tanpa pemahaman, (4) Matematika adalah kegiatan yang terpencil, dikerjakan oleh individu dalam kondisi yang terisolasi, (5) pembelajar yang telah memahami Matematika akan memecahkan soal yang diberikan dalam lima menit atau kurang, (6) Matematika yang dipelajari di sekolah hanya mempunyai sedikit atau tidak ada hubungannya sama sekali dengan dunia nyata, dan (7) pembuktian formal tidak relevan dengan proses penemuan. Platonis dan Formalis versus Humanis Mitos yang melekat pada dunia pembelajaran Matematika ini mirip dengan pandangan Plato. Dalam kacamata Plato, Matematika adalah entitas abstrak yang independen dari kehidupan manusia. Adanya konsep dunia ide(al) Plato ini, menyebabkan Matematika berjarak dengan para penggunanya. Dalam wawancaranya dengan John Brockman dari Edge, penulis buku What is Mathematics, Really? Reuben Hersh menyebutkan Matematika yang berjarak ini menjadi pembenaran bagi guru untuk menyatakan ada murid yang berbakat dalam Matematika dan sebaliknya, serta pembenaran bagi siswa untuk menyerah menghadapi Matematika dengan alasan tidak memiliki bakat. Pandangan lain yang cukup dominan dikalangan Matematikawan adalah formalis. Golongan ini memandang Matematika sebagai penelaahan struktur abstrak yang didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika simbolik dan notasi Matematika. Formalis memandang Matematika sebagai alat bantu tanpa makna yang digunakan untuk memperoleh jawaban dengan mengikuti langkah-langkah tertentu. Berbeda dengan kedua golongan diatas, Hersh yang mengusung Matematika humanis memandang Matematika bukan sebagai kegiatan fisik ataupun mental, melainkan sosial. Matematika merupakan bagian dari budaya dan sejarah. Matematika serupa dengan hukum, agama, uang, dan lain-lain yang nyata, namun sekaligus hanya sebagai bagian dari kesadaran manusia secara kolektif. Sebagai kegiatan sosial dan kesadaran manusia secara kolektif, pemahaman manusia atas Matematika terkait erat dengan faktor lingkungan. Kemunculan geometri non-Euclid(geometri untuk bidang melengkung) misalnya, menunjukkan bahwa geometri Euclid tidak memenuhi benak tiap orang. Geometri non-Euclid ini kemudian digunakan oleh Einstein untuk merumuskan teori relativitas umumnya. Yang unik, kehadiran geometri non-Euclid tidak meruntuhkan bangunan geometri Euclid, melainkan melengkapi konsep yang ada sebelumnya. Pandangan Matematika humanis dan kemunculan geometri non-Euclid memberi implikasi dalam memahami Matematika. Salah satu implikasinya adalah mematahkan beberapa mitos yang diungkapkan oleh Schoenfeld. Merujuk pada definsi Barthes mengenai mitos sebagai suatu sistem komunikasi, yaitu pesan, maka mitos Matematika bisa diubah dengan merubah pesan yang dikandungnya. Serupa dengan mitos klasik yang pada umumnya disebarkan turun temurun, mitos Matematika pun memiliki agen penyebar, yaitu para pengajar. Besarnya pengaruh pengajar dalam pembentukan citra Matematika disampaikan dalam Semiloka Mengatasi Fobia Matematika pada Anak. Menurut Iwan, “Munculnya anggapan siswa dan masyarakat bahwa pelajaran Matematika sulit bahkan menjadi fobia, lebih disebabkan pola pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan dan kecepatan berhitung. Guru sebagai penyampai ilmu harus mampu mengajarkan Matematika lebih menarik dan mengembangkan daya nalar siswa”( Kompas Jabar, 16/08/04). Di tangan para pengajar inilah terkandung potensi untuk merubah ‘pesan’ Matematika yang menakutkan menjadi Matematika yang ramah.[]