Ya Allah mba...bagus sekali artikelnya.Jadi tersadar akan cinta suami yg begitu 
besar..mkasih ya mba artikel ini menyadarkan ku akan satu hal..Berikanlah yg 
terbaik untuk orang2 terkasih,sebelum mereka meninggalkan kita..



Warm rgds


   Arini
 
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "Cut Nurmalasari Sst,par" <mala_3sa...@yahoo.com>
Date: Wed, 12 Oct 2011 04:07:41 
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] Kisah inspirasi

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang 
kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang 
kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan 
hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku 
sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun 
membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa 
melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul 
keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan 
siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, 
suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal 
sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah 
benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung 
padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia 
lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah 
membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada 
sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya 
yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan 
sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku 
benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan 
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku 
juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah 
kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang 
dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku 
tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi 
rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa 
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru 
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku 
mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku 
memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh 
ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya 
bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. 
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak 
sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan 
pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari 
itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa 
mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat 
itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa 
terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. 
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan 
ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut 
tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan 
pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke 
salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di 
salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami 
mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya 
aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari 
bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian 
terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa 
yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan 
bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil 
maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak 
salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya 
selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih 
kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. 
Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon 
kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku 
kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa 
suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku 
sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti 
kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku 
ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. 
Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi 
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. 
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku 
mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum 
lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam 
beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat 
siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu 
segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku 
mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. 
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon 
ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone 
yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada 
apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga 
tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu 
bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus 
melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika 
akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib 
terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah 
tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang 
menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk 
menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada 
airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan 
mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka 
sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu 
menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya 
yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. 
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku 
selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah 
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu 
selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan 
pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi 
tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar 
kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya 
berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam 
mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. 
Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat 
padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak 
pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia 
memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung 
dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, 
bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu 
apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang 
ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah 
penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku 
tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak 
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli 
dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya 
kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup 
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih 
dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat 
tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun 
sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal 
memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena 
mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang 
selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk 
bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi 
piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat 
hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika 
aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa 
dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar 
mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku 
tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan 
menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap 
esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang 
aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal 
karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar 
tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan 
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku 
memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih 
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas 
piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun 
tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan 
mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan 
kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari 
bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal 
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana 
meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa 
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku 
agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan 
dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada 
Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena 
telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah 
yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku 
ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan 
anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah 
menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit 
dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali 
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. 
Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah 
peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku 
untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak 
pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir 
beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, 
ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak 
pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia 
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak 
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja 
atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi 
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku 
hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang 
notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah 
surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku 
dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak 
mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus 
membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak 
bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu 
singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah 
kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau 
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung 
sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah 
setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang 
bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang 
terbaik untuk mereka, ya sayang. 

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu 
yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan 
mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku 
menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. 
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah 
Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun 
kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi 
lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan 
tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa 
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil 
meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis 
terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal 
menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak 
mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi 
hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi 
satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan 
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku 
menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku 
harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, 
ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: dessy_cutt...@yahoo.com
Date: Wed, 12 Oct 2011 04:02:32 
To: balita-anda@balita-anda.com<balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] Kisah inspirasi

Trims ya mba.. Remind me to take cares of mine more.

Regards

Bunda Zahra

Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "Cut Nurmalasari Sst,par" <mala_3sa...@yahoo.com>
Date: Wed, 12 Oct 2011 03:51:23 
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Reply-To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: [balita-anda] Kisah inspirasi

Jangan nangis:'(:'(    Kisah Inspirasi Untuk Para Istri Dan Suami 
http://de.tk/B89pJ (kisah nyata Istri yg tdk m'cintai Suaminya dg tulus sampai 
saat kematiannya...*gak blh nangis*)
DiBaCa Ўª :)

Yg Ga bisa buka link nya kasi tau ya..
Sumpah ini must read! Sedih bangett...
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kirim email ke