Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."
Jakarta, KCM 
                
Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata
wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6
tahun itu. 
Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang
menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan
dokter juga tidak maksimal. 
Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera 
Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi
tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1
sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih
mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima
menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih
mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah
Bima pulang ke rumah dijemput supir. 
"Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack.
Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat,
jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova,
ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu. 
Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah
disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa
disuruh Bima mengerjakan PR-nya. 
"Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal
sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR
atau shalat," kata sang ibu.
Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat
tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera
kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan
kisah binatang kesukaannya. 
"Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil
termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup
tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang
sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun. 
Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang
anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa
panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius.
Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama
sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus
diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan
alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang
tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas" 
Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke
dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi,
Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00
pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu
tubuh Bima masih cukup tinggi.
Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke
Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya. 
"Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter
di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.
Muntah-muntah
Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa.
Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang
mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa
karena dokter baru tiba siang hari.
Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat
Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit,
buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya. 
"Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi
lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol
Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan mengejar
antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova.
Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras.
Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng,
terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan
Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat
berbahaya. 
Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa berangkat
ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah
menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru
bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30.
Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain. "Saya
pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus," ujarnya
Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu dengan
sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut. Paru-paru dan
perutnya ditekan-tekan, sembari bertanya, "Sakit nak?", Bima menggeleng,
"Tidak". 
Usai memeriksa, dokter mengatakan, "Nggak apa-apa ini bu. Anak ibu hanya
menderita radang tenggorokan." Ketika Nova bertanya mengapa anaknya muntah
luar biasa, bahkan air dari perutnya keluar banyak sekali? Dokter menjawab
enteng, "Ah, anak ibu belum dehidrasi. Minumnya masih banyak kan? Ini cuma
radang saja kok."
Sewaktu didesak lagi soal muntah yang berlebihan dokter hanya mengatakan
iritasi di tenggorokan memang menyebabkan gatal dan muntah. "Penjelasan itu
tidak memuaskan saya, kemudian saya tanya lagi, perlu infus apa tidak ya?"
Dokter menjawab enteng, "Tidak." 
Suaminya, sempat menyenggol lengannya, "Yang sekolah siapa sih?" tanyanya
bercanda, agar Nova menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya.
Nalurinya sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya, membuat Nova terus
mempertanyakan jawaban dokter yang menurutnya tidak meyakinkan. 
"Lalu kami ke luar ruangan. Anak saya minta jaketnya dibuka. Begitu dibuka
saya kaget lihat tangannya seperti orang kena tampek, ada bercak-bercak
hitam. Aduh anak saya nggak begini nih tangannya. Saya balik lagi. Dok
kenapa nih Bima, kok tangannya begini? Yang saya tahu anak saya tangannya
mulus banget," tanya Nova kepada dokter. "Ah nggak apa-apa, karena panasnya
tinggi, pembuluh darahnya lebih kelihatan," jawab dokter enteng. 
Dokter memberikan obat antibiotik cair, Velocef, 250 miligram, obat demam
Proris dan Parasetamol 300 miligram. 
"Nanti kalau sudah minum obat ini 3 hari, dan belum sembuh, cek darah ya,"
pesan dokter. 
Sesampainya di rumah, Nova langsung memberikan obat-obat itu pada anaknya.
Setelah minum obat pemberian dokter, muntah Bima berkurang, demamnya pun
turun, meski masih 38,5 derajat Celcius. "Oh obatnya bekerja, pikir saya
senang."
Tapi, Nova tak lantas berhenti berikhtiar. Ia mencoba mendapatkan second
opinion dari dokter lain. "Saya itu orangnya paranoid. Saya tak pernah
percaya satu dokter. Saya cek lagi ke dokter lain."
Entah mengapa, kali ini Nova meminta pendapat dari mertuanya yang juga
dokter spesialis anak. "Pa, saya kok nggak puas, tolong Bima diperiksa
lagi." 
Sang kakek kemudian memeriksa cucu laki-lakinya dengan teliti, termasuk
melihat obat yang diberikan dokter. "Nggak apa-apa. Dia radang tenggorokan.
Obat yang sudah diberikan dokter minum saja, habiskan. Itu sudah benar,"
kata sang kakek.
Nova belum puas juga dengan jawaban itu. Dia bertanya-tanya dalam hati,
setahunya anak demam tidak boleh lama-lama. Ia takut otak anaknya akan
mengecil, atau ada efek lainnya. Namun, mertuanya meminta Nova berpikir
positif saja untuk anaknya. 
Beli kambing kurban 
Hari Sabtu (31/1), kondisi Bima membaik. Anak ini malah sempat membeli
kambing yang akan dikurbankannya pada hari raya Idul Adha. "Bu, aku ingin
kurban, dan kambingnya aku pilih sendiri."
Usai memberi makan kambing yang baru dibeli bersama ibunya, Bima bermain
dengan sepupunya. Muntahnya sudah berhenti dan suhu tubuhnya 37,5 derajat
Celcius. 
Keesokkan harinya, Minggu (1/2), pada hari raya Lebaran Haji, Bima masih
bermain seperti biasa. Hanya saja ia terlihat lemas, dan lebih banyak
tidur-tiduran. Nova sempat memberinya jus jambu. Namun, Bima sudah tak mau
makan. Ia hanya minum terus. 
Malam harinya, kira-kira pukul 21.30, kakeknya menanyakan kabar Bima via
SMS, "Bagaimana posisi Bima?" Dijawab Nova, panasnya masih 38,5 derajat
Celcius. "Coba cek darah," jawab sang kakek yang diiyakan Nova. 
Menjelang sebuh, suhu badan badan Bima mendadak naik 40,5 derajat Celcius.
"Saya panik. Anda yang nggak beres nih. Wong panasnya sudah turun kok naik
lagi. Pasti ada infeksi," tutur Nova. Bima, masih sempat minta makan. "Bu,
aku pengin makan," kata si anak. Ibunya memberi pisang ambon. Tak berapa
lama, Bima malah muntah-muntah. Kali ini, muntahannya agak berbeda. Seperti
ada lendir coklat. "Saya tidak curiga karena saya bayangkan jika pisang
ambon teroksidasi warnanya berubah coklat."
Yang mengherankan, ketika suhu badannya diukur, bagian atas menunjukkan
angka 40.5 derajat Celcius, namun dari pangkal paha sampai kaki, sangat
dingin. 
Senin sore (2/2) sekitar pukul 15.00, Bima digotong ke UGD RS Pondok Indah.
Setengah jam kemudian, Bima sudah tiba di RS. Melihat kondisi Bima, dokter
jaga UGD langsung berkomentar, "Aduh, anak ibu kayaknya DB nih." Nova balik
bertanya, "Apa DB dok?" ,"Demam berdarah," jawab dokter. "Saya langsung
lemes," ujar Nova. 
Paramedis di rumah sakit langsung panik, mereka segera melakukan cek darah
memastikan jumlah trombositnya. Saat itu, trombositnya masih 20.000.
Bima disarankan segera masuk ICU. Sayangnya, ICU di rumah sakit tersebut
sudah penuh. Ruang ICCU pun sudah tak bisa menampung lagi. Akhirnya, Nova
diberi tiga pilihan, RSCM, RS Bintaro atau sebuah rumah sakit elit di
wilayah Jakarta Selatan.
Berdasarkan pertimbangan mertuanya yang berprofesi dokter, Nova memilih yang
terakhir. Apalagi rumah sakit tersebut, jaraknya cukup dekat dari rumahnya.
"Tapi jujur saja, sebenarnya perasaan saya tidak setuju Bima dirawat di
rumah sakit tersebut," tuturnya. 
Kepada dokter di RS Pondok Indah, Nova sempat menyayangkan, mengapa pada
pemeriksaan pertama, anaknya tak terdeteksi demam berdarah. Malah, menyuruh
kembali lagi setelah 3 hari. "Dokter itu sudah nggak bisa ngomong apa-apa
lagi," ujar Nova.
Ia juga kesal pada mertuanya karena sebagai dokter tak bisa mendeteksi demam
berdarah yang diderita Bima. 

Senin malam itu, Bima dibawa dengan ambulans kerumah sakit yang sudah
dipilih keluarganya. 
Sebelum berangkat, Nova sempat bertanya pada dokter Hinky Hindra Irawan
Satari, ahli spesialis penyakit daerah tropis yang berpraktik di RSCM, soal
tindakan apa yang akan diambil dokter dalam keadaan Bima yang sudah kritis.
Diterangkan oleh dokter, Bima harus segera mendapatkan vena session, infus
di bagian kaki. Karena dari tangan sudah tidak bisa, darahnya sudah membeku.

"Saya bertanya lagi, apakah di rumah sakit yang akan kami tuju itu sudah
mengerti tindakan yang akan dilakukan. Dokter mengatakan di sana sudah siap,
dan begitu tiba, langsung diambil tindakan. Saya percaya saja."
Hanya ditangani perawat
Sesampainya di rumah sakit yang dituju, alangkah terkejutnya Nova, karena
Bima kembali dimasukkan ke UGD, dan menjalani pemeriksaan dari awal lagi.
"Saya membentak petugasnya, ini kan sudah ada file-nya dari RS Pondok Indah,
kok masih diperiksa ulang. Mereka nggak jawab. Entah apa memang demikian
prosedur rumah sakit. Lama sekali anak saya diperiksa di UGD, baru kemudian
dibawa ke ICU." 
"Yang lebih hebat lagi," lanjut Nova, "Sejak anak saya masuk, dia hanya
ditangani suster. Dokter anak, yang harusnya berjaga di ICU baru datang
menjelang tengah malam. Ketika dia datang, anak saya sudah rapi, dan sudah
diinfus oleh suster. Dia tinggal lihat-lihat aja."
Akibat dokter datang terlambat, perawat yang menangani, sempat berkali-kali
salah menusukkan jarum infus ke tubuh Bima yang darahnya sudah mengental.
"Suster itu seenaknya tusuk sana, tusuk sini, salah- salah terus, sampai
anak saya teriak-teriak," tutur Nova dengan nada tinggi. 
Kepada dokter tadi, Nova sempat bertanya mengapa anaknya tidak mendapatkan
vena session. "Ini sudah cukup, nggak perlu lagi," kata dokter. "Saya diam
saja. Dia malah menyarankan foto paru-paru lagi, artinya kembali lagi pada
pemeriksaan awal yang sudah dilakukan di RS Pondok Indah." 
Selasa pagi (2/2), sekitar pukul 8.00, kondisi Bima drop. Ia merasa
kedinginan luar biasa. Suhu tubuhnya 35,5 derajat Celcius. Dokter dan
perawat terlihat panik. "Kenapa dokter pada panik, saya nggak ngerti. Anak
saya kemudian dikasih pemanas. Alat itu, semacam ada lampunya, yang dipasang
dari bagian pinggang sampai kaki Bima."
"Ibu masih dingin sekali, minta selimut. Empat deh bu selimutnya, " keluh
Bima berulang-ulang. 
Nova menanyakan kepada perawat mengapa anaknya menggigil kedinginan. "Nggak
apa-apa bu, pasien demam berdarah memang begitu, kadang stabil, kadang
shock."
Pada saat kritis itu, barulah beberapa dokter datang, malah ada yang
menyarankan mencari dokter anestesi untuk melakukan vena session. "Saya
pikir kok baru sekarang diambil tindakan vena session, padahal saya sudah
menanyakan hal itu sejak tadi malam," pikir Nova. 
Lebih mengherankan lagi, dokter anak yang menangani Bima, baru pagi itu
memeriksa seluruh catatan medis Bima. "Mana file dari RS Pondok Indah? Mana
foto paru-paru? Mana hasil pemeriksaan darah? Mana laporan trombosit?" tanya
dokter itu panik. "Semua kertas-kertas itu berserakan di atas meja. Padahal
kondisi anak saya sudah sangat drop, dan dokter baru mempelajari catatan
medisnya," tutur Nova kesal.
Wajah-wajah dokter dan perawat terlihat panik, malah ada sebagian yang
berusaha menahan air mata. "Mereka kelihatan putus asa. Tetapi tetap tidak
ngomong apa-apa pada saya. Kenapa muka mereka begitu?" tanya Nova dalam
hati.
Pagi itu juga Bima mendapatkan vena session, infus di bagian kakinya,
ditambah infus di bagian leher. "Ada tiga selang yang masuk ke leher anak
saya," kata Nova, yang berusaha memastikan apakah dokter yakin dengan
tindakan infus di bagian leher anaknya.
"Ini satu-satunya kesempatan," ujar dokter itu. Alasannya, di bagian leher
ada pembuluh darah besar, jadi lebih gampang. Perawat juga memasang infus di
bagian selangkangan Bima. 
Setelah beberapa lama dipasang, infus di bagian selangkangan Bima
menimbulkan bengkak. Ketika ditanyakan, perawat dengan enteng berujar, "Oh,
ternyata yang di sini nggak bisa dok, infusnya nggak masuk," kata Nova
menirukan ucapan suster tersebut. 
Sempat terlintas dalam pikiran Nova, memindahkan anaknya ke rumah sakit
lain, tapi kondisi Bima sudah terlalu parah. Satu-satunya hal yang bisa
dilakukannya tinggal ikhtiar dan berdoa. 
Tinja berwarna hitam
Selasa sore, Bima buang air besar. Nova semakin cemas, karena warna tinja
anaknya hitam. "Saya kaget, kok tinjanya berwarna hitam. Ketika saya tanya
ke dokter, dijawab tidak apa-apa. Itu merupakan proses perjalanan penyakit."
Namun, kondisi Bima semakin parah. Sekujur tubuhnya, mulai dari kepala
sampai kaki membengkak. "Bima diguyur 9 botol infus. Itu apa saja, saya
nggak tahu," ujar Nova sedih.
Ia kembali bertanya kepada dokter, "Kok bengkak sih dok? Ini gimana anak
saya?", "Nggak apa-apa bu, nanti kempes sendiri, sejalan dengan keluarnya
virus, nanti kempes sendiri," jawab dokter. 
Diantara bagian tubuh lainnya, paha Bima, yang terlihat paling besar karena
bengkak. Nova kembali bertanya, "Dok kok pahanya besar sekali?", dokter
menenangkan, "Nggak apa-apa, itu proses perjalanan penyakit. Ibu tenang
saja." 

Dalam kondisi tubuh membengkak, Bima masih sadar dan bertanya pada ibunya,
"Bu, kapan teman-teman mau jenguk aku? Aku pengin pulang, aku pengin sekolah
lagi, aku mau main sama temen-temen. Bu, bawa dong temen-temen aku ke sini,"
kata Bima mengoceh sampai tengah malam.
Sore harinya, pukul 17.00, suster kepala ruangan masih memberi informasi
yang cukup menghibur. Lima jam lagi Bima akan berhasil melewati masa
kritisnya. "Apa maksudnya," tanya Nova. "Sebentar lagi, Bima, akan normal,"
jawab suster yang memberitahukan posisi trombosit Bima 29.000.
"Alhamdulilah," sahut Nova bersyukur. 

Hari itu, Bima ingin sekali minum fruit tea rasa anggur dan peach. "Dia juga
lapar, pengin makan. Karena puasa, saya hanya memberi air sesendok. Itu pun
ditegur perawat."
"Bu, aku pengin minum yang glek-glek, kok nggak boleh sih, pelit amat," ujar
Bima lagi. 
Hari Rabu, pukul 01.00 dini hari, Bima meminta ibunya membersihkan
darah-darah kering disekitar jarum infusnya. "Bu, tolong bedak-bedakin juga
dong. Ibu cium-cium juga ya," pintanya.
Nova menciumi tangan anaknya. "Gantian dong bu, tangan yang satu lagi, "
kata Bima. "Kakinya, ciumin juga ya bu," lanjutnya. Setelah puas diciumi
ibunya, Bima minta ijin tidur. "Bu, aku tidur ya." Sebelum tidur, Bima
sempat membaca doa. 
Pada saat anaknya tidur, Nova menanyakan kondisi anaknya pada perawat.
Semuanya dijawab bagus. Air di paru-parunya pun sudah berkurang. "Entah itu
sekadar lips service atau apa, tetapi mereka memberi harapan optimal kepada
saya," tutur Nova. 
Pukul 01.30, Nova sempat shalat di samping tempat tidur Bima. Tiba-tiba
anaknya memanggil, "Ibuuu.., berpelukan", belum sempat Nova memeluk anaknya,
baru berlari ke arah tempat tidurnya, Bima sudah ngos-ngosan, nafasnya
sesak. Nova segera berteriak memanggil suster, memintanya mengambil alat
pacu jantung. 
Tetapi, satu orang perawat ICU yang berjaga ketika itu, malah sibuk mengatur
volume selang infus. "Saya bingung dan marah, kok reaksinya seperti itu,
pintu kaca ICCU saya gedor keras-keras. Tolong anak saya, ambil alat bantu
pernafasan," teriak Nova. 
Perawat kemudian memberikan CPR melalui pompa. "Saya masih memberi semangat,
'Ayo tolongin anak saya, jangan putus asa.' Saya masih optimis, karena saya
masih ingat janji-janji suster sore harinya bagus banget," kata Nova.
Bima kemudian disuntik adrenalin, detak jantungnya sempat naik, tapi
kemudian tak ada sambutan lagi, dan... hilang. Dengan alat kejut jantung pun
tak bisa mengangkat lagi, grafik detak jantungnya tak bergerak lagi. 
"Sudah bu, kami sudah berusaha, maaf..," ujar perawat. 
Tubuh Nova langsung lemas, antara percaya tidak percaya, Bima, anak semata
wayangnya, telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tepat pukul 02.15
pagi. 
Ia hanya bisa menyayangkan, mengapa pada saat kritis itu, tak ada satu
dokter pun yang menangani anaknya. 
Satu hal yang masih berkecamuk di benak Nova dan kerabatnya hingga hari ini,
adalah: Kok bisa sih di kota metropolitan, dengan rumah sakit yang katanya
favorit, penderita demam berdarah tidak tertolong nyawanya? 
Padahal, biaya yang harus dikeluarkannya selama dua hari dirawat di rumah
sakit, cukup besar, lebih kurang Rp12,5 juta. Mengapa pelayanan yang
diterimanya sedemikian buruk? 
Dalam keadaan marah dan kecewa, ia sempat ingin menggugat pihak rumah sakit.
Tetapi setelah mempertimbangkan kemungkinan anaknya akan diotopsi, Nova
menyurutkan langkahnya. "Saya tidak mungkin melakukan itu (otopsi) pada anak
saya," ujarnya lirih.
Ia hanya berpesan kepada para orangtua, begitu anak panas lebih dari 37,5
derajat Celcius, dan sudah diberi obat demam, suhunya tidak turun-turun,
segera bawa ke dokter. Bila dokter tak berinisiatif mengecek darah, bawa
sendiri ke laboratorium dan periksa darahnya. Kalau perlu, pemeriksaan
laboratorium dilakukan selama dua hari berturut-turut. Bila selama dua hari
itu terjadi penurunan jumlah trombosit segera bawa ke rumah sakit, dengan
menunjukkan bukti penurunan trombositnya. 
"Tidak usah menunggu bintik merah, karena sampai Bima meninggal, tak ada
bintik merah sama sekali di tubuhnya," ujar Nova lirih. (ZRP) 


---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke