ini apaan sih sampe berulang kali?????

-----Original Message-----
From: Teguh BR (EL95) [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, February 19, 2004 1:12 PM
To: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED];
[EMAIL PROTECTED]
Cc: [EMAIL PROTECTED]; [EMAIL PROTECTED]
Subject: [balita-anda] jahatnya kamera TV


SEPANJANG Kamis (12/2) kemarin, nyaris semua media
terkecoh oleh Akbar Tanjung. Dengan kecerdasannya,
orang nomor satu di Partai Golkar itu memanfaatkan
televisi untuk ikut memainkan "politik ruang keluarga"
yang dia skenariokan. Luar biasa!

Jutaan pemirsa televisi pasti tersedot oleh liputan
kasus kasasi Akbar Tanjung. Semua stasiun teve
berlomba mencari angel paling tepat, untuk menjadi
yang terbaik. Laporan langsung persidangan,
demonstrasi di depan Gedung Mahkamah Agung, wawancara
dengan banyak pihak yang terkait dengan kasus itu,
menjadi sajian utama. Tapi, tampaknya TV7 lebih jeli
membaca peluang. Televisi milik Group Kompas itu
membagi dua layar televisi, menampilkan pembacaan
dakwaan dan suasana di rumah keluarga Akbar Tanjung.

Maka yang tampak kemudian sepanjang hari itu adalah
perbandingan antara suasana persidangan dan atmosfer
di rumah Akbar. Keluarga besar Akbar berkumpul. Dia
bersama istri dan dua anaknya duduk di sofa dan
menonton teve dengan tegang. Berkali-kali dia
menyalami tamu yang hadir, tapi matanya fokus ke
televisi. Di sisi kirinya, Ruhut Sitompul, asyik
melempar senyum ke para tamu dan sesekali menatap
televisi. Tapi, jika Anda perhatikan, beberapa kali
Ruhut menatap kamera TV7 dengan ekspresi yang aneh. Ia
menyadari sungguh kehadiran kamera.

Kehadiran Ruhut penting dicatat di sini. Sebelumnya,
sebagaimana yang dicatat Kompas (12/2), dia telah
mengatakan bahwa kliennya, Akbar Tanjung, pasti bebas.
"Saya yakin seratus persen. Rumput bergoyang pun sudah
tahu," ujarnya sambil tertawa. Pernyataan Ruhut itu
bertolak-belakang dengan Akbar yang masih berharap,
"Saya mohon kepada para kiai untuk mendoakan saya agar
bisa lolos dari cobaan ini," katanya di Jember, Rabu
(11/2). Dari dua pernyataan itu, kita dapat melihat
arah media, terutama televisi, dalam menangkap momen
putusan kasasi tersebut.

Sandiwara Akbar

Poin pertama yang harus dicatat, apa yang dikatakan
Ruhut sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Hampir
semua media online, sepanjang Selasa sudah
memberitakan tentang akan bebasnya Akbar. Tentu tanpa
menyebut sumber berita itu. Ruhut sendiri hanya
mengatakan informasi bebasnya Akbar dia dapatkan
berdasarkan jaringan yang dia miliki di MA. Tapi skor
putusan 4-1 yang dia katakan, ternyata memang
terbukti.

Poin kedua adalah pernyataan Akbar. "Saya ingin
mendengarnya bersama istri dan anak saya di rumah,
karena ini memengaruhi kehidupan saya dan keluarga,"
ucapnya.

Ada kejanggalan pada dua pernyataan di atas. Sebagai
pembela nonligitasi Akbar Tanjung, Ruhut Sitompul
tidak mungkin tidak memberitahukan diterimanya kasasi
kasus korupsi Rp 40 miliar dana nonbujeter Bulog itu.
Artinya, jika hari Selasa saja para wartawan telah
mendapatkan bocoran tentang hasil keputusan kasus itu,
dan hari Rabu Ruhut sudah "tergelak-gelak" mengatakan
hasil keputusan itu, sangat mustahil Akbar belum tahu.


Indikasi lain, Akbar mengikuti sidang itu dari rumah
dan membiarkan --atau mungkin mengundang-- teve untuk
meliput kegiatan dia di rumah sepanjang hari itu. Dari
sini saja dapat ditarik konklusi, sangat tidak mungkin
jika Akbar tidak tahu hasil putusan kasasi itu, dia
berani mengundang wartawan teve. Apakah dia siap
reaksi semua keuarganya, tertangkap kamera, jika
kasasinya ditolak MA? Maka semua reaksi yang tampil di
rumah Akbar jelas "sandiwara akbar".

Sayang, inilah yang tidak ditangkap teve. Akbar dengan
sederetan penasihatnya yang sangat cerdas justru
memanfaatkan mata kamera untuk memperbaiki citra. Maka
duduklah dia di sofa itu dengan wajah tegang, bibir
yang terus mendaraskan doa, dan hanya berdiri untuk
pergi shalat. Istrinya, Krisnina, duduk dengan wajah
kelabu, nyaris tampa make-up, pucat, wajah kurang
tidur. Hanya dua anak mereka yang riang. Si bungsu
tersenyum terus dan yang nomor tiga duduk tanpa
gelisah.

Kamera teve terus mengikuti gerak-gerik Akbar. Dan
begitulah, saat magrib, Akbar pun berbuka puasa,
meneguk air putih, dua keping roti kering, dan lima
menit kemudian, putusan kasasi jatuh. Dia segera
menengadahkan tangan, berdoa syukur. Sementara, takbir
"Allah Akbar" bergema di ruangan. Akbar meneguk lagi
air putihnya dan hadirin yang menyalami dan
memeluknya, menyibak, memberikan ruang baginya untuk
sujud syukur. Sempurnalah "sandiwara" itu.

Jelas, sujud syukur dan doa itu bukan sandiwara dan
juga bukan reaksi spontan. Tapi semua momen itu dia
lakukan dengan kesadaran ada kamera yang mewakili
jutaan pasang mata. Adegan berikutnya adalah tayangan
"telenovela", tangisan, pelukan, takbir syukur, yang
membentuk citra betapa Akbar sangat dicintai, betapa
hebat ikatan keluarga besar mereka. Dan jujur, suasana
haru itu memang merembes ke pemirsa yang larut karena
ikut mengamati sedari awal. 

Kealpaan Media

Televisi seakan tidak cukup dengan tayangan "politik"
ruang keluarga itu. MetroTV pukul 22.00 WIB
menayangkan "Election Watch" dengan moderator Denny JA
yang juga membahas kasus Akbar, menghadirkan Wasekjen
Golkar Bomer Pasaribu. Pukul 24.00, MetroTV kembali
mengulas kasus itu dalam "Midnight Live" dengan
narasumber wakil mahasiswa pendemo dan Ketua AMPG
Yorris Raweaei. 

Tapi dua tayangan itu masih dapat dimaafkan
dibandingkan dengan tayangan "Duduk Perkara" TV7 pukul
20.00 WIB. Tayangan ini bukan mendudukkan perkara
kasasi itu di tempat yang sebenarnya, melainkan
meloncat membahas "drama mengharukan" di keluarga
Akbar Tanjung. Uni Lubis memang menghadirkan wakil
dari ICW dan Presidencial, selain Akbar dan putrinya,
tapi dua narasumber itu hanya pajangan. 

"Duduk Perkara" malam itu justru melecehkan nalar
penonton dengan tidak membahas substansi pertimbangan
hakim yang membebaskan Akbar. Moderator justru
bertanya, perlakuan semacam apa yang diterima putri
Akbar di sekolah setelah ayahnya didakwa kasus korupsi
itu. Ini kan cara berpikir yang setali tiga uang
dengan empat hakim agung yang sibuk menganalisis
Terdakwa II dan Terdakwa III tapi tidak memberi banyak
uraian mengenai Terdakwa I (Akbar Tanjung).

Kebodohan itu masih berlanjut dengan kelucuan
moderator yang menghubungkan kebebasan Akbar dengan
Hari Valentine. Masya-Allah, keputusan yang menyangkut
penegakan supremasi hukum dan moralitas hanya
didudukkan sebagai anugerah pada Hari Valentine.
Bayangkan, talk show macam apa itu yang menggiring
penonton kian menjauhi "duduk perkara"? Itu belum
cukup, Uni bahkan bertanya kepada dua narasumber lain,
tidakkah mereka ikut sedih dan tergerak melihat
kesulitan dan derita yang dialami keluarga Akbar
Tanjung? Gila!

Dari semua tayangan di atas, tampaknya media (terutama
televisi) tidak menyadari skenario yang dikembangkan
"tim humas" Akbar Tanjung. Dengan pernyataan Akbar
sebelumnya bahwa dia akan menunggu putusan bersama
keluarga saja, telah terbaca "arah angin" yang ingin
ditiupkan politikus senior itu.

Dengan menunggu di ruang keluarga dan mengundang
televisi juga media lain memasuki domain keluarga
tersebut, tampak secara nyata Akbar ingin mengubah
kasus korupsi itu dari ranah ruang publik menjadi
wilayah ruang keluarga. Artinya, posisi nyata kasus
itu yang menjadikan Akbar sebagai Terdakwa I dengan
jabatan publik sebagai Mensesneg dia geser, dengan
bantuan media, sebagai tanggung jawab pribadi, seorang
ayah. 

Yang tampil kemudian adalah kegelisahan seorang ayah
yang diapit dua putrinya, yang cemas dan gugup,
didampingi istrinya yang pucat dan "kumuh" daripada
kegelisahan ratusan rakyat kecil yang tak terangkat
nasibnya karena "hilangnya" dana Rp 40 miliar itu.

Begitu canggih Akbar memainkan skenario itu, sehingga
begitu putusan bebas dibacakan, citra kelegaan
keluarga yang ditonjolkan. Dan keberhasilan memainkan
"politik ruang keluarga" itu berimbas pada liputan
media selanjutnya yang sudah terhipnotis oleh tayangan
tersebut, sehingga menginfiltrasi tayangan sejenis
"Election Watch" dan "Duduk Perkara". 

Media dalam hal ini melakukan bias: lebih banyak
menghadirkan "fakta psikologis" daripada "fakta
sosiologis". Bukan hanya itu, dalam peliputan kasus
ini pun, media mengambil praktek talking news,
menyitir pendapat tokoh-tokoh daripada menyajikan
dampak kasus itu pada masyarakat kebanyakan.

Dan yang paling memprihatinkan, berdasarkan
intensitasitas peliputan, media hanya menjadikan kasus
ini sebagai "hiburan" dan "berita" an sich. Hanya
meliput ketika suasana sedang panas atau bahkan haru.
Saya yang melihat pembodohan itu hanya bisa mengelus
dada, karena sebagai orang yang bekerja di media, saya
merasa sedang ikut menanggung dosa. 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0402/15/layar.htm


__________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Mail SpamGuard - Read only the mail you want.
http://antispam.yahoo.com/tools

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke