Selamat Pagi... Ayah Bunda, ada bacaan menarik nih ttg kita. Semoga bermanfaat Mohon maaf yang tidak berkenan.
Wassalam, Bunda Ara dan Aka Malu Jadi Ibu RumahTangga? Pribadi dan lingkungan tidakmendukung mereka untuk bangga dan berprestasi Tentu Anda sering mendengarjawaban, "Ah, saya sih cuma ibu rumah tangga," dariseorang ibu, manakala ditanya tentang pekerjaannya. Biasanya siibu menambahnya dengan tersenyum malu. Apakah karena profesi iburumah tangga ini memang memalukan? Hingga saat ini, adalahkenyataan bahwa profesi ibu rumah tangga ini belum diletakkanpada posisinya yang sebenarnya cukup tinggi. Dianggap pekerjaan gampang Masak, cuci, seterika, bersih-bersih rumah, bermain dengananak, menyuapi makanan, siapa sih yang tak bisa melakukannya?Tanpa harus sekolah tinggi-tinggi pun tak ada kesulitan.Begitulah umumnya pendapat orang. Tapi apakah memang benardemikian? Jika tujuan membesarkan anak hanyasekadar supaya mereka tumbuh besar sih, mudah. Tetapi untukmendapatkan anak yang berkepribadian tinggi dan berakhlaq mulia,sama sekali bukan pekerjaan gampang. Tak ada jaminan gelarprofesor akan membuatnya mampu. Sayangnya, memang untuk urusan mendidikanak ini belum ada sekolah formalnya. Akibatnya, orang mengiraseorang wanita akan bisa melakukannya begitu saja secaranaluriah. Ditambah lagi, urusan mendidik anak ini hasilnya tidakbisa dilihat dalam waktu dekat. Perlu waktu bertahun-tahun untukbisa merasakan hasilnya, memiliki anak yang baik dan berakhlaq.Demikian pula bila ada kesalahan dalam mendidik, akibatnyamungkin baru ketahuan bertahun-tahun kemudian. Sehingga orangmerasa sudah mendidik anaknya dengan baik, sekalipun yang ialakukan hanyalah mendidik sesuai pendapatnya sendiri. Anggapan menyepelekan ini sangatberbahaya, mengingat pendidikan anak adalah tugas yang sangatmenentukan kualitas generasi muda ummat. Kenyataan membuktikan,bahwa kualitas generasi penerus ummat Islam masih sebataskualitas ibunya saja. Kekuatan fisik yang utama Kondisi ekonomi masyarakat kita yang masih minim menyebabkanhampir setiap orang berkonsentrasi, menghabiskan tenaga danwaktunya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Jika hanya ada singkongyang cukup dimakan sekali sehari, sementara anak-anak menangiskelaparan, dan menderita sakit yang tak kunjung sembuh karena takmampu berobat, apakah masih mampu memikirkan urusan kebersihan,kesehatan, apalagi pendidikan? Lebih baik menyuruh anak membantudi sawah daripada bersekolah. Dan ayah sebagai kepala keluargaakan mengajari istri dan anaknya apa saja yang bisa dilakukanuntuk memperoleh makanan. Apakah mencari rumput, kayu bakar,mengumpulkan sayur-sayuran liar, mencari ikan di kali, hinggamemecah batu dari sungai. Pekerjaan-pekerjaan semacam ini semuanyamemerlukan kekuatan fisik ekstra kuat. Karena itulah, wajar jikadalam kondisi seperti ini mereka yang memiliki fisik kuat,notabene akan lebih mampu menghasilkan banyak makanan, makamereka itulah yang lebih dihormati. Dalam situasi kehidupan seperti iniwanita menjadi kurang berharga di mata masyarakat. Selain karenakondisi fisiknya tak banyak memungkinkan untuk membantu mencarimakanan, tidak produktifnya mereka dianggap menjadi beban,ditambah lagi banyaknya anak keturunan yang lahir dari rahimmereka ternyata semakin menambah-nambah beban bagi laki-laki. Ratusan tahun, kondisi seperti inidialami bangsa Indonesia, sejak masa penjajahan, hingga sekarang.Walaupun kondisi ekonomi telah sempat membaik dalam 5 dasawarsa,namun penyakit kejiwaan masyarakat kurang memperoleh pengobatanyang semestinya. Tidak dilakukanluarga pria, dengan anggapanbahwa keluarga wanita tersebut akan `membeli' si pria yang akansegera berpindah untuk hidup di tengah-tengah keluarga si wanita.Seakan-akan, segala bahan yang mereka kirimkan tersebut, yangnilainya bisa mencapai jutaan rupiah, adalah sebagai penebus`harga' kekuatan fisik pria tersebut. Mereka menganggap perluuntuk memberikan penebus ini, mengingat betapa kekuatan fisikpria adalah sesuatu yang sangat berguna bagi keluarga. Materialisme: uang sebagai ukuran Apa yang tidak bisa diperoleh dengan uang? Begitu pentingnyaarti uang bagi kehidupan jaman sekarang menumbuhkan kenyataanbahwa masyarakat hanya menghargai pekerjaan-pekerjaan yangmenghasilkan uang. Lahan-lahan pekerjaan `basah' menjadi rebutanorang, sementara pekerjaan mulia yang bergaji kecil tak diminatikecuali bagi mereka yang tak memiliki pilihan lain. Apalagi lahankerja rumah tangga yang tak menjanjikan gaji. Pola hidup materialistis telah membuatorang menghormat uang dan mereka yang ber-uang. Ada uang, adapeluang. Bahkan harga diri pun diukur lewat keberadaan uang.Wajar, jika harga diri ibu rumah tangga pun terpuruk karenanya. Tak ada pengakuan Salah satu pendukung tumbuhnya rasa percaya diri adalah faktorpengakuan dari lingkungan atau masyarakat. Jika perempuan kitabelum percaya diri sebagai ibu rumah tangga, salah satu sebabnyamemang karena banyak elemen masyarakat yang kurang bisamemberikan penghormatan kepada profesi mulia ini. Media massa, baik cetak maupunelektronik, penuh dengan artikel tentang keberhasilan karir kaumwanita di luar rumah. Gambar iklan senantiasa menampilkanwanita-wanita kantoran yang keren dan trendy. Kalaupun ada iburumah tangga, itu hanya iklan sabun cuci. Hampir semua yang berbau modern diambildari dunia Barat. Padahal, dunia mereka sudah banyakmendiskreditkan keluarga. Dianggap pembatas kebebasan wanita,kian banyak orang benci pada pernikahan. Keluarga sebagaiinstitusi sudah dianggap tak perlu. Keinginan hubungan seksmaupun punya anakpun bisa diperoleh tanpa nikah. Lantas, perlahan(tapi pasti) profesi ibu rumah tangga akan terhapus jikakecenderungan ini tak dihentikan. Sementara itu, para suamipun masihbanyak yang belum bisa menghargai profesi istrinya ini. Jangankanmemberikan fasilitas kerja yang baik, memberi pujian pun tidak.Banyak yang berpendapat bahwa memang istri ditakdirkan untukmengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, merasa tak perlumemberikan imbalan apa-apa. Merasa tak perlu juga turun tanganmembantu jika sang istri kerepotan. Bukankah sudah beginipembagiannya? Itu pendapat mereka. Apakah anda juga berpendapat sepertiini? Jangan. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Wanita tidaklahditakdirkan untuk hidup mengabdi kepada suaminya semata. Pendapatini perlu diluruskan. Kualitas rendah Kisah kaum ibu yang suka ngerumpi, ghibah, shopping, cucimata, serta menghabiskan waktu menonton telenovela di televisimemang bukan kabar burung semata. Penyakit-penyakit ini banyakmenjangkiti kaum ibu berpendidikan di kota-kota, dan lebih banyaklagi mewabah di antara kaum ibu di desa-desa. Memang tak dapat dipungkiri bahwa iniadalah akibat dari serangkaian penyebab yang telah kita bicarakandi atas, namun tidak adanya kesadaraan dari diri kaum ibu sendiriuntuk memperbaiki dirinya menyebabkan citra ibu rumah tangga kiantercoreng-moreng. Kalau tingkat kualitas sumber dayamanusia kaum ibu pedesaan rendah, itu sangat bisa kita pahami.Selain faktor kurangnya pendidikan, kurangnya informasi, opinisuami dan masyarakat yang masih kurang menghargai istri, jugaupaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas mereka pun nampakbelum serius. Program-program pemerintah untuk kaumibu di pedesaan seperti program PKK dan POSYANDU sudah memilikikonsep yang cukup baik, namun dalam penerapannya selain tidakdidukung dana dan fasilitas, juga dikerjakan oleh orang-orangyang tidak profesional. Akhirnya ratusan juta rupiah yang selamaini dikucurkan masih belum memperoleh hasil sesuai dengan targetyang diharapkan. Dan kaum ibu Indonesia sekarang masih takubahanya seperti kaum ibu sepuluh, dua puluh bahkan lima puluhtahun lalu! Need a new email address that people can remember Check out the new EudoraMail at http://www.eudoramail.com