Dari milis tetangga :
> Tegar Di Sisa kehidupan 
> 
> NY. Made, (bukan nama sebenarnya -- Red.), ibu rumah tangga asal Bali,
> divonis mangidap HIV pada tahun 1996. "Hidupku sekarang seperti lagunya
> Krisdayanti 'menghitung hari'," ujarnya. Tegar, tetapi getir. 
> 
> Aku hanya bisa pasrah. Toh sudah terlambat Virus HIV-AIDS yang mematikan
> itu telah bersemayam di dalam tubuhku. Ya, akulah pasien HIV-AIDS.
> Orang-orang kini menyebutku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Mereka risih
> sepertinya melihatku. Acap kami berpapasan di jalan -- padahal jarak kami
> masih lima meteran - orang sudah menghindar. Belok kiri, belok kanan
> mundur berbalik arak bahkan kabur! Ya, Tuhan, sedih hatiku. 
> 
> Ek ada juga yang lantaran takut ketularan HIV/AIDS mereka menutup pintu
> rumahnya rapat-rapat kalau aku lewat, Tetapi yang lebih menyedihkan adalah
> jika mereka, teman-teman dan saudara-saudaraku, menutup hatinya juga. 
> 
> Manurut dokter, rasanya mustahil mengenyahkan virus HIV dari tubuhku.
> "Sampai sekarang AIDS belum ada obatnya sih, " ujar dokter. Tanpa tedeng
> aling-aling dokter pun menvonisku akan segera meninggal dunia dalam
> beberapa tahun. lima tahun, sepuluh tahun.... Bisa juga lebih cepat. 
> 
> Dalam kesempatan berbincang dengan I&A pada seminar HIV/AIDS di
> Yogyakarta, beberapa pekan lalu, Ny. Made yang berambut panjang khas
> wanita Pulau dewata, menuturkan riwayat penyakitnya tanpa sedikitpun
> menagis. 
> 
> Dulu kupikir AIDS hanya mengancam orang-orang bule yang memang banyak di
> Bali. Atau, ya, paling tidak orang yang gaya hidupnya 'jorok' suka
> bergonta-ganti pasangan, penjaja seks, homoseks. Tapi ternyata AIDS
> menimpaku. Padahal aku lahir, besar dan tumbuh dalam keluarga Hindu yang
> taat beribadah. Seks bebas? Wah, aku takut kepada Sang Hyang Widhi. 
> 
> Sejak, kecil aku juga rasanya tak pernah meninggalkan semua peribadatan,
> upacara-upacara, sembayang, berbuat baik pada binatang pada sesama
> manusia. Jadi sekarang rasanya aku ingin berteriak mempertanyakan kepada
> Sang Dewata. 
> 
> Aku anak tunggal Bapakku wafat ketika aku masih kecil. Ibulah yang
> membesarkanku tapi terbelik keinginannya untuk menikah lagi. Aku heran,
> kenapa ibu tak mau menikah lagi, Padahal dia cantik, yang jatuh cinta
> padanya banyak. Tetapi kata ibu, dia mau mengurus aku saja. Duh terima
> kasih, Ibu. 
> 
> Karena sayangnya aku pada ibu, sejak dulu cita-citaku adalah membahagiaan
> ibu kelak aku pun belajar sungguh-sungguh agar pintar, dan tak
> menyia-nyiakan jerih payah ibu mencari uang untuk menyekolahkan aku.. 
> 
> Kata orang-orang, pambawaanku riang. Aka juga ceriwis, sehingga mudah
> bikin orang tersenyum. Banyak orang senang bergaul denganku. Kata mereka
> wajahku biasa, tapi aku manyenangkan. Makanya banyak yang suka padaku,
> termasuk, Bram, teman satu SMA. 
> 
> Sayang Bram dan aku berbeda kasta, Kasta Bram lebih tinggi (Brahmana)
> dariku (Waisya). Setelah bersama-sama 4 tahun, kami terpaksa putus pacaran
> karena ibu melarangku serius dengan bram "Ibu tak mau melihat kamu
> disia-siakan oleh Bram lantaran kita berkasta lebih rendah," kata ibu. 
> 
> Ibuku memang masih kolot. Padahal kelurga Bram, meaki berkasta lebih
> tinggi, memiliki sifat egaliter (kesamaan derajat) begitu besat terhadap
> orang lain. Bagi mereka derajat seseorang bukan ditentukan keturunan,
> malainkan sifit dan kepribadiannya. Tapi apa mau di kata, aku tak sampai
> hati mengecewakan ibu. Bukan kah sejak dulu aku bercita-cita ingin
> membahagiakannya? Maafkan aku, Bram.... 
> 
> Meski hatiku hancur, aku tetap tersenyum menyambut calon suami pilihan
> ibu. Namanya, Baskoro, sarjana dari sebuah universitas bonafide di Jakarta
> yang hidupnya sudah mapan. Dia orang Bali juga. Kasta kami sama, tetapi
> dia lama tinggal di Jakarta. "Baskoro tampan Perawakannya yang tinggi
> besar cukup membuatku terkesima pada pertemuan pertama kami. 
> 
> Menurut Ny Made, secara jujur sebenarnya hatinya masih tertuju kepada
> mantan pacarnya, Bram, Pemanpilan Baskoro yang menawan tak sanggup
> mengusir cintanya pada Bram, pemuda yang bersahaja 
> 
> Aku cuma punya kesempatan 4 bulan untuk mengenal Baskoro langsung. Setelah
> itu dia harus kembali ke Jakarta untuk mengurus pekerjaannya, setahun
> kemudian baru kami menikah. Maka kujalani saja hari-hari perkenalan dengan
> singkat. 
> 
> Pacaran? Rasanya kurang pas juga disebut begitu. Masalahnya hati kami
> masih 'jalan' sendiri-sendiri. Cara baskoro yang berkomunikasi dengan
> kaku, dingin dan terkesan ada yang menyembunyikan. Misal, waktu aku
> bertanya masa lalunya, Baskoro menyahut singkat, "Saya pernah punya pacar.
> Saya juga pernah berhubungan seksual." 
> 
> Aku kaget, Tapi kata orang memang lelaki suka bertualang. Keperjakaan bagi
> mereka tak penting. Terima sajalah kodrat ini. 
> 
> Hari pernikahan tiba. Baskoro datang dengan pakaian komplit, untuk
> menyuntingku jadi istrinya. Tetapi, ah kok dia kurus sekali? Raut wajahnya
> juga kaku, seperti orang sakit. Padahal setahun kemarin dia masih gagah
> seperti Bima. 
> 
> Aku tak banyak bertanya. Jodohku dari Dewata. Aku telah mengikat janji
> mengarungi bahtera rumah tangga bersama Baskoro. Dalam hati aku bertekad
> belajar mencintai laki-laki ini sepenuh hati. 
> 
> Bulan pertama perkawinan memang payah, karena kami masih saling
> menyesuaikan diri. Tetapi lama-lama kebahagian mulai berlabuh dihatiku.
> Apalagi waktu aku dinyatakan positif hamil. Oh, bahagianya. Aku akan punya
> bayi mungil! Mudah-mudahan dia bagus seperti bapaknya. 
> 
> Diam-diam aku mulai cinta pada baskoro. Tetapi selagi aku hamil muda,
> mengapa dia yang muntah-muntah? Badannya juga sering meriang. Sebaliknya
> aku mual saja tak pernah. Apa ini namanya suami mengidam demi istrinya
> yang hamil? Menurut kepercayaan orang bali , jika suami payah saat
> istrinya sedang hamil, berarti cintanya pada istrinya besar. 
> 
> Sampai Ny made hamil besar, suaminya masih sering muntah. Bahkan ketika
> jabang bayi lahir, Baskoro masih kerap meriang. Lama-lama sang istri
> curiga 
> 
> beli (kakak -- Red) apa sakit parah?" tanyaku pada Baskoro ketika dia
> meriang di tempat tidur. Baskoro tidak mejawab. "Kok, obat dari dokter
> seperti tidak mempan ya, Beli?" desaku lagi. 
> 
> Makin hari suamiku makin kurus kering, Tenggorokannya sakit mulutnya susah
> mangunyah makanan. Belakangan paru-parunya juga sesak. Apa gerangan ini?
> Apa sebenarnya yang diderita Baskoro? Bingung aku jadinya. 
> 
> Suatu hati kebetulan kami berkungjung ke rumah pamanku yang dokter. Waktu
> melihat Baskoro, paman membisiki aku, "Kok, Baskoro seperti penderita
> AIDS?" Tentu saja aku kaget. Kulihat wajah pamanku, apakah dia guyon?
> Tetap tidak, wajah paman serius. "Sebaiknya Baskoro periksa darah" usul
> pamanku. 
> 
> Karena aku ingin melihat Baskoro sembuh dan menungguiku melahirkan anak
> kami saran paman kuikuti. Sakalian saja aku juga tes darah. Karena jika
> ternyata Baskoro benar sakit parah, paling tidak aku ingin tahu kondisiku
> yang telah hidup bersamanya. Beberapa hari kemudian kami dipanggil untuk
> mendapatkan informasi hasil tes. Waktu itu aku tengah hamil tua. "Ibu
> positif HIV. Bapak positif AIDS," kata dokter. 
> 
> Seperti ombak setinggi gunung yang menabrak batu karang di Pantai Tanah
> Lot. Dan langit mana awanmu yang cerah? Apa-apaan ini? ini benar atau
> main-main? Kok, tega-teganya dokter memberi informasi seperti ini? Tak
> tahukah dia aku sedang hamil tua dan tak pantas mendengar berita semacam
> ini? Perutku langsung mulas. 
> 
> Namun memang benar. Memang informasi ini yang harus kami telan. Aku dan
> suamiku sama-sama mengidap virus HIV yang menggerogoti kekebalan tubuh
> kami, tetapi suamiku lebih parah karena kekebalantubuhnya telah terserang
> lebih dahulu sehingga rontok. Akupun ditularinya. "Bagaimana bayi saya
> dokter? Apa dia kena juga?" tanyaku gemetar. 
> 
> "Kita cari tahu setelah dia lahir saja, Bu" 
> 
> Setelah mendengar vonis dokter, menurut Ny. Made, berminggu-minggu dia
> merenungi takdirnya. Rasa tak percaya pahit begitu pahit.... 
> 
> Akhirnya aku sampai pada sebuah titik di Ujung perenunganku. Apa mau di
> kata, mungkin inilah karmaku. Pelan-pelan ku kumpulkan kembali
> keping-keping hati yang berantakan. Kukuatkan hati menyambut kelahiran si
> kecil. Karena dialah satu-satunya penghiburan di dunia.... 
> 
> Kondisi kesehatan Baskoro makin memburuk. Dia tak, lagi bisa bicara dan
> bergerak. Hari-hari dilaluinya di atas ranjang, sembari terbujur lemah,
> Oh, Dewa, sembuhkanlah suamiku. Apa pun dosanya di masa lampau, enyahkan
> penyakit jahanam itu dari tubuhnya. Beri kami kesempatan berbagi suka dan
> duka bersama, dan membesarkan anak kami.... 
> 
> Mesti dikategotikan sakit aku tetap ingin melahirkan normal. Dan, eh,
> ternyata anakku sayang mengerti kondisi Mamanya. Dia lahir mudah dan
> lancar. Wayan lahir dengan kulit bersih dan wajah ganteng. Tetapi, duh,
> matanya terkena cairan mulut rahim yang banyak, mengandung virus HIV.
> Syukurlah dengan penangan jitu dan segera dari tim dokter, beberapa hari
> kemudian Wayan sembuh ( belakangan aku baru tahu seorang ibu yang
> terinfeksi HIV seharuanya melahirkan secara cesar untuk mencegah
> tertularnya virus pada anaknya dari jalan lahirnya) 
> 
> Terima kasih Dewa, Wayan dinyatakan bebas HIV. Aku bersyukur sekali. Aku
> menaruh sesaji lebih banyak, sebagai tanda syukur. Sinar mata Baskoro yang
> hampir redup juga kembali bercahaya saat melihat putranya. Dia begitu
> ingin merengkuhnya dalam pelukannya yang ringan. Namun Baskoro hanya
> sanggup memandang Wayan yang tidur lelap di ranjangnya yang dingin. Setiap
> kali Baskoro ingin sesuatu, pelan-pelat tangannya menulis di atus secarik
> kertas. Aku merasa iba padanya. Di saat separah itu, Baskoro dijauhi pula
> oleh semua orang. Tak ada yang bersimpati padanya. Oh, begitulah manusia.
> Tak ada yang abadi. Sambil mengurusi Wayan yang baru lahir aku terus
> merawat Baskoro. Seminggu setelah Wayan lahir, Baskoro menutup mata. 
> 
> Biarlah yang lalu telah berlalu. Usai ku sesali lagi. Justru dengan
> kondisi kesehatanku seperti ini, rasanya aku makin bijak menjalani
> hidupku. Aku sadar waktu ku sudah semakin dekat. 
> 
> Agar hidupku menjadi lebih berarti, selain mengurus Wayan, aku melibatkan
> diri secara aktif dalam sebuah yayasan peduli AIDS. 
> 
> Lewat lembaga ini kami berusaha mensosialisasikan bahaya AIDS pada
> masyarakat luas. Aku jadi sering hadir dalam seminar-seminar, berbagai
> pengalaman, yang kuharap bisa menjadi pelajaran barharga bagi yang lain.
> Bahwa HIV/AIDS bisa datang secara tak terduga-duga dan berbagai arah.
> Karena itu berhati-hatilah senantiasa. 
> 
> Meski respon masyarakat masih buruk terhadap ODHA seperti aku, semangatku
> tak pernah surut Ya kadang aku memang sedih dan marah , bahkan pada Sang
> Hyang Widhi, karena diperlakukan tidak adil. Tetapi disaat akal sehatku
> muncul, aku rasanya bisa sangat tabah. Aku juga sudah cukup tegar mulai
> menitipkan Wayan pada kerabat-kerabat kami, bila saat tiba, seperti
> dituturkan Ny Made kepada Aisyah A. Usman 
> 
> Bersama Iqbal, kuhitung hari perpisahan 
> 
> Januari 1998 Ny. Rini dinyatakan Positif terjangkit HIV (//Human
> Immunodeficiency Virus//). Untung Virus mematikan di dalam darah perempuan
> ini tidak tertular pada bayi yang baru dilahirkannya. Dengan tabah,
> bagaimana bayi kecil Ny. Rini kini menghitung hari perpisahan....... 
> 
> Aku penderita AIDS (//Acquired Immunodeficiency Syndrome//). Benar-benar
> seperti mimpi. Padahal aku bukan perempuan yang suka gonta-ganti pasangan.
> Aku berhubungan seks cuma dengan suami tercinta. Duh, Tuhan mengapa aku
> terjangkit virus mematikan ini? 
> 
> Semua terkuak januari 1998. Waktu itu aku masuk rumah sakit karena
> kecelakaan. Luka-lukaku parah aku mesti di rawat bebarapa hari. Yang
> membuatku heran perlakuan dokter dan suster di rumah sakit terhadapku agak
> lain. Peralatan makan dan minumku berbeda dengan pasien lain Mengapa? Apa
> karena luka-luka di tangan dan mukaku begitu menjijikkan? 
> 
> Suatu pagi suster kepala mendatangiku, dan berkata, aku mesti dipindahkan
> ke RSCM. "Bukan karena peralatan yang kami miliki di sini tidak lengkap,
> Bu. Tapi di RSCM Ibu akan ditangani dokter orang lebih ahli" jelas suster
> kepala. 
> 
> Aku melongo mendengarnya, antara kaget dan bingung. "Memang kenapa suster?
> Apa luka saya parah sekali? Kok sampai mesti ditangani dokter ahli
> sagala?" Hatiku ribut bertanya, Anehnya mulutku terkunci rapat. 
> 
> Dengan ambulan siangnya aku dipindahkan ke RSCM, Jakarta. Di rumah sakit
> pemerintah ini aku masuk kamar perawatan. Rasa heranku terbit lagi di
> RSCM. Kamar tempat aku di rawat sangat berbeda dengan kamar rumah sakit
> sebelumnya. Kamarku kini sangat mewah. Ada televisi, kulkas pakai AC lagi!
> 
> 
> //Ny Rini tertunduk sendu. Katanya kemudian, setelah 2 hari tinggal di
> RSCM, 2 orang psikolog mendatanginya. Mereka bicara panjang lebar soal HIV
> dan AIDS// 
> 
> Ya, 2 psikolog itu menceramahiku tentang AIDS dan HIV, seperti asal-usul
> penyakit ini cara penularannya.... Setelah semua habis dikupas, mereka
> bertanya apakah aku cukup mengerti? Aku menganguk-angguk sambil bengong.
> Kemudian, perlahan-lahan dan sangat hati-hati. Kedua ahli jiwa itu
> menyampaikan bahwa aku terinfeksi virus HIV. Seperti mendengar petir di
> siang bolong aku terhentak di ranjang. Jantungku berdebar kencang. Mulut
> ku terasa kering, satu yang terlintas di benak ku saat itu adalah tidak,
> ini tidak mungkin! 
> 
> Mana mungkin aku menderita AIDS? Aku perempuan bermoral? Aku tak pernah
> bergonta-ganti pasangan! Aku tak pernah menggunakan obat terlarang! Aku
> bukan perempuan penjaja seks! Siapa yang menulari kuman jahanam itu?
> Bukankah terkena AIDS berarti aku akan mati sebentar lagi, dengan cara
> mengerikan? Tuhan betapa tidak adilnya Engkau!" 
> 
> Belakangan aku tahu orang yang menulariku virus HIV adalah mantan suamiku
> sendiri. Pria yang pernah menjadi orang yang terdekat dan paling
> kucintai-kami bercerai tahun 1996 Hatiku yang marah pun berubah jadi
> hancur, sehancur-hancurnya. 
> 
> Setelah mengeluarkan segenap emosi, aku menangis di ranjang. Tubuhku
> lunglai. Habis sudah hidupku. Rasanya aku tak kuat menahan aib. Sudah
> tangan dan muka cacat gara-gara kecelakaan, menderita AIDS lagi, tertular
> suami sendiri. Duh..."Memang sekarang sudah ada vaksin AIDS, Bu. Dengan
> vaksin AIDS itu jumlah virus yang ada di dalam tubuh ibu dapat ditunda
> perkembangbiakannya," jelas dokter. 
> 
> Gembiralah aku mendengarnya? Optimiskah aku? Sama sekali tidak? Aku sadar
> diri, aku orang yang tak punya. Harga vaksin penagkal AIDS hasil penemuan
> teknologi tinggi itu pasti tidak murah. Dan benar harga vaksin 'harapan'
> itu memang mahal. Jutaan rupiah sekali minum. Dan kalau mau mendapat
> khasiatnya pasien harus meminumnya terus menerus. Nah, betulkan harapan
> itu bukan untuk orang seperti aku? Hanya orang kaya yang bisa memberikan
> harapan. 
> 
> //Menurut Ny Rini setelah divonis menderita HIV semangat hidupnya terbang
> entah ke mana. Ibu rumah tangga yang perawakan gemuk dan berperawakan
> ceria ini patah asa....// 
> 
> Ya, memang benar. Rasanya habislah semua. Untuk apalah aku hidup
> //ngomong// dan tertawa seperti dulu? Aku menyesal, tapi apa yang
> disesali? Karena kawin dengan mantan suami ku. 
> 
> Ditengah kegalauan itu, aku didampingi orang-orang dari Yayasan Pelita
> Ilmu (YPI) Inilah yayasan yang bergerak di bidang penanganan masalah AIDS.
> "Ah....Apa pula!" aku sempat apatis. Tetapi ternyata lewat yayasan ini aku
> bertemu dengan para ODHA Mereka kawan-kawan senasib ku. Eh ternyata aku
> masih bisa ngobrol dan tertawa. Yang lebih ajaib, setelah bergaul dengan
> mereka, aku seperti punya semangat lagi. 
> 
> Bergaul dengan ODHA, aku tidak merasa sendirian menaggung vonis 'mati'.
> Virus HIV yang kukandung tidak sempat menjangkiti anakku Iqbal ketika dia
> dalam kandungan. Aku masih punya waktu untuk berserah diri, berkonsentrasi
> melakukan amalan-amalan, melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain. 
> 
> Akhirnya tiba waktu ku keluar dari rumah sakit. Saat itulah hatiku kembali
> was-was. Setelah bercerai dengan suami, aku //numpang// di rumah kakak
> perempuanku. Dia belum tahu aku kena AIDS kalau dia tahu apakah dia masih
> mau menerimaku tinggal serumah? "Aku takut mereka tak mau menerimaku lagi
> aku menganggapku hina," ungkapku pada teman-teman ODHA dan relawan YPI 
> 
> "Kamu jangan khawatir Rin soal kakakmu, biar kami yang menyampaikan.
> Mudah-mudahan dia diberi kebesaran hati oleh tuhan, dan tetap mau
> menyayangi dan memperlakukan kamu dengan baik," ujar relawan YPI. 
> 
> Duh, betapa baiknya kawan-kawan baruku. Entah bagaimana cara mereka
> menyampaikan, yang pasti, saat kakaku dan suaminya tahu Aku mengidap AIDS,
> serta mereka menghambur ke pelukanku, memelukku lebih erat dari biasanya.
> Rasanya saat itu akulah orang paling bahagia, sekaligus haru, sedunia. 
> 
> //Siang itu Ny. Rini pulang ke rumah. Di rumah keluarga kakaknya
> memperlakukan Ny. Rini seperti biasa, tak kurang tak lebih. Ini membuat
> Ny. Rini besar hati. Secara psikologis dia mengaku bak mendapat kekuatan
> untuk tetap optimistis dengan AIDS yang diidapnya. // 
> 
> Bagaimana tidak kami tetap melakukan sesuatu seperti biasanya. Makan
> bersama, nonton TV bareng, Malah rasanya, kakakku makin sayang kepadaku.
> Tetapi, meski 'diterima' keluarga, aku tetap tak, berani memberitahu orang
> lain di luar keluarga tentang kondisiku. Jangan nekat Rin. Masyarakat
> belum tahu banyak tentang AIDS. Lebih baik aku sembunyi dulu keadaanku,
> agar mereka tak melakukan hal yang tidak-tidak. 
> 
> Selain itu, aku juga tak bicara sepatah kata pun soal diriku pada Iqbal
> putraku. Pertimbanganku, Iqbal masih terlalu muda untuk mendengar kabar
> buruk ini. Masak aku harus bilang padanya, ibunya kena penyakit berbahaya,
> sebentar lagi akan mati dan tidak ketemu Iqbal lagi selama-lamanya? Ah,
> mana tega aku.... 
> 
> Aku tetap mengasuh Iqbal seperti biasa. Rasa sayangku kian dalam. Bila dia
> tidur, di luar pengetahuannya dia, kupeluk dia erat-erat seakan tak ingin
> kulepaskan. 

---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke