----------  Forwarded Message  ----------

Subject: [Halo] Menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2004 - good article
Date: Thursday 22 July 2004 08:53 am
From: cimcimpongpong <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED]

Dear all..

Menyambut Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2004


Saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para ORANG
TUA...


Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu
Saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang
Duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu,
waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah
sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar
waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.

Prestasinya kian lama kian merosot. Dengan lemah lembut saya
tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk
mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit.

Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh
keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan
rata-rata anak
saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan
pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan
kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor
untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah
Yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab
Itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali
Ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test
kepribadian.


Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
serangkaian test kepribadian.
Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog
Itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau
beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya
saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati
Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah
seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya
kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas.
Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif
sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar,
kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain
basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di
computer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika
perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu
luangnya yang
memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah
dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan
jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit.
Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana :
diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya
"Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan
sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau
diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia
hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang
diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus
dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang
habis
dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti
itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..." Maka
Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa
bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras,
disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu
merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.
Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.
Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak
sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak
adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain.
Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah
dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk
berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa
yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan
Untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi
pelajaran
berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang
serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup
kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat
sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya
penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya.
Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang
penting untuk anak saya.


Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan
tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran
tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling
hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya
dan meminta maaf kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar
tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika
sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui
kesalahnya dan
kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang
tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari........"
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku
ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk
adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah
tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah,
pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari....."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata
"tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu
menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya
senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya,
tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam
melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari
ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
memanggilku...." Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama
yang bagus"
Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang
paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang,
tanpa sadar, saya selalu
memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil
dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole",
kependekan dari kata "Kontole" yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu
itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu
merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin
ayahkumemanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena
sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan
logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena
selama ini saya bekerja disebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan
hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan
hak-hak anak sesuai
dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan
poster
bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" sebuah
seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan
Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah
anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang
jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak
yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan
untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik
anaknya di dalam ajaran dan nasehat Tuhan.

Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004,
Saya ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu
berpikir,
bersikap dan melakukan hal-hal yang dikehendaki Tuhan.

(Ditulis oleh : Lesminingtyas)



---------------------------------------------------------------------
>> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
>> Info balita, http://www.balita-anda.com
>> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke