FW: Aku ingin anak lelakiku menirumu
Aku Ingin Anak Lelakiku Menirumu

Oleh : Neno Warisman - 'Izinkan Aku Bertutur'

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: 
"Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!"  

Suamiku menjawab: "Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki 
ingin seperti aku." 

Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. 



Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan 
mengkhatam kan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: "Supaya ia menjadi 
penghafal Kitabullah ya,Yah." 

Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: "Oh ya. Ide bagus itu."


Bayi kami itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, 
ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa.  Lalu ia menunjuk pada 
dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan 
kehadirannya.


Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti papanya. Pelajaran matematika sederhana 
sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan 
keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika. 



Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. 
Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke 
punggung papanya. Entah apa yang menyebabkan papanya begitu berang, mungkin menganggap 
Ahmad sudah sekolah, sudah terlalu besar untuk main kuda-kudaan, atau lantaran banyak 
tamu dan ia kelelahan. 



Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad 
terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima. Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. 
Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat 
mudah marah. 



Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan 
papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya. 



Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan 
pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, 
istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: "Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis 
seperti kulitmu!" 



Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu. "Salahmu. Kamu yang 
ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!" 



Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang 
mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. 



Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. 
Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak, "Ah, gimana 
sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!" Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu. 



Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera 
membersihkan dirinya di kamar mandi. 



Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan

seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa 
sudah berabad aku menyimpannya. 



Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya: "Dulu kau hempaskan Ahmad di 
lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan 
ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar 
anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!" 



Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. 



Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau membopong cucu-cucumu di punggungmu, 
engkau bermain berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang 
burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut 
bayinya dari gendonganmu, "Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa 
menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?" 



Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang 
tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari 
Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? 



Lalu kuambil tangan suamiku, meski  kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa 
tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan 
seorang ayah yang didamba. 



Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, 
"Lakukanlah ini, permintaan seorang yang akan dijemput ajal yang tak mampu mewariskan 
apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan 
menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah 
tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak 
laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang, ucapan kemesraan, sentuhan dan belaian, 
bukan hanya pelajaran untuk menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa 
perasaan. 



Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang 
wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. 
Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang: "Tak ada kata terlambat untuk 
mulai, Sayang." 



Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian 
menggantikan popoknya, pura-pura merancang hari depan si bayi sambil tertawa-tawa 
berdua, membuka kisah-kisah lama mereka yang penuh kabut rahasia, dan menemukan betapa 
sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak 
pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. 



Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya 
Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah 
cahaya di ujung keputusasaanku. 



Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu. Kelak, jika aku boleh 
bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:  Ya, Nabi. aku telah mencoba 
sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! 



Amin, alhamdulillah

                        

Reply via email to