Lebih baik kalau mau mengirimkan cerita tidak menyangkut pautkan agama tertentu dengan kejelekan2 yg didramatisir (maaf, dari yg saya baca aja menurut saya banyak karakter2 yg cukup bodoh dalam cerita ini), terlebih kalau cuma tau sekilas dari luar, nggak mengenal ajaran agama itu sendiri seperti apa...
Terlebih bangsa kita masih berduka akibat peristiwa bom kemarin, saya harap kita semua as smart parents bisa lebih bersikap dewasa dan bersikap lebih arif, tidak malah memperkeruh suasana dgn ribut2 lagi soal ras dan agama.....................
Maaf kalau ada yg tidak berkenan, hanya ingin saling mengingatkan.............
Yulia
-------Original Message-------
Date: Thursday, September 09, 2004 7:45:08 PM
Subject: [balita-anda] Fw: OOT - Laki-Laki di Sekitarku
Mudah2an para suami di Balita-Anda tidak seperti cerita di bawah ini.. Maaf kalau ada yg tidak berkenan
=========================================================================
Laki-Laki di Sekitarku
(Oleh Lesminingtyas)
Ketika kantor menugaskan saya untuk melakukan compare study di Universitas Pajajaran Bandung untuk beberapa saat, ada beberapa peristiwa yang terjadi di antara teman pergaulan saya di bis jemputan, yang terlewatkan dari pengamatan saya. Begitu saya kembali bekerja, beberapa teman memberi tahu saya bahwa ada masalah serius yang terjadi selama kepergian saya. Para pengurus paguyuban itu memberitahu saya bahwa Pak Harun; seorang sopir mikrolet yang nebeng di bis jemputan itu menjalin hubungan khusus dengan mahasiswi yang juga menjadi pelanggan tetap bis yang sama.
Para pengurus meminta saya untuk melakukan sesuatu supaya perselingkuhan mereka tidak makin jauh. Semula saya hanya berpikir "What do I care ?". Saya pikir saya tidak punya tanggung jawab moral sedikitpun atas sikap dan perbuatan orang lain. Saya pikir biarlah mereka menanggung dosa dari perbuatan yang dilakukannnya. Tetapi ketika saya tahu bahwa yang melakukan perselingkuhan itu laki-laki yang telah berkeluarga, saya disadarkan bahwa ada 2 atau bahkan 3 pihak yang akan menjadi korban. Dua korban pertama adalah istri dan anak-anak Pak Harun. Bisa jadi kalau mahasiswi itu menyadari apa yang sedang terjadi, Nenengpun akan merasa bahwa dirinya adalah korban.
Pertama-tama saya mengajak Neneng untuk berbicara empat mata. Atas nama perempuan, saya menyarankan supaya Neneng tidak menjalin hubungan khusus dengan Pak Harun supaya tidak ada perempuan lain yang disakiti. Namun ketika Neneng merasa bahwa apa yang dilakukannya syah-syah saja, sayapun berkata "Coba Neneng bayangkan seandainya yang melakukan hubungan khusus itu ayah Neneng. Kira-kira bagaimana perasaan ibu Neneng dan juga perasaan Neneng sendiri sebagai anak ?" Saya berharap pertanyaan itu bisa membuat Neneng lebih peduli terhadap penderitaan perempuan lain. Tetapi tampaknya Neneng telah larut dalam permainan Pak Harun. "Sebenarnya saya melakukan ini semua karena saya kasihan sama Pak Harun. Saya kasihan karena setiap hari Pak Harun bekerja dari subuh hingga sore, tapi sedikitpun ia tidak mendapatkan perhatian dari istrinya" kata Neneng sok pahlawan.
"Neneng sudah kenal istri Pak Harun ?" saya bertanya. Neneng hanya menggeleng.
"Kalau Neneng belum kenal, dari mana Neneng tahu permasalahan Pak Harun dengan istrinya ?" saya kembali bertanya.
"Pak Harun sering berkeluh kesah pada saya" jawab Neneng.
"Kalau kita mau membantu Pak Harun dan istrinya menyelesaikan masalah, kita tidak mungkin hanya mendengar cerita dari satu pihak saja. Kalau Neneng benar-benar ingin menolong mereka dengan tulus dan tanpa pamrih, alangkah baiknya kalau Neneng berkenalan dengan istri Pak Harun" saya memberi saran.
"Tapi Pak Harun setiap hari menceritakan dengan sungguh-sungguh penderitaannya. Setiap pulang narik mikrolet Pak Harun tidak pernah disambut dan dilayani dengan baik. Istrinya yang tidak punya pekerjaan setiap hari hanya menganggur di rumah dan pura-pura sibuk ngurus anak." Neneng merasa tahu segalanya.
"Neneng pernah menjadi istri ?" saya bertanya. Neneng hanya menggeleng.
"Neneng perlu tahu, saya yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi istri saja tidak berani mengatakan bahwa saya lebih baik dari istri Pak Harun. Sangat salah kalau dikatakan bahwa istri yang tidak mencari nafkah itu tidak bekerja atau menganggur. Asal Neneng tahu saja, perempuan yang menjadi ibu rumah tangga itu bekerja tanpa batasan jam kerja dan kalau dihitung-hitung pasti lebih dari 8 jam per hari. Kalau saya bekerja di kantor paling-paling 8 jam per hari dan itupun saya sudah merasa lelah sekali. Walalupun demikian saya yakin bahwa saya bisa menjadi karyawan teladan, tapi untuk menjadi ibu rumah tangga mungkin saya tidak lebih baik dari orang lain. Sangat mungkin istri Pak Harun itu lebih hebat dari saya. Dan satu hal yang tidak bisa saya percaya adalah soal istri Pak Harun yang berpura-pura sibuk mengurus anak. Selama masih waras, saya yakin tidak ada seorang ibupun yang berpura-pura mengurus anak" kata saya panjang lebar.
"Saya tahu itu Bu, tapi sebagai istri khan tetap wajib mengabdi dan memenuhi kebutuhan lahir dan batin suaminya" kata Neneng tak simpati.
"Soal itu saya rasa harus take and give. Kalau Pak Harun memperlakukan istrinya dengan dengan penuh kasih sayang, saya rasa dengan sendirinya Pak Harun akan mendapatkan apa yang ia inginkan" saya berpendapat "Tapi kalau sedikit saja tidak puas sama istri kemudian pindah ke lain hati, itu namanya laki-laki ganjen !" lanjut saya sambil tertawa.
Sambil tersenyum Neneng berkata "Mungkin Bu Ning sulit mengerti karena latar belakang keyakinan kita berbeda. Saya hanya mau bilang bahwa dalam agama kami, laki-laki bisa beristri lebih dari satu dan itu merupakan ibadah"
"O????.jadi kalau Pak Harun mau poligami, Neneng sudah siap nich ?" tanya saya sambil tertawa supaya Neneng lebih rileks. Neneng tidak menjawab tetapi malah ikut tertawa. "Ih, kalau saya mah ogah, Neng !" kata saya "Saya yang sudah tua dan punya anak tiga saja mending nganggur dari pada punya suami tapi dimadu. Neneng yang masih single, muda dan cantik kok mau-maunya sih berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri ?" tanya saya masih sambil tertawa.
saya mengajak Neneng berpikir "Neng,saya kasih tahu saja ya : menjadi istri pertama saja belum tentu hidup bisa enak, kenapa pula kepingin menjadi istri kedua ? Terus kelak hanya karena alasan ibadah juga Neneng harus siap berebut kasih sayang dengan istri ketiga dan keempat ?" lanjut saya.
"Namanya juga ibadah, pasti tidak mudah untuk dijalani" kata Neneng sambil membetulkan kerudungnya.
"Sorry ya, Neng???saya cuma mau berbagi pengalaman. Dulu waktu saya masih gadis, saya kepingin punya pacar bujangan, yang masih muda pula ! Memangnya sekarang Neneng nggak kepingin punya pacar teman sekampus ? Apa enaknya sih Neng, pacaran sama orang yang lebih pantas jadi bapak atau kakek Neneng ?" tanya saya santai.
"Kelebihan laki-laki tua itu pada kantongnya !" jawab Neneng sambil tertunduk malu.
Walaupun Neneng belum mau merubah pendiriannya, saya tidak pernah merasa kecewa. Yang penting saya sudah menyampaikan apa yang suharusnya saya katakan.
Pada kesempatan lain saya mendekati Pak Harun untuk mencari tahu sudah sejauh mana hubungan mereka. Namun dengan berbagai dalih Pak Harun meyakinkan bahwa hubungannya dengan Neneng; mahasiswi yang seumur dengan anaknya itu dilakukan semata-mata karena ia menganggap Neneng sebagai anaknya. "Saya hanya kasihan karena Neneng selalu mengeluh kalau uang kuliahnya tersendat-sendat dan uang sakunya terlalu mepet. Makanya saya pikir tidak ada salahnya saya memberikan uang supaya Neneng bisa jajan di kampus dan membayar kuliahnya dengan lancar" kata Pak Harun.
"Menolong itu memang baik. Sangat juga setuju kalau Pak Harun peduli terhadap kesulitan orang lain. Tapi Pak Harun sendiri dulu pernah bercerita bahwa penghasilan Pak Harun Rp. 70,000 per hari. Kalau beberapa orang di bis ini tahu bahwa Pak Harun memberikan uang kepada Neneng Rp. 40,000 ? 50,000 per hari, berapa yang Pak Harun bawa pulang untuk anak istri ? Sebenarnya saya tidak mau ikut campur, tapi saya membayangkan kalau Pak Harun itu ayah saya. Saya tahu persis bagaimana perasaan istri dan anak-anak Pak Harun kalau mereka tahu yang sesungguhnya" saya mengajak Pak Harun menilik perasaan istri dan anak-anaknya.
"Tapi mereka sudah biasa dengan penghasilan saya yang naik turun. Istri dan anak saya tahu kalau lagi sepi saya hanya membawa pulang uang segitu, jadi saya pikir nggak masalah" jawab Pak Harun mencari pembenaran.
"Kalau istri dan anak-anak Pak Harun begitu mensyukuri seberapapun rejeki yang Pak Harun peroleh, sudah seharusnya Pak Harun menghargai sikap mereka. Tapi kalau Pak Harun mendapatkan uang lebih, apakah Pak Harun tidak ingin melihat mereka lebih bersyukur lagi ? Kalau lagi sepi, biarlah mereka mensyukuri rejeki yang sedikit. Tapi kalau lagi ramai dan Pak Harun mendapatkan rejeki yang lebih banyak, mengapa Pak Harun tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut menikmatinya ?" kata saya.
"Menurut saya kalau dengan Rp. 20,000 ? 30,000 mereka sudah cukup, buat apa saya kasih Rp. 70,000. Lagi pula saya tidak mengurangi jatah mereka kok. Uang yang saya kasih ke Neneng itu khan uang jajan dan rokok saya" kata Pak Harun tanpa rasa bersalah.
"Kalau mereka sudah bisa hidup dengan Rp. 20,000 ? 30,000 per hari, Pak Harun khan bisa memberikan Rp. 70,000 dan ajari istri Pak Harun untuk menabung Rp. 20,000- 40,000/hari buat masa depan anak-anak. Saya cukup salut karena Pak Harun bisa mengurangi jajan dan rokok, tetapi alangkah bijaksananya kalau uang jajan dan rokok yang tidak terpakai itu bisa dimanfaatkan untuk keluarga, bukan untuk orang lain" saya menyarankan.
"Kenapa Bu Ning mempermasalahkan apa yang saya lakukan kepada Neneng, sedangkan istri saya saja tidak pernah bilang apa-apa" kata Pak Harun merasa benar.
"Jawabannya gampang Pak : Karena istri Pak Harun tidak tahu yang sebenarnya" jawab saya singkat "Saya yakin Pak Harun tidak pernah menceritakan yang sesunggunhnya kepada istri Pak Harun. Kalau menurut saya pribadi, apapun yang kita lakukan tetapi kita tidak berani berterus terang kepada pasangan, itu merupakan perselingkuhan. Maaf ya, saya terpaksa ikut campur karena saya tahu betapa hancurnya hati perempuan kalau ia tahu suaminya berselingkuh. Sebagai teman, saya ingin mengingatkan Pak Harun supaya lebih bijaksana lagi dan sebisa mungkin menomorsatukan keluarga" lanjut saya.
"Apa salahnya kalau saya membantu Neneng karena saya menyayangi dia seperti anak saya sendiri ?" Pak Harun tetap ingin mencari pembenaran.
"Sekarang saya tanyakan, berapa uang saku yang Pak Harun berikan untuk anak-anak Pak Harun ? Saya yakin uang saku anak-anak Pak Harun lebih kecil dari uang yang diberikan kepada Neneng. Kalau seperti itu namanya Pak Harun bukan menyayangi Neneng sama seperti anak Pak Harun, tetapi melebihi. Nah, apakah Pak Harun juga ingin anak-anak Pak Harun meminta belas kasihan kepada orang lain karena uang ayahnya lebih banyak diberikan kepada teman perempuannya ?" saya mengajukan pertanyaan yang betul-betul menyudutkan Pak Harun.
"Sekarang saya tanya lagi, berapa uang Pak Harun yang diberikan kepada Neneng untuk membeli baju lebaran ?" saya bertanya seakan menelanjangi Pak Harun.
"Tiga ratus lima puluh ribu rupiah" jawab Pak Harun pelan.
"Hah?..350 ribu ?! Saya yakin seyakin yakinnya kalau Pak Harun sekali saja belum pernah membelikan baju lebaran semahal itu untuk istri Pak Harun" jawab saya
"Ya, karena istri saya memang bukan pesolek. Kalaupun saya kasih uang jutaan, paling banter dia membeli sarung dan kebaya atau malah daster. Jadi buat apa saya beri uang banyak-banyak ?"
"O???..jadi Pak Harun itu kepingin lihat perempuan pakai baju-baju bagus nich ? Kenapa nggak nonton Indonesian Model di TV aja ?" tanya saya menggoda supaya Pak Harun tidak tegang "Kalau istri Pak Harun bukan pesolek, seharusnya disyukuri karena ia tidak boros atau menuntut Pak Harun untuk memberi uang lebih hanya untuk mempercantik diri. Nah, kalau selama ini istri Pak Harun hanya pakai daster, apa salahnya Pak Harun membeli baju yang mahal untuknya, bukan untuk Neneng" saya tetap tidak setuju dengan tindakan Pak Harun.
Karena Pak Harun tetap berkeras, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya hanya berpesan "Hati-hati ya Pak Harun, banyak orang bilang Neneng itu punya semboyan 'Ada uang abang disayang, tidak ada uang abang ditendang' jadi mulai sekarang siap-siap saja untuk kembali menororsatukan keluarga. Suatu saat nanti ditendang Neneng, Pak Harun punya tempat untuk berkeluh kesah". Pak Harun hanya tertawa tak menghiraukan kata-kata saya. Pak Harunpun tetap menjalankan hubungan khususnya di bis bersama Neneng
Beberapa bulan telah berselang. Entah sudah berapa lama saya tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah perselingkuhan itu dengan Pak Harun. Sampai suatu saat Pak Harun jatuh sakit dan untuk sementara tidak bisa bekerja. Ketika pertama kali Pak Harun kembali bekerja, sayalah orang pertama yang ditemui Pak Harun.
"Seharusnya dulu saya mendengar teguran Bu Ning. Sekarang uang saya sudah habis-habisan seperti ini, Neneng sedikitpun tidak menghiraukan saya. Kemarin saya harus masuk rumah sakit dan menghabiskan uang hampir sejuta. Saya harus utang kanan kiri dan sekarang keluarga lagi prihatin. Utang untuk biaya berobat saja belum lunas, kemarin telepon rumah dicabut karena 3 bulan nunggak tidak terbayar. PLN juga sudah memberikan surat peringatan untuk mencabut aliran listrik karena sudah 5 bulan saya belum membayar" Pak Harun berkeluh kesah.
"Pas Neneng nengok ke rumah sakit, dia bisa kenalan sama isri Pak Harun dong?" saya bertanya dengan suara pelan
"Boro-boro nengok, menelpon saja nggak mau ! Padahal uang yang saya berikan untuk dia sudah lebih dari Rp. 3 juta !"
"Nah, sekarang ketahuan khan??.pemberian Pak Harun itu bukan tanpa maksud ?" saya menggoda Pak Harun dengan telunjuk, seperti orang tua memperingatkan anak kecil "Kalau Pak Harun menyanyangi Neneng seperti anak sendiri dan memberi tanpa pamrih, pasti Pak Harun tidak mau mengingat-ingat lagi berapa yang sudah diberikan. Lagi pula Pak Harun tidak akan sakit hati kalau Neneng tidak menelpon atau menengok" lanjut saya sambil tertawa.
"Tertawa sih tertawa Bu, tapi tolong dulu pinjami saya uang biar listrik di rumah tidak dicabut !" kata Pak Harun meminta tolong.
"Soal pinjam uang itu sih gampang ! Tapi sebelumnya saya mau tanya, Pak Harun jangan memotong atau memprotes pertanyaan saya, tapi cukup menjawab dalam hati" saya mengajukan syarat. Karena Pak Harun tidak bereaksi, sayapun mengajukan beberapa pertanyaan.
"Apa yang dilakukan Pak Harun selama 5 bulan, sehingga rekening listrik tidak terbayar ?" Pak Harun hanya tersenyum.
"Kenapa Pak Harun mengeluhkan biaya rumah sakit yang tidak sampai sejuta, sedangkan Pak Harun mampu memberikan 3 juta untuk Neneng ?" Pak Harun mau menjawab tapi saya cepat-cepat mengangkat jari telunjuk tepat di depan bibir saya supaya Pak Harun mendengarkan pertanyaan saya selanjutnya.
"Dulu apa kata Pak Harun ketika saya mengingatkan untuk menabung ?" saya kembali bertanya.
"Sekarang siapa yang setia mendampingi Pak Harun dalam kesulitan ? Apakah mahasiswi yang memakai baju 350 ribu, ataukah perempuan berdaster yang tidak pesolek ?" Walaupun dengan tertawa Pak Harun menujukkan sikap protes. Tetapi saya tak kurang akal untuk menundukkannya "Eit, nggak boleh protes, saya belum selesai bertanya. ! Kalau Pak Harun protes, berarti pinjaman uang dibatalkan !" saya mengancam. Pak Harunpun diam sambil tersipu-sipu karena malu.
"Pertanyaan saya yang terakhir : Bersediakah Pak Harun meminta maaf kepada istri dan anak-anak Pak Harun atas penghianatan Pak Harun terhadap mereka ? Sekarang Pak Harun boleh menjawab" kata saya.
"Wah, yang terakhir itu yang paling berat. Saya belum melakukan apa-apa kok disuruh meminta maaf. Agama saya saja membolehkan laki-laki beristri empat, kok Bu Ning melihat saya seperti itu saja sudah sewot. Masak saya mau meminjam uang saja kok malah disuruh pakai minta maaf kepada istri dan anak-anak, pakai maksa lagi" kata Pak Harun sambil tertawa.
"IMF saja memberi syarat sebelum mengucurkan pinjaman, sekarang boleh dong saya minta Pak Harun memenuhi permintaan saya !" jawab saya sambil tertawa.
"Bolehlah Bu Ning kasih syarat, atau kalau perlu minta bunga juga boleh asal jangan menyuruh saya untuk meminta maaf kepada anak dan istri" kata Pak Harun mengajukan pilihan lain. Atas nama Kasih sayapun meminjamkan uang kepada Pak Harun tanpa mempersulitnya lagi. "Agama saya melarang saya membungakan uang. Jadi, ambil uang ini kemudian akui kesalahan dan bertobatlah !" kata saya.
Beberapa bulan telah berselang, namun keberuntungan tampaknya belum berpihak kepada Pak Harun. Setiap bertemu dengan saya, Pak Harun berkata "Maaf saya belum mendapat rejeki untuk mengembalikan uang Bu Ning"
"Kalau Pak Harun minta maaf kepada istri dan anak-anak Pak Harun, pasti rejeki Pak Harun akan semakin lancar. Paling tidak pengampunan dari istri dan anak-anak akan membuat Pak Harun tenang bekerja. Lagi pula kalau mereka sudah memaafkan dan tahu kesulitan Pak Harun yang sebenarnya, mereka akan lebih giat lagi mendoakan Pak Harun" jawab saya.
Memang setiap hari saya dan Pak Harun selalu pulang bersama-sama, naik bis jemputan dari Jakarta ke Bogor. Tapi sayang sekali, hati kami teramat jauh. Kami hampir tidak pernah sehati dalam memandang perempuan dan anak-anak. Jadi, saya hanya berani mengatakan bahwa Pak Harun adalah laki-laki di sekitar saya, tidak lebih.
|