Jangan Mau Jadi Perokok Pasif Kompas/agus susanto
KENDATI sudah makin banyak contoh kasus bahwa menjadi perokok pasif itu membahayakan kesehatan, bahkan bisa mengundang kematian, tetap saja perokok pasif di Indonesia amat toleran, bahkan "amat bersahabat" terhadap para perokok aktif. Adakah kiat untuk menciptakan rumah, kantor, sekolah/kampus, dan tempat-tempat umum bebas rokok? DI setiap bungkus rokok di Indonesia dan pada akhir iklan rokok di televisi swasta selalu terpampang peringatan bahwa merokok itu membahayakan kesehatan: menyebabkan kanker, penyakit jantung, stroke, impotensi, dan gangguan kehamilan/janin. Namun siapa peduli, siapa takut!? Peringatan itu telah menjadi peringatan klise yang praktis tak digubris. Kenyataan ini tak lepas dari masih lemah dan sporadisnya upaya komunikasi dan promosi kesehatan di Indonesia, khususnya untuk kampanye antirokok. Padahal komunikasi, advokasi, dan promosi kesehatan, terbukti amat berhasil untuk program dan gerakan Keluarga Berencana. Lumayan bergaung juga untuk kegiatan kampanye penanggulangan HIV/AIDS. Sutradara Garin Nugroho membandingkan dengan kampanye antirokok di Amerika Serikat yang digarap amat profesional sehingga mampu mengimbangi iklan dan promosi rokok yang dananya amat besar. "Organisasi untuk kampanye antirokok di AS punya kantor besar dan dana yang juga besar untuk membuat dan menyiarkan iklan-iklan layanan masyarakat yang menghantam industri rokok," tuturnya pada Konferensi Nasional Promosi Kesehatan 2001 di Jakarta tanggal 13 Juni 2001. Garin masih obsesif dengan gagasan TV publik yang didanai oleh anggaran pemerintah dan dana filantropik perusahaan swasta/asing. Sayangnya gagasan ini hingga kini belum terwujud. Ia menyetujui pembentukan lembaga semacam AdCouncil di AS yang merancang dan menyiarkan iklan-iklan layanan masyarakat untuk menanggulangi berbagai masalah sosial, kesehatan dan lingkungan, termasuk masalah penanggulangan bahaya rokok. Persoalannya, adakah biro iklan serta para tenaga kreatif periklanan maupun media massa yang bersedia mendukung kampanye antirokok, karena kue iklan/ promosi rokok amatlah menggiurkan, tak kurang dari 12 persen belanja periklanan di Indonesia. Sementara gagasan pembentukan TV publik dan lembaga semacam AdCouncil belum menjadi kenyataan, apakah yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak rokok terhadap kesehatan masyarakat? Upaya kampanye yang dilakukan lembaga seperti Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) selama ini seperti penyuluhan di sekolah-sekolah, kantor pemerintah dan tempat-tempat perbelanjaan, sudah cukup baik. Begitu pula dengan kegigihan melakukan penyuluhan yang dilakukan pribadi-pribadi seperti dr Tjandra Yoga Aditama dan aktor sinetron Fuad Baradja. Yang rasanya masih harus lebih banyak dilakukan adalah upaya menciptakan kawasan bebas rokok di kantor, kampus, dan tempat-tempat umum. Selain itu perlu juga dipergencar kegiatan testimonial oleh para mantan perokok atau keluarga dekat korban yang meninggal karena menjadi perokok (aktif atau pasif). Kegiatan menghadirkan selebriti seperti Alan Landers-yang pernah menjadi bintang iklan rokok Winston-tahun lalu terbukti banyak memperoleh liputan media massa. Kegiatan kalangan LSM di Solo/Yogyakarta dan Jakarta melakukan somasi dan gugatan terhadap praktik promosi/iklan yang dilakukan industri rokok juga perlu memperoleh dukungan yang lebih luas. Sayangnya kalangan LSM ini yang telah mencoba melakukan advokasi litigasi cenderung kurang mampu melakukan advokasi dan meminta dukungan media. Kalangan LSM di Jakarta malah cenderung menyalahkan media massa yang dinilai kurang mendukung. Padahal seyogianyalah masyarakat dan LSM memahami nature media massa, yang di satu pihak dapat menjadi sarana yang amat ampuh untuk mempromosikan kesehatan, namun di pihak lain dengan adanya iklan justru dapat merugikan upaya kesehatan. Periklanan adalah penabuh genderang konsumsi, menjanjikan tingkat konsumsi yang lebih tinggi bagi produk-produk yang menggerogoti kesehatan lewat daya tarik gaya hidup. Contoh yang paling jelas adalah iklan-iklan rokok yang menampilkan tokoh-tokoh seperti Ariwibowo, Jamal Mirdad, dan Lidya Kandouw, serta gaya hidup yang macho, tak gentar bertualang, hingga yang seksi dan sensual. Sudah bukan rahasia lagi, industri rokok memiliki dana promosi yang tak terbatas, dan mereka selalu berupaya menjaring perokok baru di kalangan kaum muda maupun wanita. Namun, ini tidak berarti lalu media massa yang menyiarkan iklan-iklan rokok harus dimusuhi. Perlu dicari upaya advokasi legislasi seperti pemberlakuan ketentuan jam tayang iklan di televisi dan sanksi bagi industri rokok yang melanggar, serta mengupayakan iklan tandingan dengan frekuensi penayangan dan penyiaran yang cukup kerap. Jika soal dana menjadi kendala, ada baiknya kalangan LSM antirokok mencoba mencari tahu peluang dukungan dari donor-donor internasional seperti WHO, serta bagaimana kampanye antirokok di AS dapat begitu perkasa. *** UNTUK sementara ini yang paling realistis dan dapat segera Anda lakukan sebagai pribadi adalah memulai dari lingkungan terdekat Anda, yaitu rumah dan kantor. Anda jangan mau menjadi perokok pasif. Di rumah, misalnya, Anda dapat meminta tamu Anda untuk merokok di teras, dan bukan di ruang tamu yang tertutup. Aturan ini juga dapat Anda berlakukan untuk suami, istri, saudara, atau anak-anak Anda. Sedang di kantor, Anda dapat mengajak teman-teman yang bukan perokok untuk meminta dukungan pihak manajemen agar diberlakukan kebijakan "ruang kerja bebas asap rokok" dengan mulai menyediakan beberapa ruang khusus bagi para perokok. Secara bertahap, ruang khusus bagi perokok itu dikurangi hingga akhirnya dihapuskan. Jika masih ada karyawan yang ngebet merokok, mereka bisa merokok di luar ruang kerja. Pengalaman mengunjungi kantor redaksi Harian Boston Globe, dibutuhkan waktu tak kurang dari delapan tahun hingga ruang kerja sama sekali bebas dari asap rokok. Pihak manajemen juga tidak boleh lepas tangan dengan hanya menyediakan ruang-ruang khusus bagi perokok, namun perlu membantu para karyawan yang ingin berhenti merokok dengan kegiatan konseling dan sebagainya. Dalam praktiknya, kegiatan terakhir ini masih sulit diterapkan di Indonesia, karena menurut dr Tjandra Yoga Aditama, Klinik Berhenti Merokok di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta kini praktis tidak ada kegiatan lagi karena tidak ada pasien yang berobat di sana. Mengapa menjadi perokok pasif itu membahayakan kesehatan, bahkan mematikan? Simak saja penuturan Prof dr Iwan Darmansyah, guru besar farmakologi FKUI yang di tempat praktiknya banyak menjumpai kasus pasien batuk kronis akibat asap rokok pasif. (Kompas, 7/4/2001) Salah satunya adalah Bapak X, yang sejak lima tahun lalu membawa istri dan dua orang anaknya untuk berobat. Kedua anak itu sering batuk tak sembuh-sembuh. Namun, yang amat disesalkan oleh Prof Iwan adalah meninggalnya istri Bapak X tadi karena kanker paru di Singapura beberapa bulan lalu. Dapat dipastikan kematian ibu rumah tangga itu adalah akibat asap rokok pasif di rumah, karena Bapak X adalah seorang perokok berat. Langit di rumah mereka sampai berubah jadi kuning karena tar dan nikotin. Kini Bapak X telah berhenti merokok, namun istrinya sudah telanjur meninggal. Pasien lain Prof Iwan, JS juga menderita batuk yang tak sembuh-sembuh selama 10 tahun sebelum ia ditangani Prof Iwan. JS mengalami haemoptysis (batuk darah) dan bronchiectasis atau saluran napasnya ada yang membenjol keluar. Akhirnya diagnosis ditegakkan bahwa JS menderita alergi terhadap asap rokok pasif dari lingkungan tempatnya bekerja. Batuknya dapat disembuhkan, dan JS memutuskan untuk berhenti bekerja. Kisah ini termuat dalam jurnal World Health Forum Vol 12, 1991. *** SUDAH bukan rahasia lagi bahwa asap rokok di dalam ruangan dapat membuat asma-terutama pada anak-anak dan karyawan kantor di ruang tertutup yang ber-AC-menjadi lebih buruk. Sebuah penelitian oleh peneliti Swiss, yang dilaporkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine akhir 1994 lalu mengungkapkan perokok pasif 40 persen lebih banyak didiagnosis menderita asma dibandingkan mereka yang bisa menghindari udara penuh asap rokok. Perokok pasif juga dua kali lebih banyak menderita emfisema (bengek), dan 60 persen lebih banyak mendapatkan bronkhitis dibandingkan yang tidak menghirup asap rokok. Keluhan tentang asap rokok di kantor pernah diungkapkan oleh Evy, seorang karyawan perusahaan akuntan di Jakarta dalam rubrik Konsultasi Kesehatan yang diasuh oleh Dr Samsuridjal. (Kompas, 14/1/ 2001) "Teman sekantor saya banyak yang merokok padahal kantor kami dilengkapi dengan pendingin udara (AC) sentral. Akibatnya hampir setiap hari saya batuk jika teman-teman banyak yang merokok. Asap rokok dengan mudah terlihat di ruangan kantor. Bila saya mengeluh mereka hanya tertawa saja. Saya tak dapat mengadukan hal ini kepada atasan saya karena dia juga merokok di dalam ruangan. Memang aneh juga, teman-teman yang berpendidikan tinggi tentu memahami asap rokok membahayakan kesehatan orang lain," tutur Evy. Di Amerika Serikat diperkirakan setiap tahun 3.000 orang perokok pasif meninggal karena kanker paru. Beberapa studi menunjukkan risiko relatif seorang nonperokok yang tinggal seruangan dengan perokok terkena kanker paru 1,3 kali lebih besar dibanding nonperokok yang tinggal seruangan dengan nonperokok lainnya. Sebenarnya sudah banyak publikasi ilmiah tentang risiko kesehatan bagi para perokok pasif. Salah seorang pakar yang paling gencar mengungkap "borok" industri rokok di Amerika Serikat adalah Prof Stanton A Glantz dari Universitas California di Berkeley. Tahun 1995 ia dan rekan-rekannya mempublikasikan bocoran dokumen internal perusahaan rokok Brown and Williamson (B & W) dan British American Tobacco (BAT) dalam Journal of American Medical Association. Kedua perusahaan itu meneliti bahwa nikotin membuat ketagihan dan asap rokok dalam ruangan itu membahayakan kesehatan. Tulisan itu setahun kemudian dipopulerkan dalam buku he Cigarette Papers Dalam bukunya ini, Glantz mendefinisikan asap rokok yang diisap perokok ke dalam paru mereka adalah asap mainstream (MS), sedang asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream (SS). Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstream yang sudah terekstraksi dinamakan asap "tangan kedua" (secondhand smoke) atau asap tembakau lingkungan (environmental tobacco smoke, ETS), dan mereka yang mengisap asap ini dikenal sebagai perokok pasif atau perokok "terpaksa" (involuntary smokers). Terdapat lebih dari 4.000 senyawa kimia yang telah diidentifikasi dalam asap rokok, sebagian di antaranya dikenal sebagai karsinogen, akselerator dan promotor terjadinya kanker, serta iritan. Menurut Glantz, memang ETS mengandung banyak bahan kimia beracun dan karsinogenik yang terdapat dalam asap MS, namun kadarnya relatif rendah. Sumber utama ETS sebenarnya adalah SS. Kandungan racun asap SS pada kenyataannya lebih tinggi konsentrasinya dibanding asap MS, karena asap SS tidak difilter. Selain itu tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan lebih kotor. Jika Anda ingin agar kantor Anda terbebas dari asap rokok, Anda harus mampu melakukan persuasi. Pengalaman polling yang dilakukan Kompas maupun survei yang dilakukan oleh LM3, sebenarnya mayoritas atau sekitar 80 persen karyawan di perkantoran setuju jika diberlakukan ruang kerja bebas rokok. Jadi di kalangan para perokok pun masih banyak yang mempunyai "empati" kepada mereka yang tidak merokok. Hanya sekitar 10-20 persen perokok yang tergolong "antisosial" yang tak peduli penderitaan orang lain. Kalau Anda menginginkan ruang kerja Anda bebas asap rokok, rangkullah para perokok yang mau mengerti yang jumlahnya lebih banyak dibanding mereka yang egois dan "antisosial". Kompromi tahap pertama adalah menyediakan ruang-ruang khusus bagi perokok, yang dalam jangka panjang dihilangkan satu demi satu. Perubahan tak mungkin drastis, melainkan harus dilakukan bertahap. (Irwan Julianto) --------------------------------------------------------------------- >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]