Dikutip dari file lama yang saya dapat dari sahabat saya pada saat saya hamil anak kedua yang bersamaan dengan datangnya bulan puasa..,semoga membantu.
Salam, Ayu Samantha ________________________________________________________________________ Selanjutnya, yang juga penting diketahui sekitar persoalan fidyah dan mengqadla' puasa adalah hal-hal berikut: 1. Dalam keadaan berpuasa seorang istri yang sedang hamil, apabila khawatir terhadap kesehatan diriya dan anak yang dikandungnya, maka diperbolehkan tidak berpuasa. Firman Allah : "Dan bagi orang yang mampu menjalankan puasa (tapi tidak menjalankannya karena merasa terlalu berat) maka wajib membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin." (Al-Baqarah: 184) Dan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda "Allah SWT melepaskan kewajiban shalat (pada waktunya) bagi musafir, dan melepaskan tanggungan puasa atas musafir, perempuan yang hamil, dan yang menyusui." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Baihaqi). 2. Para ulama berbeda pendapat dalam apakah perempuan yang hamil dan yang menyusui diwajibkan mengqadla' dan membayar fidyah, atau cukupkah dengan mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), atau sebaliknya hanya membayar fidyah saja? (Silahkan Anda memilih sendiri mana yang paling cocok dengan keadaan Anda). Pendapat pertama (Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar): Jika keduanya (perempuan yang hamil dan yang menyusui) mengkhawatirkan kesehatan janin dan anaknya, maka hanya diwajibkan membayar fidyah (tanpa mengqadla'). Kedua (Hanafi): Sebaliknya, keduanya hanya diwajibkan mengqadla' puasa yang diitinggalkan (tanpa membayar fidyah). Ketiga (Maliki): Orang yang hamil hanya wajib mengqadla' saja (tanpa membayar fidyah), namun orang yang menyusui diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla. Keempat (Syafi'i dan Ahmad): keduanya hanya diwajibkan mengqadla' saja jika mengkhawatirkan kesehatan diri dan anaknya. Namun jika hanya mengkhawatirkan kesehatan anaknya saja, maka wajib mengqadla' dan membayar fidyah. 3. Mengenai mengakhirkan qadla' puasa Ramadlan hukumnya boleh-boleh saja selama tidak sampai menjelang Ramadlan berikutnya. Namun begitu, jika tidak ada halangan (seperti bepergian, bekerja keras, sakit, dan udzur-udzur lainnya), hendaknya secepatnya mengqadla'. Adapun seperti yang dikisahkan Sayidah Aisyah bahwa kebiasaan istri-istri Rasulullah tidak segera mengqadla Ramadlan sampai datang bulan Sya'ban (HR. Muslim) itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan landasan dalam persoalan penundaan qadla' puasa ini. Karena kebiasaan mereka (istri-istri Rasul) seperti itu hanya berdasar kekhawatiran jika sewaktu-waktu Rasulullah membutuhkan (hajat biologis) mereka. Karena mereka tidak tahu pasti kapan Rasul akan membutuhkan mereka. Mereka beri'tikad baik senantiasa menyiapkan diri kapan saja bila Rasul membutuhkan. Dan itu mesti tidak dengan melakukan puasa. Sehingga mereka baru melakukan qadla' puasa pada bulan Sya'ban, saat mana Rasul biasa berpuasa pada sebagian besar bulan Sya'ban tersebut. Dengan demikian, seorang istri yang sudah ditinggal mati suaminya tidak perlu ikut-ikutan mengqadla' puasa sampai datangnya Sya'ban. 4. Jika belum mengqadla' sampai memasuki/menjelang Ramadlan berikutnya, hendaknya segera mengqadla' pada hari-hari yang tersisa (dari bulan Sya'ban) dan melanjutkan sisanya seusai Ramadlan. Apabila penundaan qadla' dikarenakan adanya halangan seperti sakit atau perjalanan yang berkepanjangan sampai datang bulan puasa berikutnya, para ulama sepakat bahwa qadla' bisa dilakukan seusai bulan puasa berikutnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah. Namun bila penundaan itu dilakukannya secara sengaja (tanpa ada halangan) maka diwajibkan membayar fidyah dan mengqadla'. Mengenai cara pembayaran fidyah: fidyah boleh saja dibayar berupa uang (yang senilai dengan satu mud, atau sekitar 3/4 (tiga per empat) kg beras atau makanan pokok setempat). Dan boleh saja dibayarkan sekaligus kepada satu orang (miskin). ayat lengkap ttg Puasa: al-Baqarah 183 s/d 185 hadis: sesungguhnya Allah mencabut puasa dan separuh shalat mufasir, dan mencabut puasa dari perempuan hamil dan menyusui (HR Nasa'i & Ibnu Majah) dari tafsir Al Azhar ada lagi; Menurut riwayat Abd bin Humaid dan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, bahwa beliau Ibnu Abbas, mengatakan kepada ibu anak2nya yang sedang hamil dan menyusui anak yang tidak sanggup pada waktu itu mengerjakan puasa, supaya berbuka saja, lalu memberi makan kepada orang miskin (fidyah) dengan tidak usah mengqadha. Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang --menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa. Mengenai fidyah dan qodlo puasa, berikut pendapat beberapa ulama terkait wanita hamil atau menyusui : 1. Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatannya atau kesehatan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla di luar Ramadlan tanpa membayar fidyah. 2. Jika ia khawatir puasa dapat membahayakan kesehatan anaknya saja dan tidak membahayakan dengan kesehatannya sendiri, maka boleh tidak berpuasa dan wajib meng-qadla. Selain itu, sebaiknya juga membayar fidyah. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i. Sementara Imam Hanafi berpendapat harus qadla dan tidak diperbolehkan membayar fidyah saja. 3. Dalil yang memperbolehkan tidak puasa bagi wanita hamil atau menyusui diqiyaskan dengan orang yang sedang sakit dan musafir (orang yang dalam perjalanan). Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwasanya Allah memperbolehkan kepada musafir untuk tidak berpuasa, qashar dan jamak sholat. Begitu juga bagi orang yang sedang hamil dan menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa (H.R. Ahmad dan Ashab al-Sunan dari Anas bin Malik). Justru sebaiknya wanita hamil atau menyusui tidak berpuasa apabila puasa tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan ibu yang sedang hamil dan janin yang dikandungnya. 4. Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Said bin Jubair (Sahabat) menyatakan diperbolehkannya membayar fidyah saja tanpa harus meng-qadla. Karena qadla itu sendiri dibatasi sampai sebelum datangnya Ramadlan berikutnya. Jika sampai tahun berikutnya tetap tidak bisa meng-qadla puasa karena menyusui, maka boleh (baca: cukup) membayar fidyah saja. Adapun ketentuan fidyah dapat anda lihat dalam arsip jawaban kami dengan mengunjungi http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/063.shtml --------------------------------------------------------------------- DUKUNG situs Balita-Anda.Com sebagai Situs Terbaik Wanita & Anak 2004-2005 versi Majalah Komputer Aktif, dengan ketik: POLL ST WAN 2 ke nomor 8811, selama 16 Okt sd. 30 Nov. 2004. Raih sebuah ponsel SonyEricsson K500i, dua buah ponsel Nokia 3100 dan 10 paket merchandise komputerakt!f bagi para peserta polling yang beruntung. Satu nomor ponsel hanya berhak memberikan satu suara dukungan untuk tiap kategorinya. Polling ini berlaku untuk pelanggan Telkomsel, Indosat maupun Excelcom dengan tarif Rp 1.500. --------------------------------------------------------------------- >> Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/ >> Info balita, http://www.balita-anda.com >> Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]