Dari milist tetangga..


For those fathers and husbands out there....

 

WHERE HAVE ALL THE FATHERS GONE? 

  

Bill Cosby memang berharga. Ketika beberapa tahun silam,  anaknya Bill Cosby Jr 
diterjang peluru, hampir sebagian warga dunia berguncang. Seorang ayah 'ideal' 
kehilangan anaknya. Puluhan pertanyaan berhamburan dibalik kejadian itu. 
Orang-orang tidak membayangkan Bill Cosby Jr punya masalah dengan bandit-bandit 
pengedar obat terlarang. Bukankah Bill Cosby seorang ayah ideal, humoris, 
sabar, pengertian, enak dan perlu. 

  

Tidaklah berlebihan, kalau Alvin F. PoussaintM.D, seorang Asisten Profesor dari 
Harvard MedicalSchool, membutuhkan 10 halaman untuk menjelaskan kehebatan sang 
tokoh. Namun ada satu pertanyaan inti yang tidak mampu dijawab secara 
transparan oleh Bill.yaitu, "Where has Bill gone ?" . 

  

Kemanakah Bill pergi selama ini. Apakah yang ia lakukan sepanjang hari dengan 
anaknya. Kenapa, Bill tidak mengetahui sedikitpun tentang sepak terjang 
anaknya? 

  

Malam, ketika tulisan ini sedang dirampungkan, telpon rumah saya berdering. 
Interlokal dari kampung saya disebuah dusun pedalaman Sumatra. Suara gagap dan 
ragu-ragu kakak perempuan saya mengabarkan, dua orang keponakan kami masuk 
penjara. Satu orang tertangkap sebagai pengedar Narkoba dan satu lagi sebagai 
pemakai Narkoba kronis. Sama seperti Bill Cosby, tiba-tiba puluhan pertanyaan 
menyergap dan mengepung ruang dalam otak kanan saya. Semua pertanyaan itu 
berputar-putar dan akhirnya berpilin pada sebuah pertanyaan, 

 

"Where has their father gone ?" 

Kemanakah ayah mereka pergi selama ini ? 

  

Sehari sebelum saya terima kabar dari kampung, dalam sebuah dialog antara 
pemerhati pecandu Narkoba, seorang ibu bercerita. Katanya, tak ada kesakitan 
yang lebih mencekam ketimbang cengkraman Narkoba pada anaknya. Dengan menahan 
tangis dan sedikit dendam, ia mengatakan anaknya adalah korban dari hilangnya 
lelaki dewasa (ayah) dalam putaran kehidupan rumah tangganya. 

 

"Where has the father gone ?" 

Dimana sih ayah-ayah mereka? 

  

Anak-anak yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah diatas hanyalah sebagian 
kecil di antara berjuta anak yang sebenarnya tidak membutuhkan konseling 
psikologi. 

  

Apa yang mereka butuhkan namun seringkali tidak mereka miliki- adalah ayah yang 
peduli padanya dan punya waktu untuk bersama. Anak-anak itu tidak butuh tenaga 
psikiater tapi dia butuh seseorang yang bisa dipercaya. Lalu dimanakah 
ayah-ayah mereka? Ada dua jawaban. 

  

Pertama, ayah yang ada tapi suka membolos.Tipe ini kita temukan dimana-mana. Di 
lapangan golf, tenis, bulu tangkis, kantor dan tempat lainnya. 

  

Ada ayah yang dinas luar (tugas kantor atau dakwah) ke daerah-daerah hampir 
setiap bulan. 

 

Ada ayah yang bekerja, berangkat sesudah subuh dan pulang larut malam. 

 

Ada juga ayah yang nongkrong, tidur-tiduran ditempat tertentu hanya untuk 
melegitimasi bahwa ia sibuk sepanjang hari. Sehingga seolah-olah hanya ada 
waktu sisa buat anak-anaknya. 

 

Kesimpulannya, ayah-ayah ini ada di mana-mana, tapi mereka sering membolos dari 
waktu bersama anaknya. Mereka (ayah-ayah ini) sulit ditemukan di rapat-rapat 
POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru), karena ada peninggalan purba yang 
menyatakan bahwa urusan sekolah adalah hak mutlak sang ibu semata . 

  

Kita jarang menemukan ayah di tempat praktek dokter menggendong anaknya yang 
sakit. 

Kita juga tidak melihatnya di kantor kepolisian mengurus anaknya yang melakukan 
tindakan kriminal.Ayah-ayah ini apabila ditanyakan pada mereka: apakah yang 
penting dalam hidupmu ? Biasanya mereka menjawab:keluarga dan anak-anak. 
Naifnya, jawaban ini sering tidak tercermin dalam kehidupan sehari-hari, 
khususnya bagaimana mereka mengatur waktu dan tenaga mereka sehari-hari antara 
pekerjaan dan anak. Simaklah dialog berikut ini: 

  

Sang Anak : "Ayah, Yah main bola yuk!" 

Sang Ayah : "O, ya. Ayah baca koran dulu!" 

              "O, ya. Ayah nonton berita dulu !" 

              "O, ya. Ayah janji main bola hari Sabtu!" 

              "O, ya. Ayah ada acara nih" 

              "O, ya. Ayah lagi cape ? " 

              "O, ya. Ayah lagi banyak kerjaan" 

              "O, ya. Ayah mau tapi ? " 

  

Mungkin ayah seperti inilah yang dimaksudkan oleh hasil need assesment dari 
Lembaga Demografi salah satu universitas negeri di Jakarta. Jajak pendapat itu 
menerangkan empat ciri menonjol ayah tipe Pertama ini. Cepat marah, jarang ada 
waktu ngobrol dengan anak, ditakuti anak dan selalu menakar seluruh pekerjaan 
dengan uang. 

  

Kedua, ayah yang ada (fisik) dan rajin tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kita 
menemukan ayah-ayah ini sering berada di rumah. Mereka mengerjakan banyak hal, 
tapi tidak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Sebuah gelombang rutinitas 
menjebak dan membawanya berputar-putar ke dalam pekerjaan yang memiliki 
kualitas rendah. 

 

Anak-anak menjumpai tokoh ini sepanjang waktu di rumah, namun sayangnya lambat 
laun sang tokoh menjadi tidak berarti dalam kehidupan mereka. Tidak ada lagi 
kejutan-kejutan psikologis yang biasa ditunggu-tunggu anak dari seorang ayah 
yang normal. Ritme komunikasi berjalan tanpa greget dan hambar. 

  

Sebagian besar korban Narkoba dan pelecehan seksual di kalangan remaja memiliki 
ayah tipe kedua ini. 

 

Bukan Superman tapi Superstar. Benar, ayah bukanlah superman, tapi ia adalah 
superstar. 

Ia bintang di tengah keluarga. Ia pembawa dan penentu model sekaligus agen 
sosial. Lewat aksi panggungnya yang memikat, ia menggemuruhkan keceriaan 
keluarga. Tapi, sebagai seorang bintang, ia tidak lahir dengan sendirinya. Ia 
membutuhkan dukungan. 

  

Norma Tarazi dalam bukunya The Child in Islam menerangkan ini dengan baik. 
Katanya, peran ayah dalam Islam itu digambarkan dengan jelas. Bahkan lebih 
jelas dari peran ibu (seperti digambarkan peran Ayah dalam diri Rasul-rasul 
Allah dan Luqman as) karena bagi lelaki peran ayah bukanlah peran instingtif. 

 

Peran ini lebih membutuhkan bimbingan sosial dari pada wanita dengan perannya 
sebagai ibu. Sebelum dukungan datang dari luar, maka sang ayah harus mencari 
dukungan dari dirinya sendiri. Mereka haruslah secara kontinyu merangsang 
dialog dengan hati nurani secara intens dan apresiatif. 

  

Dialog-dialog ini harus mampu meyakinkan bahwa ia tidaklah satu-satunya ayah 
yang sedang belajar menjadi superstar. Bahwa anak-anak membutuhkan cinta, 
dukungan, dorongan dan perlindungannya. Bahwa melalui anak-anak para orang tua 
diajarkan makna hidup, cinta, kesucian, kesabaran dan sebagainya. Bahwa 
anak-anak melihat dunia luar dengan perantara jendela sang superstar. 

  

Dukungan dalam diri tidak akan berarti tanpa tekun dan sabar berlatih. Sampai 
suatu saat hilangnya kekakuan dalam berhadapan dengan anak-anak. Muncullah ayah 
yang dengan ikhlas membantu anaknya mengerjakan PR, memandikan anak, mencuci 
baju dan belanja. Ayah yang membacakan buku cerita untuk anaknya, mengantar 
anak les komputer. Ayah-ayah inilah yang akan membuat dunia  ini berputar dan 
menjawab pertanyaan . 

"Where have all the fathers gone ?" dengan "Here I am. Now and forever!" 

 

Kirim email ke