Ibuku, Tangguh!

 Pernah suatu sore, ibu pulang dengan tapak kaki berdarah. Tertusuk kerikil,
terangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan
semenjak pagi, wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya
dengan sedikit ringisan, "Tidak apa, cuma luka kecil
kok," tenang ibu.

Padahal, baru dua hari lalu beberapa orang warga yang tak satu pun saya
mengenalnya membopong ibu dalam keadaan pingsan. Ternyata ibu
kelelahan hingga tak kuat lagi berjalan. Bermil-mil ia mengetuk pintu ke
pintu rumah orang yang tak dikenalnya untuk menawarkan jasa
mengajar baca tulis Al Qur'an bagi penghuni rumah. Tak jarang suara hampa
yang ia dapatkan dari dalam rumah, sesekali penolakan, dan tak
terbilang kata, "Maaf, kami belum butuh guru mengaji." Tapi ibu tetap
tersenyum.

Sejak perceraiannya dengan ayahku, ibu yang menanggung semua nafkah lima
anaknya. Pagi ia berjualan nasi dan ketupat bermodalkan sedikit
keterampilan memasak yang ia peroleh selagi muda dulu. Menjelang siang ia
memulai menyusuri jalan yang hingga kini takkan pernah bisa ku
ukur, menawarkan jasa dan keahliannya mengajar baca tulis Al Qur'an. Selepas
isya' kami ke lima anaknya menunggu setia kepulangan ibu di
pinggir jalan.

 Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

 Biasanya kami berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, saya di kepala, abang
di kaki, sementara kedua tangan ibu dikeroyok adik-adik. Kecuali
si cantik bungsu, usianya kurang dari empat tahun kala itu. Bukannya ibu
yang tertidur pulas, justru kami yang terlelap satu persatu
terbuai indahnya nasihat lewat tutur cerita ibu.

Tengah malam saya terbangun, melihat ibu masih duduk bersimpuh di
sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar
Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa
membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya ternganga
sekejap untuk kemudian terlelap kembali hingga menjelang subuh ia
membangunkan kami.

Selepas subuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu
meneruskan pekerjaanya menyiapkan dagangan. Sementara kami
membantu ala kadarnya. Tak pernah saya melihat ia mengeluh meski teramat
sudah peluhnya.

 Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

 Pagi hari di sela kesibukannya melayani pembeli, ia juga harus menyiapkan
pakaian anak-anak untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni
teriakan silih berganti dari kami yang minta pelayanannya. Wanita yang
namanya diagungkan Rasulullah itu, tak pernah marah atau kesal.
Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, "abang sudah
besar, bantu ibu ya."

 Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

 ***

 Kini, setelah berpuluh tahun ia lakukan semua itu, setelah jutaan mil jalan
yang ia susuri, bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di
hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu
lelah. Karena saya teramat tahu, Ibuku tangguh.

 Bayu Gautama
Happy Mother's Day, Mom...




Kirim bunga, buket balon atau cake, klik,http://www.indokado.com/
Info balita, klik http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke