Relawan Aceh
Snobbish dan Bidadari di Reruntuhan

DI antara ribuan orang yang menyemut di Bandar Udara Sultan Iskandar
Muda, Banda Aceh, sesosok wajah tenar terselip. Ia adalah Dorce
Gamalama, 41 tahun, penghibur serba bisa yang wajahnya kerap nongol di
televisi. Dorce tidak sedang piknik ke Aceh, daerah yang tengah
membuat kita semua berduka. Hari itu, Kamis pekan lalu, Dorce sedang
menunggu pesawat ke Jakarta. Saat itulah sejumlah "pasukan" dari SBY
Fans Club dan Partai Demokrat, yang baru datang dari Jakarta,
mengerumuninya.

Dorce rupanya tak sreg pada mereka. "Kalau cuma satu-dua jam di sini,
mending nggak usah datang!" katanya, geram. Dorce jengkel melihat
relawan yang hanya "numpang lewat". "Di sini banyak hal bisa
dilakukan. Mayat tergeletak di mana-mana. Perlu uluran tangan untuk
dikuburkan," kata Dorce lagi. Yang dihardik tampak kaget.

Bak air bah, Dorce terus marah. "Kalau cuma ngantar barang, kan bisa
dititipkan? Saya kecewa, apa pun alasannya, mereka sudah sampai
airport. Harusnya ada sesuatu yang diperbuat. Tidak langsung pulang,"
katanya.

Dorce sudah tiga hari di Aceh. Ia datang tatkala musibah tsunami baru
saja menyingkir. Ketika itu, puing-puing bertaburan di jalanan.
Puluhan ribu mayat teronggok di jalan atau terselip di antara puing.
Dorce ikut mengangkati para korban. Maka, tatkala melihat SBY Fans
Club yang begitu datang ke bumi Aceh lalu pulang, Dorce geram.

Pasukan relawan SBY Fans Club yang dikritik Dorce itu sebetulnya
datang dengan "persiapan tempur" lumayan lengkap. Mereka mencarter
Boeing 737-200 milik maskapai Batavia Air, berangkat dari Bandara
Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Pesawatnya bisa menampung 120 orang,
tapi delapan kursi di baris depan dicopot untuk mengangkut muatan.

Di bandara, tiap penumpang mendapat pembagian sepatu bot, jas hujan,
dan masker. Mereka juga mendapat kaus berbordir bendera Merah-Putih
yang di bawahnya bertuliskan "Fans Club". Eh, sesampai di Aceh, mereka
malah seperti buru-buru pulang. Mendarat pukul 17.00, terbang lagi
pukul 18.00 lewat sedikit. Dorce kecewa.

Tapi relawan SBY Fans Club dan Partai Demokrat punya alasan. "Kami tak
berencana hanya dua jam di Aceh. Ini karena kami tertahan di
Pekanbaru," kata Agus Abu Bakar, seorang fungsionaris pimpinan pusat
Partai Demokrat. "Dorce hanya melihat orang datang dan balik kembali.
Dia tidak tahu cerita di belakangnya," ujar Agus, yang ikut dalam
rombongan relawan itu.

Menurut Agus, meski hanya dua jam, rombongan sempat menuju areal
penguburan massal korban bencana Aceh di dekat bandara. Selain itu, 16
dari 25 anggota Partai Demokrat ditinggal di Aceh. Rombongan tak bisa
lama tinggal di Aceh, karena ada gangguan penerbangan. Rombongan
seyogianya lepas landas dari Halim pukul 07.00. Tapi molor sejam. Itu
pun harus transit di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru,
menunggu luangnya Bandara Sultan Iskandar Muda yang sangat padat.

Setelah lima jam menunggu di Pekanbaru, rombongan baru bisa mendarat
di Aceh pukul 17.00. Padahal, kalau sesuai rencana awal, pesawat yang
dicarter seharga Rp 185 juta itu mestinya balik ke Jakarta pukul 16.00
WIB. Akibatnya, rencana utama rombongan relawan SBY Fans Club dan
Partai Demokrat untuk turun langsung ke titik-titik bencana Aceh pun
bubrah.

Pesawat harus balik ke Jakarta pukul 18.00, tapi molor sampai pukul
19.00. Setelah barang bantuan diturunkan, dan para relawan hanya
berputar di kawasan Bandara Sultan Iskandar Muda, para relawan itu
menggelar jumpa pers. Spanduk dibentangkan dan potret-potret pun
dilakukan. Entah bagaimana nasib ratusan sepatu bot, sarung tangan,
dan masker penutup mulut yang diberikan satu per satu kepada setiap
relawan yang ikut.

Kisah ketidakoptimalan relawan juga banyak ditemui di tengah kota
Banda Aceh. Seorang relawan, ia tak mau disebutkan namanya, mengeluh.
Ia melihat para relawan setiap hari kerjanya hanya beberapa jam.
Sisanya ongkang-ongkang kaki. "Ini mah piknik. Bisa-bisa kita semua
gendut ketika pulang dari sini karena nggak ada kerjaan," kata relawan
itu. Ia menceritakan, banyak bahan makanan dan minuman yang dibawa
dari Jakarta dimakan sendiri oleh para relawan.

Bukan hanya Indonesia, ketidakoptimalan relawan juga dapat dilihat
pada kerja relawan dari Uni Emirat Arab, yang sempat diikuti Gatra.
Relawan Uni Emirat Arab yang terdiri dari 24 personel tim penyelamat,
tiga tenaga medis, tiga jurnalis, tiga aktivis LSM, dan lima anjing
pelacak datang empat hari setelah bencana. Mereka menginap di daerah
Lambaro, dekat kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Cabang Aceh
Besar.

Ketika turun lapangan di sekitar gedung BNI Aceh dan Pasar Aceh
Shopping Centre, yang terletak di belakang Masjid Baiturrahman,
relawan dari negeri minyak itu hanya berkeliling dalam radius 100
meter tanpa sedikit pun mengangkat mayat-mayat yang masih berserakan.
Selebihnya, seperti yang lain, potret-potretan!

"Apa pekerjaan mereka ini? Kok, putar-putar saja?" tanya Gatra kepada
seorang penerjemah yang selama tiga hari mendampingi relawan itu.
"Dari kemarin, ya, seperti ini," kata penerjemah dari PKS itu.
"Mengapa mereka tidak mengangkat mayat-mayat itu?" tanya Gatra lagi.

Mereka, menurut penerjemah itu, hanya mau mengevakuasi korban-korban
yang masih hidup. "Mengangkat mayat bukan tugas mereka," kata
penerjemah itu, kecewa. Tim relawan Uni Emirat Arab itu, Kamis pekan
lalu, berhasil mengevakuasi seorang anak kecil yang terperangkap pada
sebuah kapal. Alhamdulillah, anak itu selamat.

Relawan dari Timur Tengah itu menyumbang US$ 50.000 kepada PKS, yang
dibagi-bagi masing-masing US$ 17.100 ke PKS, Bulan Sabit Merah, dan
Pos Keadilan Peduli Umat. Tim relawan Uni Emirat Arab itu kembali ke
negaranya, Sabtu lalu.

Cerita tak optimalnya aksi relawan ini mungkin bisa lebih banyak lagi.
Tim Air Putih, sebuah komunitas IT Indonesia yang mendirikan Aceh
Media Center di Aceh, paling keras mengkritik tingkah polah
orang-orang yang mengaku relawan ini. Kenyataannya, mereka hanya
jalan-jalan dan potret-potretan. Tim Air Putih menyebut mereka sebagai
"relawan snobbish!"

Relawan snobbish ini datang seperti pelancong, Mereka tiba di lokasi
bencana untuk menonton kegiatan para relawan asli dan TNI mengevakuasi
mayat atau membuka akses jalan dan kegiatan lainnya. Kelompok ini
tampak bergerombol dan mengambil foto-foto atau merekam dalam kamera
video. "Tak satu pun kegiatan bermanfaat mereka lakukan," tulis
anggota Tim Air Putih dalam situsnya.

Tapi, tentunya, tidak semua relawan yang datang ke Aceh menjadi
penonton. Masih banyak dari mereka yang benar-benar terjun membantu
para korban bencana Aceh. Bahkan ada dua anggota tim relawan dari Bali
sampai jari tangannya membusuk karena terkontaminasi mayat saat
melakukan evakuasi jenazah. Dua relawan itu, Muhammad Chaeruddin, 24
tahun, dan Usman Yacobi, 21 tahun, diamputasi sampai pergelangan
tangannya.

Selain itu, relawan dari PKS barangkali yang paling menonjol dilihat
dari segi kesiapan dan keseriusannya. Koordinator Pemberangkatan
Relawan PKS DKI Alwan Fauzi menjelaskan, saat ini PKS telah
memberangkatkan 1.000 relawan ke Aceh.

Jumlah itu belum termasuk sekitar 200 relawan yang datang secara
pribadi dan sekitar 400 kader PKS asal Aceh yang selamat. Jumlah
pasukan PKS sudah mendekati 2.000 orang seperti ditargetkan.

PKS juga sudah memberangkatkan 256 dokter dari DKI dan Jawa Barat.
Mereka di Aceh selama dua pekan, lalu digantikan oleh yang lainnya.
Kesiapan para relawan PKS ini dapat dilihat sejak proses perekrutan.

Setelah diseleksi dari setiap DPD berdasarkan kemauan dan kemampuan
yang dimiliki, seorang relawan terpilih dikonsentrasikan di sebuah
tempat. Gatra sempat mengikuti pelatihan yang dilakukan Tim
Pemberangkatan PKS di Masjid Inabah, di kawasan Pancoran, Jakarta
Selatan.

Selain diisi dengan latihan-latihan fisik dan teknis, sambil menunggu
jadwal pemberangkatan, mereka juga diberi suntikan moral. "Saya
ingatkan, apa yang terpenting menjadi relawan ke Aceh adalah niat Anda
semata-mata karena Allah. Ini penting, karena Anda tidak mencari
apa-apa selain rido-Nya," kata Agus Jatmiko, 33 tahun, seorang kader
senior PKS, kepada calon relawan itu.

Sebanyak 136 relawan yang duduk mengelilingi Agus tampak terkesima.
Apalagi ketika Agus menambahkan, "Di sana jangan takut. Angkatlah
mayat seperti mengangkat bidadari!" Beberapa detik kemudian, salah
seorang dari mereka berteriak: "Allahu Akbar!" Teriakan itu disahut
peserta lainnya.

Memang, hanya Allah yang akan tahu mengapa mereka datang ke Aceh.
Apakah hanya mau pamer, atau tulus ingin meringankan beban warga Aceh
yang tertimpa musibah.

Luqman Hakim Arifin
[Nasional, Gatra Nomor 09 Beredar Jumat, 7 Januari 2005]

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke