Untuk yang muslim, mungkin ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk Sterilisasi.

Mamanya Naufal-Nabil-Nadhif


KONTRASEPSI DAN ABORSI  
 

Assalamu'alaikum wr.wb.

Bagi yang mau menikah, sudah menikah dan sedang menikah . semoga 
bermanfaat.
Silahkan dibaca dan diamalkan.

Wassalam,


Pertama: Kontrasepsi sebagai bentuk upaya pencegahan kehamilan 
merupakan salah satu esensi masalah Keluarga Berencana (KB) yang 
secara resmi dipakai oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana 
Nasional (BKKBN). Istilah KB ini mempunyai arti yang sama dengan 
istilah yang umum dipakai di dunia internasional. misalnya family 
planning atau planned parenthood, yang dipakai oleh International 
Planned Parenthood Federation (IPPF), sebuah organisasi KB 
internasional yang berpusat di London. KB dapat bermakna tandzim An-
Nasl' (pengaturan keturunan/kelahiran) maupun tahdid An-Nasl 
(pembatasan kelahiran). Dalam pengertian family planning atau planned 
parenthood KB berarti pasangan suami istri telah mempunyai rencana 
yang konkrit mengenai kapan anaknya diharapkan lahir agar setiap 
anaknya lahir disambut dengan gembira dan syukur sesuai dengan 
kemampuan dan kondisi mereka. Jadi, KB difokuskan pada perencanaan, 
pengaturan dan pertanggung jawaban orang terhadap anggota 
keluarganya. Sedangkan istilah birth control (pembatasan/penghapusan 
kelahiran) mempunyai konotasi yang negatif. Para ulama pun sepakat 
untuk mengharamkannya bila dilakukan bukan dengan alasan medis yang 
dapat dipertanggungjawabkan. Cakupan pengharamannya meliputi 
kontrasepsi mantap dengan sterilisasi pria (vasektomi) maupun 
sterilisasi wanita (tubektomi). Karena terilisasi bisa mengakibatkan 
kemandulan permanen dengan kemajuan teknologi keberhasilan 
sterilisasi telah mencapai 99% dan ini adalah pengingkaran fungsi 
reproduksi dan sebuah tindakan mengubah kodrat ciptaan Allah. 
Bentuk lain yang juga dilarang adalah pembatasan kelahiran yang 
menggunakan cara aborsi dan penundaan kawin sampai usia lanjut. Fatwa 
tersebut ada di hasil musyawarah Ulama Terbatas tahun 1972 dan Munas 
MUI tahun 1983. Tapi fatwa itu juga memuat pengecualian, `jika dalam 
keadaan sangat terpaksa dibolehkan',misalnya untuk menghindari 
menurunnya dari orang tua ke anak yang bakal lahir atau terancamnya 
jiwa ibu bila mengandung atau melahirkan lagi. Padahal secara prinsip 
Nabi menganjurkan kita untuk mempunyai banyak anak, karena anak 
banyak mengandung makna dan tujuan berupa kekuatan, pengaruh dan 
ketahanan umat. Sabda Nabi: "Kawinilah wanita-wanita subur yang penuh 
kasih sayang, karena aku nanti bangga akan banyaknya kamu atas umat-
umat yang lain".(HR.Abu Dawud, Al-Hakim, Ahmad, Al-Baihaqi dengan 
bervariasi redaksinya). Tapi Nabi mensyaratkan adanya sarana dan 
kemampuan menanggung biaya perkawinan, pendidikan dan perawatan anak-
anak sehingga mereka tidak menjadi jahat, dan mengembangkan perilaku 
anti sosial.

Menurut hukum Islam, (hukum berubah sejalan dengan perubahan kondisi 
dan sebab hukum) perkawinan harus dilarang jika calon suami tidak 
mampu untuk mencukupi keperluan kehidupan perkawinan (An-Nur:33). 
Hadits menyatakan: "Wahai orang-orang muda, barang siapa diantara 
kalian yang telah mampu dalam nafkah kawinlah. Dan barang siapa yang 
tidak mampu hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu perisai 
untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam adalah ajaran hidup yang mengkombinasikan secara harmonis 
(tawazun takamuli) semua aspek kemanusiaan baik spiritual, material 
termasuk ekonomi maupun kesehatan. Ajaran Islam tidak bertentangan 
dengan ilmu kedokteran khususnya yang terkait dengan hukum kesehatan. 
Al-Qur'an sendiri sangat memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan 
fisik keluarga (QS. Al-Baqarah:233) Di dalam Al Qur'an dan Hadits 
tidak ada nash yang sharih (clear statement) yang melarang ataupun 
yang memerintahkan ber-KB secara eksplisit. Karena itu, hukum ber-KB 
harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam (qaidah fiqhiyah) yang 
menyatakan: "Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, kecuali/sehingga 
ada dalil yang menunjukkan keharamannya." Selain itu beberapa ayat Al 
Qur'an dan Hadits Nabi yang memberikan indikasi bahwa pada dasarnya 
Islam membolehkan orang Islam ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-
KB itu bisa berubah dari mubah (boleh) menjadi sunnah, wajib makruh 
atau haram, seperti halnya hukum perkawinan bagi orang Islam, yang 
hukum asalnya juga mubah. Hukum mubah itu bisa berubah sesuai dengan 
situasi dan kondisi individu Muslim yang bersangkutan, selain juga 
memperhatikan perubahan zaman, tempat dan keadaan masyarakat. Hal ini 
sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berbunyi: "Hukum-hukum itu bisa 
berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan." Adapun 
ayat-ayat Al Qur'an yang memberi landasan hukum bagi KB dalam 
pengertian tandzim nasl (pengaturan kelahiran), antara lain QS.An-
Nisa':9, Al Baqarah: 233, Luqman:14, dan Al-Ahqaf:15. Ayat-ayat di 
atas memberi petunjuk bahwa kita perlu memperhatikan keseimbangan 
antara mengusahkan keturunan dengan:
a. Terpeliharanya kesehatan ibu dan anak, terjaminnya keselamatan 
jiwa ibu karena beban jasmani dan rohani selama hamil, melahirkan, 
menyusui dan memelihara anak serta timbulnya hal-hal yang tidak 
diinginkan dalam keluarga.(hifdzu nafs)
b. Terpeliharanya kesehatan jiwa, kesehatan jasmani dan rohani anak 
serta tersedianya pendidikan dan perawatan yang baik bagi anak. 
(hifdzu nasab)
c. Terjaminnya keselamatan agama (hifdzu din) orang tua yang dibebani 
kewajiban mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas , maka dapat kita pahami 
bahwa:
a. Seorang ayah sebagai kepala keluarga wajib bertanggung jawab atas 
kesejahteraan anak dan istrinya.
b. Seorang ibu tidak dibenarkan menderita karena anaknya, demikian 
pula ayahnya dan ahli warisnya
c. Lama penderitaan seorang ibu setelah melahirkan adalah, menurut 
surat Al Baqarah ayat 234, Luqman ayat 14, dan Al-Ahqaf:15, lamanya 
30 bulan.
d. Sesuai dengan ilmu kesehatan, bahwa selama menyusui, seorang ibu 
tidak mengalami menstruasi. Artinya, selama 2 tahun menyusui ia tidak 
dapat hamil. Dengan demikian dapat diambil pengertian hendaknya jarak 
antara dua kehamilan/kelahiran minimal selama 30 bulan hingga 2.5 
tahun dan bisa dibulatkan menjadi 3 tahun. Jarak itu memang 
diperlukan oleh seorang ibu untuk merehabilitasi (memperbaiki) 
tubuhnya yang berubah akibat hamil dan menyusui.
e. Dalam surat Al Baqarah ayat 234 dijelaskan perlunya musyawarah 
antara suami istri dan adanya persetujuan dari keduanya jika ingin 
menyapih anaknya lebih cepat. Artinya, untuk pengaturan kehamilan itu 
mutlak diperlukan musyawarah antara suami istri. 

Adapun landasan hukum KB individual adalah praktek `azl atau coitus 
interuptus yang pernah dilakukan para sahabat di zaman Nabi. Dalam 
sebuah riwayat dikatakan, "Kami melakukan `azal (coitus interuptus) 
di masa Rasulullah pada waktu ayat-ayat Al Qur'an masih diturunkan 
dan tak ada satu ayatpun yang melarangnya".(HR Bukhari dan Muslim) 
dan menurut lafal Muslim, "Kami melakukan `azal di masa Rasulullah 
dan hal ini diketahui oleh Nabi dan Nabi tidak melarangnya."
Persoalan KB dan kontrasepsi mengandung tiga aspek: berkenaan dengan 
prakteknya, berkenaan dengan obat-obatan dan alat-alat kontrasepsinya 
dan berkenaan dengan orang-orang yang menaruh alat-alat itu. Karena 
persoalan ini ada hubungannya dengan kemaluan atau al-aurat 
mughallazhah, dan dunia medis maka lebih memantapkan penentuan hukum, 
perlu dibahas semua poin pertanyaan tersebut. Obat dan alat pencegah 
kehamilan sangat beragam, banyak dan semakin berkembang. Diantaranya, 
kondom, pil anti konseptis (lyndiol, engenal), spiral (benang 
plastik) yang dimasukkan ke dalam rongga rahim, cincin pipa dan 
sebagainya. Tetapi Islam memberi ketentuan umum, yaitu kemestian 
berobat dengan alat dan cara yang halal dan tidak berbahaya.
IUD (alat spiral) mengandung resiko cukup tinggi seperti infeksi, 
pendarahan, radang panggul dan nyeri haidh. Karena itu fatwa 
Musyawarah Ulama Terbatas mengenai KB tanggal 26-29 tahun 1972 
memutuskan: "pemakaian IUD dan sejenisnya tidak dapat dibenarkan, 
selama masih ada cara/obat lain. Karena untuk 
pemasangannya /pengontrolannya harus melihat aurat besar (mugalazhah) 
wanita hal mana diharamkan oleh syariat Islam. Kecuali, dalam keadaan 
yang sangat terpaksa (darurat)."
Sabda Rasulullah: "sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi setiap 
penyakit itu obatnya, maka hendaklah kamu berobat dan janganlah kamu 
berobat dengan obat yang haram". (HR.Abu Dawud). Allah 
berfirman; "dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu pada kebinasaan dan 
perbaiki (urusanmu), karena sesungguhnya Allah kasih pada orang-orang 
yang memperbaiki urusannya". (Al-Baqoroh:195). Sabda beliau yang 
dijadikan kaidah fiqih, "tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang 
membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar)". (HR. 
Ibnu Majah dan Ahmad). Dalam persoalan yang terkait dengan aurat 
mughalazhah, perlu diketahui ada perbedaan hukum antara kemaluan dan 
aurat lain. Bahwa seluruh badan seorang wanita dianggap aurat bagi 
orang laki-laki selain mahram dan suaminya. Begitu juga seluruh tubuh 
laki-laki terhadap perempuan selain mahram dan istrinya. Tetapi 
kemaluan yang disebut aurat mughallazhah itu haram dilihat oleh siapa 
saja kecuali oleh suami atau istri.Rasulullah bersabda:"peliharalah 
auratmu kecuali dari istri dan seorang perempuan sahayamu." (HR. Abu 
Daud dan Tirmidzi, "janganlah seorang laki-laki melihat kemaluan 
seorang laki-laki lain dan janganlah seorang perempuan melihat 
kemaluan seorang perempuan lain." HR.Muslim, 
"Allah melaknat orang yang melihat aurat orang lain dan orang yang 
memperlihatkan auratnya".
Hukum sesuatu yang haram mungkin berubah menurut kondisi dan situasi, 
dibolehkan pada keadaan terpaksa (idhtiraar) atau keperluan (hajat) 
bila hukum haramnya merupakan hukum tambahan. Muharram lighairihi - 
lissadidz-dzariah bukan hukum pokok (muharram lidzaatih). Kaidah 
hukum ini digunakan oleh para ulama Islam. Seperti melihat wajah 
seorang wanita untuk penyaksian, perdagangan dan sebagainya, atau 
melihat aurat atau kemaluannya dalam keadaan sukar melahirkan "usrul 
wiladah", sama dengan bangkai boleh dimakan dalam keadaan memaksa 
(idhtiraar). Jadi kaidah hukum itu sudah berlaku. Tetapi Imam Nawawi 
berpendapat dalam kitabnya al-Majmu' syahrul Muhadzab bahwa kebutuhan 
melihat kemaluan seseorang harus dibatasi sekadar hajatnya, seperti 
hajat berobat atau hajat khitan. Begitu pula hukumnya bila menaruh 
alat dalam rahim yang memerlukannya. Maka sehubungan dengan hukum 
pengobatan, perlu juga diketahui bahwa diharuskan bagi seorang pasien 
berobat pada dokter sejenisnya bersama suami atau mahramnya, atau 
wanita yang menyertainya bila berobat pada seorang dokter pria.
Islam dapat membenarkan cara `azl atau cara lain. Asal, tidak 
didemonstrasikan dan digalakkan secara nasional apalagi pemaksaan 
hingga dilakukan oleh semua orang, baik yang memerlukan maupun yang 
tidak. Seorang suami dalam melakukan `azl harus mendapat persetujuan 
secara tulus dari istrinya. Karena diapun berhak dalam soal keturunan 
serta dalam masalah kepuasan batin. (Musyawarah dan saling ridha, QS. 
Al-Baqarah:233). Begitu pula sebaliknya. (Lihat keputusan fatwa 
Mu'tamar Buhuts Islamiyah II tahun 1385H di Kairo, keputusan fatwa 
Hai'ah Kibar Ulama Arab Saudi nomor 42 tahun 1396H, fatwa Mu'tamar VI 
majlis TA'sisi Rabithah Alam Islami).

Pendeknya ketentuan syari'ah mengenai KB dalam pengertian pengaturan 
kehamilan sangat kasuistik dan kondisional, tergantung keadaan suami 
dan istri. Hal inilah yang ditekankan Imam Hasan al-Banna dengan 
mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab para peminat KB 
sebagai bentuk pengambilan rukhsah (keringanan dari hukum 
prinsip/'azimah) sebelum melaksanannya agar tidak terjerumus kepada 
hawa nafsu dan madharat. Diantaranya: Masih adakah daya dukung untuk 
memperbanyak keturunan? Sudahkan diusahakan dan diberdayakan secara 
optimal? Apakah keputusan ber-KB telah dipertimbangkan secara syar'I? 
Dan apakah kita yakin betul bahwa banyaknya anak merupakan penyebab 
kesengsaraan sosial kita?
Apakah masih mungkin menggunakan pilihan dan terapi lain yang lebih 
baik? Apakah kita yakin bahwa KB ini tidak menimbulkan madharat yang 
lebih besar? Apakah telah diambil tindakan preventif untuk mencegah 
dampak negatifnya? Apakah kondisinya betul-betul darurat sehingga 
membolehkan pengambilan rukhsah? Dan apakah tindakannya nanti sekedar 
dalam batas darurat, kebutuhan atau terlenakan dari fungsi dan tujuan 
asasi? Karena itu, menurut pernyataan Imam al-Banna dalam harian 
Ikhwanul Muslimun edisi 18 Dzulqa'dah 1325 sebagaimana yang dikutip 
Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub, 
hal. 37, keringanan (rukhsah) untuk KB yang diberikan Islam adalah 
karena pertimbangan dan kondisi tertentu. Kondisi khusus tidak boleh 
dipukul rata dan tidak benar menggalakkan umat untuk melakukannya, 
melainkan hal itu harus mengacu kepada kriteria yang bersifat 
kasuistik kondisional individual. (Ath-Thuraiqi dalam Tandzim an-nasl 
wa mauqifusy syari'ah islamiyah minhu). Dalam hal tidak terjadi 
kesepakatan mengenai pelaksanaan kontrasepsi temporer dan bukan 
kontrasepsi permanen dengan alasan yang syar'i maka sebaiknya 
dimusyawarahkan dan saling pengertian. Hendaklah tidak dilakukan 
sepihak ataupun secara diam-diam agar tidak menyakiti hati dan 
perasaan pasangannya. Namun bila terjadi praktek kezaliman 
(ketidakadilan) perlakuan serta menyengsaraan hidup terutama kaum ibu 
maka dalam hal ini para istri dapat mengambil hak reproduksinya 
artinya mencegah kehamilan untuk sementara sampai memungkinkan 
kondisinya demi menjaga dan memelihara kemaslahatan hidupnya meskipun 
tanpa izin dan sepeengetahuan suami. Bukankah diantara hak istri dari 
kewajibannya mengandung dan melahirkan anak adalah mendapatkan 
kesejahteraan lahir dan batin serta tercukupinya kebutuhan materi dan 
spiritual secara lazim seagai bentuk tangung jawab qiwamah suami? 

Kedua : Masalah hukum Aborsi (pengguguran kandungan) dalam kondisi 
normal, pada dasarnya dilarang dalam syariah Islam, karena 
bertentangan dengan prinsip kemanusiaan, norma sosial dan risalah 
agama untuk menghargai hak hidup setiap makhluk dan untuk 
memperbanyak keturunan yaitu terhitung semenjak bertemunya sel sperma 
laki-laki dengan sel telur perempuan yang menghasilkan makhluk baru 
dalam rahim seorang ibu. Makhluk baru ini harus dihormati, meskipun 
ia hasil dari hubungan yang haram sekalipun seperti zina. Pendapat 
ini merupakan pendapat mayoritas ulama (jumhur). Hal itu berdasarkan 
pada hadits dimana Rasulullah saw memerintahkan kepada seorang wanita 
dari suku Ghamidiyah yang mengaku berzina dan memohon beliau untuk 
mensucikannya dengan hukuman rajam, agar menunggu sampai melahirkan 
anaknya, kemudian setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya 
sudah tidak menyusu lagi baru kemudian dijatuhi hukuman rajam. 




-----Original Message-----
From: Zuraida [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, January 18, 2005 9:50 AM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] Tubektomi

Buat Mbak reny , saya pembaca balita anda yang pasif boleh tanya engak ?

kebetulan sy nanti akan melahirkan anak yg ke 3
pengennya  sih sekalian mau di sterilisasi,sebenarnya banyak resiko 
engak untuk kb ikat tersebut ,dan berapa jumlah kasus yg kategori
gagal dalam kasus kb ikat tsb? dan penaganannya bagaimana apabila 
terjadi hal-hal yg tdk di inginkan ...selama ini mbak reny sterilisasi
apa ? ada pengaruh engak ke tubuh mbak ? aduh sorry banget banyak 
pertanyaannya soal sy lagi bingung mau kb yg bagimana?
sebelum nya makasih loh atas  jawabannya....
  

Renny Burhan wrote:

>Istilah yg lebih sering kita dengar dan sudah familiar "Sterilisasi"
>Untuk melakukan sterilisasi setidak-tidaknya harus ada
syarat-syaratnya.
>Kebetulan teman anda tsb, sudah memenuhi kriteria untuk sterilisasi.
>System ikat, maksudnya (keuntungannya) jika suatu saat berkeinginan
untuk
>hamil, maka saluran indung telur ( Tuba vallopi )
>dapat di buka.
>Sedangkan kerugiannya kadang-kadang walaupun sudah diikat resiko untuk
hamil
>lagi bisa terjadi (beberapa kasus)
>Saya juga sudah menjalani sterilisasi bertepatan dgn saya melahirkan
anak ke
>3 di bulan Juni 2002.
>Jadi (kebetulan) sesuai indikasi medis, persalinan ke 3 saya harus di
cesar,
>pada saat itu pun saya berunding dgn suami utk sekalian di "steril".
>Walaupun pada saat di steril saya belum mencapai umur sebagai kriteria
utk
>itu.
>
>
>
>Salam
>Renny - Mama Cici, Ayu & Edo
>
>
>----- Original Message -----
>From: <[EMAIL PROTECTED]>
>To: <balita-anda@balita-anda.com>
>Sent: Monday, January 17, 2005 8:31 AM
>Subject: [balita-anda] Tubektomi
>
>
>  
>
>>Dear Moms/Dads,
>>Kami punya teman, seorang ibu rumah tangga,berusia 35thn mempunyai
anak 4
>>orang. Si bungsu sudah berusia 4 thn. Dan sekarang dia memutuskan
untuk
>>tubektomi, tapi system ikat. Apa sih maksudnya? Sebelum dia menjalani
>>operasi tubektomi ini (rencananya awal Feb 2005), apa keuntungan &
>>    
>>
>kerugian
>  
>
>>KB dgn cara tubektomi system ikat?
>>
>>Mohon penjelasannya ya...
>>
>>salam hormat,
>>Emy Bandaso
>>
>>    
>>
>
>
>_____________________________________
>We are Merapi!
>Dedicated for Service Excellence
>For more details please visit us at http://www.merapi.net
>
>
>
>
>AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN
SUMATERA UTARA !!!
>================
>Kirim bunga, http://www.indokado.com
>Info balita: http://www.balita-anda.com
>Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
>Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
>
>
>  
>

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke