SEMOGA BERMANFAAT....

Sudahlah, Maafkan Saja!

Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua orang
tampil dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkanpun tampak lezat
dan mengundang selera. Saat Anda antre untuk mengambil makanan,
tiba-tiba seseorang yang sangat Anda percaya berbisik di telinga Anda,
''Hati-hati, banyak makanan tak halal disini, bahkan ada beberapa yang
beracun!''

Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat mengambil makanan.
Boleh jadi Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda benar, hanya orang
bodohlah yang mau menyantap makanan tersebut. Kita tak mau makan
sembarangan. Kita sangat peduli pada kesehatan kita.

Anehnya, kita sering -- bahkan dengan sengaja -- memasukkan
''makanan-makanan beracun'' ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar bahwa
inilah
sumber penderitaan kita. Salah satu makanan yang paling berbahaya tersebut
bernama: ketidakmauan kita untuk memaafkan orang lain!

Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti
kebahagiaan kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia
berjalan tak sesuai dengan kemauan kita. Kita marah karena pasangan, anak,
orang tua, atasan, bawahan, dan rekan kerja, tak melakukan apa yang
kita inginkan. Lebih parah lagi, kita memendam kemarahan ini berhari-hari,
bahkan bertahun-tahun.

Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara
motor yang memaki kita, mobil yang menyalib dan hampir membuat kita
celaka, orang yang membobol ATM kita, politisi yang hanya memperjuangkan
perutnya sendiri, adik yang sering minta bantuan tapi tak pernah
mengucapkan terima kasih, pembantu yang membohongi kita, maupun bos yang
pelitnya luar biasa. Kita mungkin berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri
ini
sudah sepantasnya kita benci. Tapi kita lupa bahwa kebencian yang kita
simpan hanyalah merugikan kita sendiri.

Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki
dampak hebat terhadap tubuh kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi
sirkulasi darah dan sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak
dan setiap organ dalam tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan
berbagai penyakit seperti pusing, sakit punggung, leher, dan perut,
depresi, kurang energi, cemas, tak bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.

Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok mahasiswa yang
mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan
dari mereka memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun
orang-orang di sekitar mereka. Salah seorang mengaku telah 10 tahun
memendam kebencian kepada wanita yang menjadi istri kedua ayahnya. Si ayah
yang dijuluki orang paling sholeh di kantornya tanpa diduga mempunyai
''simpanan.'' Wanita ini kemudian dinikahinya, dan akhirnya meninggal
karena stroke lima tahun lalu. Tapi, kemarahan dan kebencian si anak hingga
kini belum juga mereda.

Musuh kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi orang
yang kita benci. Ada cerita mengenai seorang lelaki bekas tapol di zaman
Orde Baru yang mengunjungi kawannya sesama eks tapol. Sambil mengobrol
si kawan bertanya, ''Apakah kamu sudah melupakan rezim Orde Baru?''
Jawabnya, ''Ya, sudah.'' Si kawan kemudian berkata, ''Saya belum. Saya
masih sangat membenci mereka.'' Lelaki itu tertawa kecil dan berkata,
''Kalau begitu, mereka masih memenjara dirimu.''

Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita.
Sumber kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena itu
jangan terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya, belajarlah
memaafkan. Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan. Banyak orang
yang melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja
melakukannya, itupun karena mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu
bahwa kejahatan bukanlah untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri.

Orang yang suka memaki dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari
bahwa mereka sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena
batunya. Inilah konsekuensi logis dari hukum alam.

Mempraktikkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Saya
ingat, saat sedang duduk menunggu anak saya sekolah pada minggu lalu,
seorang ibu yang lewat menubrukkan tasnya yang cukup berat ke kepala saya,
tanpa permisi apalagi minta maaf. Orang-orang yang melihat kejadian itu
menggeleng-gelengkan kepala sambil mencela kecerobohannya. Saya mencoba
mempraktikkan konsep ini, dan langsung memaafkannya. Ibu itu
kelihatannya sedang kalut. Tak mungkin ia sengaja menabrak saya begitu
saja.

Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain. Hentikan
kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingatlah, kesempurnaan manusia justru
terletak pada ketidaksempurnaannya. Hanya Allah-lah yang Maha Suci dan
Maha Sempurna. Saya menyukai apa yang dikemukakan Gerarld G Jampolsky
dalam bukunya Forgiveness, The Greatest Healer of All. ''Rela memaafkan
adalah jalan terpendek menuju Tuhan.''

Sumber: Sudahlah, Maafkan Saja! oleh Arvan Pradiansyah - Dosen UI dan
pengamat manajemen SDM






AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke