dia bahagia kok dengan kehidupannya sekarang. biarin ajalah....
cuma kebetulan/ karena faktor xyz dia bisa mengungkapkan/ melemparkan idenya
ini ke khalayak.
----- Original Message -----
From: "Desy Alifianti (Sec. of Marcus Koesbyanto, AGS-HO)" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Wednesday, February 02, 2005 3:24 PM
Subject: RE: [balita-anda] Fw:OOT 10 + 1 Alasan untuk Tidak Kawin


> Pak..
>
> aku juga baca buku ini Parasit lajang khan??
> terus terang begitu baca buku ini aku juga prihatin ( sempet jadi bahan
> diskusi-ku w/ my hubby ) sama Ayu Utami ini...
> kesannya kok nggak percaya sama Allah kalo kita ini diciptakan
> berpasang-pasangan..d
>
> maaf ya kalo kurang berkenan,
>
> 'Desy
>
> -----Original Message-----
> From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Wednesday, February 02, 2005 3:15 PM
> To: balita-anda@balita-anda.com
> Subject: [balita-anda] Fw:OOT 10 + 1 Alasan untuk Tidak Kawin
>
>
> cuma forward aja..ada yg tahu email ayu utami?? saya cuma kasihan sama
> dia...
>
> yangbaru6bulannikah
>
> hardian
>
>      10 + 1 Alasan untuk Tidak Kawin
>       by Ayu Utami
>
>       Inilah sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik
> saya,
> dan karenanya saya tidak layak diundang oleh Jeremy Thomas sebagai tamunya
> dalam Love & Life
>       1      Memangnya harus menikah?
>
>       2      Tidak merasa perlu
>
>       3      Tidak peduli
>
>       4      Amat peduli. Jika di satu sisi saya mudah dianggap tidak
> peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya
> amat peduli.Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat
> mengagungkan
> pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur,
> Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau
> ciuman di balkon. Artinya, tidak ada dongeng tentang perkawinan itu
> sendiri.
>
> Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang enak diperkenalkan pada
> yang realistis. Yang tidak diceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak
> ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan, pemukulan.
> Tetapi itu tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus
> nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik
> nadir sejajar dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib
> dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodrati. Barangkali
> percintaan memang amat romantis sehingga orang, misalnya saya dan pacar
> saya kalau lagi jatuh cinta, suka berkhayal bahwa kami dipersatukan oleh
> malaikat (tentu khayalan ini berakhir bersama selesainya hubungan).
> Perasaan melambung itu mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa kita
> lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi
> sosial belaka.< /P>
>
> Persoalannya, selalu ada yang tidak beres dengan konstruksi sosial. Pada
> umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali
> di beberapa negara liberal Eropa, hukum tidak terlalu berpihak pada istri.
> Di Indonesia ini terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan,
> perburuhan, maupun imigrasi. Di masyarakat, begitu banyak pengaduan kasus
> kekerasan domestik terhadap perempuan. Kita dengar dari media massa
> tentang pemukulan atas pembantu rumah tangganya Imaniar hingga atas Ayu
> Azhari oleh suaminya sendiri. Ketimpangan jender harus diakui.
>
> Tapi puncak pengesahan supremasi pria atas wanita adalah dalam poligami.
> Tema yang hampir-hampir tak pernah dikembangkan, bahkan dalam dongeng 1001
> malam. (Menurut saya topik ini digarap dengan amat muram dan mencekam
> dalam Raise the Red Lentern oleh Zhang Yi Mou). Bahwa seorang lelaki boleh
> memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak diperkenankan memiliki
> banyak laki. Padahal, secara biologis perempuanlah yang bisa betul-betul
> yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri. Waktu remaja
> tentu saja saya merasa tidak nyaman membaca berita bahwa Rhoma Irama kawin
> lagi dengan Rika Rachim, yang lebih muda dan segar daripada Veronica,
> istri pertamanya yang kemudian minta cerai karean tidak mau dimadu. (Saya
> menyetujui perselingkuhan, sebab perselingkuhan istri maupun suami
> sama-sama tidak disahkan hukum).
>
> Saya anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di
> balik kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang
> amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni
> perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seorang
> perempuan tak memiliki pelindung. Para pendukung poligami umumnya gagal
> untuk mengakui bahwa poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam
> konteks masyarakat patriarkal. Dan bahwa kita punya pekerjaan besar untuk
> mengubah sistem yang cenderung berpihak pada pria itu. Makanya, saya
> kecewa ketika dalam periode Gus Dur, Menteri Pemberdayaan Perempuan tidak
> menentang pencabutan PP 10 yang melarang pegawai negeri beristri banyak.
> (Dalam hal ini saya lebih suka Soeharto daripada Hamzah Haz.)
>
>
>
> Lantas, apa hubungan semua perkara besar itu dengan saya? Hubungannya
> adalah bahwa saya peduli, yaitu jengkel dengan idealisasi tadi. Barangkali
> saya ingin mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengagungan atas
> pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup Anda sempurna
> atau bahagia. Saya ingin mengingatkan, ada jalan alternatif. Perempuan tak
> perlu menjadi istri kesekian atau kawin dengan lelaki bertelapak tangan
> ringan hanya demi jadi Nyonya Fulan.
>
> Catatan: Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak
> menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti OPEC mengatur suplai
> minyak. Juga memperingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung
> pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri menjadi lebih mahal
> sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan
> berniat baik, kan?)
>
>
> 5      Trauma. Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana
> diperkirakan banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi.
> Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk dan
> melanggengkan
> nilai-nilai patriarki.
>
>
> Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan
> persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam
> suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri
> tidak menikah. Bukan tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka
> juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga
> kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang
> anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama
> puta-putrinya, sehingga saya tidak punya dendam, sembari tetap melihat
> ketidakadilan.
>
>
> Saya juga punya guru-guru di SD dan SMP yang memenuhi segala stereotipe
> tentang perawan tua, perempuan "tidak laku" yang dengki. Mereka
> mengidealkan perkawinan. Mereka tidak mendapat suami. Mereka adalah
> guru-guru paling killer di sekolah. Mereka menghukum dengan berlebihan.
> Mereka membenci murid-murid yang cantik, setidaknya begitu mudah berang
> pada wajah ayu. Syukurlah, saya tidak ayu dan cenderung tomboy sehingga
> mereka baik pada saya. Dengan demikian, saya punya simpati baik pada si
> guru maupun pada korbannya, teman saya yang cantik. Sembari tetap
> merasakan ketidakadilan.
>
>
> Pada masa kanak dan remaja, kesejajaran antara "perawan tua" dengan tabiat
> pendengki tampak begitu nyata, sehidup kakak tiri Cinderella. Untuk
> mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak saling berkaitan adalah naif. Lagi
> pula, demikianlah stereotipe yang dilanggengkan masyarakat. Tapi, untuk
> mempercayai bahwa perempuan yang tidak kawin niscaya mempunyai problem
> psikologis juga terlalu menyederhanakan persoalan.
>
> Inilah trauma saya: bahwa saya melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja
> saya merasa terganggu olehnya. Bertahun lalu saya menulis dalam diary,
> "Barangkali saya tidak akan menikah kelak, tetapi saya tidak akan menjadi
> pencemburu." Mungkin inilah jalan yang saya pilih: masuk ke dalam trauma
> itu dan membalikkannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan
> membuktikan kesalahannya.
>
>
> Bibi saya, guru saya, adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh
> masyarakat yang hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan
> menganggap tak laku perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milih setiap
> perempuan.
> Saya ingin mengorak luka itu, luka saya juga, dan menunjukkan bahwa ini
> hanya konstruksi sosial, sehingga kita tak perlu menjadi sakit karenanya.
>
> Tapi alasan ini kok terlalu heroik ya? Nah alasan berikutnya adalah:
>
>
> 6      Tidak berbakat. Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang
> formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tidak pernah menjadi
> murid yang baik.
>
>
> 7      Kepadatan penduduk. Saya tidak ingin menambah pertumbuhan penduduk
> dengan membelah diri.
>
>
> 8      Seks tidak identik dengan perkawinan. Wah, pertama ini konsekuensi
> alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan tak
> menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak
> berhubungan seks dengan bukan pasangannya.
>
>
> 9      Sudah terlanjur asyik melajang.
>
>
>
> 10      Tidak mudah percaya. Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah
> membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa
> pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di
> dunia ini,
> jadi sama saja.
>
>
> +1      Dan kenapa saya menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya.
> Inilah anehnya kesadaran. Ketika kita menjalani hidup, sebetulnya semua
> mengalir begitu saja. Tetapi ketika kita ditanya, kita seperti dipaksa
> untuk
> menyadari dan merumuskan. Lantas, sesuatu yang semula terasa wajar
> menjelma sikap politik.
>
>
>       Biodata Singkat
>       Dilahirkan di Bogor 21 November 1968, Ayu Utami adalah lulusan
> jurusan
> Sastra Rusia Fakultas Sastra UI. Pernah menjadi wartawan majalah Matra,
> Forum Keadilan, dan D&R. Ikut mendirikan Alianji Jurnalis Independen (AJI)
> dan Komunitas Utan Kayu - sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan
> kebebasan informasi. Pada tahun 2000 Ayu mendapat Prince Clause Award.
>
>
>
>
> AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN
SUMATERA UTARA !!!
> ================
> Kirim bunga, http://www.indokado.com
> Info balita: http://www.balita-anda.com
> Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
> Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]


AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke