Title: Leaves
ï
 

It's very touching my heart....hiks

"MAAFKAN AKU, AYAH !"                                  

Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya. Bukan
karena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebih
karena pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hari
minggu, ia seharian penuh berada di rumah dan mengajakku bermain. Namun
meski sekali, aku merasa sangat senang dengan keberadaanya.

Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidak
lebih dari sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untuk
keperluan sekolahku dan adik-adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yang
mempunyai seorang pria dewasa yang membela mereka saat berseteru dengan
teman mainnya, atau setidaknya merangkul menenangkan ketika kalah berkelahi,
aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di rumah itu sibuk dengan semua
pekerjaannya.

Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali ia
mengajariku berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukan
pria ini lagi sehari, dua hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnya
berada di rumahku. Rambutnya sudah memutih, berdirinya tak lagi tegak, ia
tak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya, langkahnya pun mulai goyah
dan lambat.

Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup yang telah
dilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau menyelingi sakit yang sering
dideritanya.Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambil
menyusuiku ia memperkenalkan pria ini setiap hari, "nak, ini ayah ?" meski
aku pun belum begitu mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justru
yang pertama kali menyambutku ketika pertama kalinya aku melihat dunia.
Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar, menemani ibu hingga saat
persalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar dengan lembut menerobos
kedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku tetap mengenali
suara panggilan Allah itu hingga kini.

Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untuk
mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuh
sejak dinginnya shubuh masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidur
hingga malam yang larut ketika akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yang
harus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya tak akan mengenalnya, tak akan
lebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka, tak akan
menghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskan
perintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukan
semua demi aku, anaknya. Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapun
ia tetap tersenyum dan tak pernah menolak saat aku mengajaknya bermain dan
terus bermain. Ia tak pernah menghiraukan penat, peluh dan lelahnya sepulang
kerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak mengeluh harus bangun
berkali-kali di malam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar menggantikan
popok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terus
selama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasa
kantuknya. Kusadari kini, semua dilakukannya untukku.

Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia harapkan balasannya. Seperti halnya
ibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untuk
bekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah seperti
diceritakan ibu, uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu dan
makanan terbaik agar aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengan
kecupan hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika aku
terlelap. Meski tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namun
sedetik keberadaanmu telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yang
tegar, tidak cengeng dan mandiri. Kerut diwajahmu, memberi aku contoh
bagaimana menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan.

Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta dan
pengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbanan
itu sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meski
kasih sayang yang kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.

Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu dan
punggungmu yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal.
Ingin aku bisikkan kepadamu, "Aku mencintaimu"

(Author Unknown)
 
BONUS :
Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup,
tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.
( Barbara Brown Taylor )

Kirim email ke