Happy reading ,....
 rgds,
Via

Updated: Selasa, 22 Februari 2005, 13:35 WIB
Anak Sportif Tak Takut Dikritik
Kompas - Jakarta, Selasa

        Ada yang mengibaratkan kehidupan ini sama dengan arena olahraga. Di
dalamnya sarat dengan kompetisi teratur dan ketat, serta aturan main yang
jelas. Ada yang menang, ada yang kalah. Untuk itu, diperlukan sikap sportif
dan kemampuan berkompetisi secara fair. Sikap ini rasanya perlu pula
ditanamkan pada anak sejak dini sebagai bekal dalam kompetisi hidup di masa
depan.


Seorang anak berusia delapan tahun, sebut saja Badu, menangis terisak-isak
di sebuah mal di Jakarta. Ia baru saja mendengar pengumuman hasil lomba
lukis yang diikutinya. Badu dinyatakan sebagai juara ketiga. Padahal, dalam
lomba sejenis selama dua tahun terakhir, gelar juara pertama tidak pernah
lepas dari tangannya. Badu terlihat kecewa. Ia merasa, secara teknis tidak
berbuat kesalahan dalam lomba itu. Kualitas lukisannya juga sama bagusnya
dengan lukisannya pada lomba-lomba sebelumnya. Tapi mengapa juri memilih
dua saingan bebuyutannya - yang selalu dikalahkannya - menjadi pemenang
kali ini? Ia cuma mendapat sebuah piala dan hadiah uang yang lebih kecil
dari kedua pemenang lainnya.
Merasa anaknya dicurangi, ibunda Badu bermaksud mengajukan protes kepada
juri. Untunglah sebelum protes itu meluncur, ayah Badu mencegahnya.
"Jangan, Bu. Keputusan sudah dikeluarkan dan tidak bisa diganggu gugat.
Kita nanti malah malu," kata ayah Badu sambil menarik lengan istrinya.
"Tapi juri sudah berbuat kesalahan!" balas ibu Badu sengit.
"Belum tentu, Bu. Siapa tahu kemampuan lawan Badu sudah meningkat pesat dan
anak kita yang kurang berlatih keras," kata ayah Badu mengingatkan.
Untunglah ibunda Badu mampu meredam emosi. Keduanya akhirnya malah
berdiskusi dan sepakat memberi pengertian tentang perlunya bersikap sportif
kepada putranya.


Tidak lebih hebat
*       Badu adalah satu contoh kenyataan dalam hidup, ketika seseorang
pasti akan menghadapi persaingan dengan orang lain di tengah masyarakat.
Berapa pun usia anak saat memulainya, ia akan mulai menghadapinya di
lingkungan terdekat seperti di sekitar rumah atau sekolah. Di sana banyak
hal baru yang belum pernah didapati sebelumnya. Bahkan mungkin tidak
disukainya.


Untuk mempersiapkan anak menghadapi lingkungan sosialnya, Dr. Seto Mulyadi,
psikolog yang bergelut di pendidikan anak, memandang perlu merancang
kecerdasan sosial anak sedini mungkin. Kecerdasan sosial akan menjadi bekal
buat anak. Satu hal yang harus diprioritaskan adalah, jangan
membeda-bedakan diri sendiri dengan orang lain.


"Kita tidak lebih hebat dari teman kita hanya karena kita kaya, kulit kita
lebih bersih, dan sebagainya. Ini yang harus ditanamkan sebelum mereka
melangkah ke masyarakat," jelas Seto.
Berawal dari semangat kesejajaran itu, terciptalah aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat dan disepakati semua orang. Anak harus diperkenalkan
dan dilatih mengikutinya. Misalnya saat seseorang diberi sesuatu, maka
harus ada ucapan terima kasih. Jika berbuat kesalahan, wajib meminta maaf,
dan sebagainya. Di dalamnya termasuk juga budaya antre, siapa yang terlebih
dahulu datang maka dia bisa berdiri di depan.


Apa yang dipaparkan Seto kedengarannya sepele. Tapi akan sulit dilakukan
jika tidak dimulai dari dalam keluarga. Untuk itu, iklimnya harus
mendukung. Seluruh anggota keluarga harus men-cerminkan kesejajaran itu dan
harus saling menghormati. Misalnya, dari orangtua tidak ada kata-kata
otoriter seperti, "Pokoknya, kalau kata Ibu harus makan, ya harus makan.
Titik!" Atau, "Ayah maunya begini!" Jika ada perkataan-perkataan semacam
itu, anak akan belajar bahwa kekuasaan adalah segalanya.
Anak-anak - seperti umumnya manusia - juga sering melakukan kesalahan.
Namun saat ini terjadi, orangtua dapat menanamkan pendidikan tentang
tanggung jawab. Jika misalnya suatu hari si Upik mengompol, maka ia harus
dilibatkan untuk membersihkannya. Ketika itu secara perlahan orangtua dapat
memberi pengertian mengapa anak diharapkan menghentikan kebiasaannya
mengompol. Anak akan berlajar bahwa jika berbuat seperti itu, ia juga harus
menanggung risikonya.
Saat memasuki lingkungan sekolah, anak akan berinteraksi dengan lebih
banyak orang dan sekaligus memasuki pendidikan sosial tahap kedua. Di
dalamnya akan lebih banyak persaingan, baik dari pelajaran maupun
kegiatan-kegiatan semacam lomba. Selain minat dan bakat mereka akan
terasah, mengikuti kegiatan-kegiatan kompetisi semacam ini juga dapat
mengajarkan kepada anak tentang arti kemenangan.


"Dengan mengikuti perlombaan, kita dapat menanamkan bahwa dalam setiap
kompetisi selalu ada yang menang, ada yang tidak. Jika anak tampil sebagai
pemenang, dia tidak boleh sombong. Jika dia kalah, tidak boleh berkecil
hati dan harus berusaha untuk mengejar ketertinggalannya. Siapa yang ingin
menang, dia harus bekerja keras," jelas pengajar di Universitas
Tarumanegara, Jakarta ini.
Mengikutsertakan anak dalam aneka pertandingan atau perlombaan juga
merupakan sarana yang baik untuk menanamkan sportivitas. Kepada anak perlu
ditanamkan bahwa kompetisi adalah hal yang wajar. Namun, kemenangan
bukanlah segala-galanya. Setiap anak harus bertanding secara sehat. Tidak
dibenarkan saling menjegal, berbuat curang, atau mencemooh pihak yang
kalah.
Pada pertandingan dengan peraturan yang jelas, anak akan belajar bahwa
dalam kehidupan juga ada aturan-aturan yang harus ditaati. Misalnya, saat
bertanding sepakbola atau bulu tangkis, anak akan memahami fungsi peraturan
itu untuk mengatur hubungan dirinya dengan orang lain. Di situlah anak akan
belajar mengakui keberadaan lawannya karena aturannya jelas.

Genting berwarna lain
*       Beraneka kondisi negatif yang belakangan terjadi di negeri kita,
menurut Seto, menjadi satu bukti tidak dipersiapkannya kecerdasan sosial
sejak dini. Adanya peledakan bom, teror, atau perseteruan antarelite
politisi, menjadi bukti ketidaksiapan kita menerima demokrasi.
Selain itu ada sebagian orang lagi yang ingin cepat mencapai tujuan tanpa
menghargai prosesnya, sehingga akhirnya terjadi jual-beli gelar untuk
mencapai jabatan tertentu dan semacamnya.
Penyebab segala ketidakberesan itu antara lain terletak pada sistem
pendidikan nasional di negeri ini yang tidak menghargai proses. Masih
banyak terjadi, satu-satunya jawaban yang benar hanyalah berasal dari guru.
Misalnya, ada pertanyaan, "Apa warna genting rumah?" Jika murid menjawab
cokelat, akan dibenarkan. Tapi bila jawabannya biru atau hijau, bisa
disalahkan karena tidak sesuai jawaban guru.
"Padahal, mungkin murid itu pernah melihat genting berwarna lain di
perumahan tertentu," kata pencipta tokoh Si Komo ini. Sistem pendidikan
seperti itu membuat anak tidak mencintai proses belajar dan hanya mengejar
nilai semata. Hasil akhir menjadi tujuan utama. Kelak, ketika anak tumbuh
dewasa, bukan tidak mungkin dia akan mementingkan diri sendiri (atau
kelompoknya) saja untuk menang.


Seto menyoroti Kurikulum Berbasis Kompetensi yang disodorkan Departemen
Pendidikan Nasional saat ini. Menurut dia, kata "kompetensi" belum
ditangkap secara jernih, yaitu kemampuan yang berbeda pada setiap anak.
Merujuk kepada teori multiple intellegences (kecerdasan majemuk) yang
dikemukakan Howard Gardner (1983), pendidikan untuk anak seharusnya kaya
akan pilihan. Psikolog dari Universitas Harvard ini mengemukakan,
sedikitnya ada tujuh tipe kecerdasan dari seorang anak. Kecerdasan musik,
kinestetik-tubuh, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal, dan
intrapersonal. Semua itu bisa dikembangkan!


Ironisnya, meski potensinya berbeda-beda, setiap anak harus tetap melahap
pelajaran yang mungkin tidak berguna bagi dirinya kelak. Seorang anak yang
berbakat musik dan ingin menjadi musisi tidak perlu mempelajari matematika
atau fisika secara mendalam. Begitu pula sebaliknya.


Seto mengibaratkan pendidikan dengan meniru kurikulum di hutan di mana ada
anak kucing hutan, anak bebek, dan anak burung. "Kalau bebek ya belajar
berenang. Kalau kucing hutan me-manjat, dan burung belajar terbang,"
tandasnya. Di rumah, anak harus bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Biarkan
anak bebas bergerak. Konsekuensinya, rumah harus bebas dari benda
pecah-belah. Biarkan ia bebas bermain dan bergerak. Hak anak untuk tumbuh
optimal jangan dirampas.


Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak ini pun prihatin melihat kondisi
saat ini, anak harus menempuh kurikulum pendidikan yang berat. Membawa tas
penuh buku dan di rumah masih mengerjakan banyak PR. Apalagi jika ditambah
orangtua yang otoriter. Hasilnya, anak akan menjadi stres, agresif, dan
cepat marah. Anak-anak yang diperlakukan seperti itu akhirnya akan berlaku
agresif pula terhadap teman-temannya di sekolah. Mereka akhirnya akan
diberi cap "anak nakal".
"Sementara anak-anak itu sendiri tidak mengerti. Mereka sudah masuk ke
dalam sistem itu dan menjadi 'robot-robot'. Mereka jadinya hanya tahu bahwa
untuk memenangkan persaingan harus dengan kekuasaan, kekerasan, dan
kekuatan," papar pendidik kelahiran Klaten 28 Agustus 1951 ini.

Sidang MPR
*       Cara penyampaian pendidikan kepada anak itu seperti melatih memakai
bahasa ibu. Di belahan dunia mana pun, bahasa ibu adalah yang pertama kali
dikuasai anak.
Caranya yaitu mendidik dengan perlahan, berulang, serta efektif. Tidak ada
lain, orang yang paling tepat melakukannya adalah orangtua atau siapa pun
yang efektif berada di rumah.
Pendidikan sejati memang dilakukan sepenuhnya di rumah, sekolah hanyalah
pelengkap. Di rumah, penanaman nilai-nilai moral, agama, dan budi pekerti
menjadi lebih efektif. "Caranya pun harus efektif dan bukan efisien," jelas
Seto. Penyampaiannya penuh dengan kasih sayang dan bukan kekerasan.


Penyampaian semacam itu dapat berhasil bila dilakukan dengan komunikasi
yang baik. Orangtua harus mampu membangun komunikasi dengan cara selalu
melakukan dialog dengan anak-anak. Caranya, bisa dengan selalu mengajak
anak-anak berdiskusi mengenai segala hal. Untuk membiasakannya, sedari
kecil bisa dilakukan dengan mendongeng.


Seto menyarankan, kalau perlu diadakan Sidang "MPR" (majelis
permusyawaratan rumah), sekali dalam beberapa waktu. Di sana dibicarakan
secara terbuka tentang persoalan seluruh keluarga. Seluruh anggota keluarga
- termasuk orangtua - harus bersedia dikritik jika memang berbuat salah.
"Jika anak melihat orangtuanya bisa dikritik, dia akan belajar sportif.
Sportif itu 'kan (artinya) setiap orang 'sejajar', bisa hebat bisa juga
keliru. Kelak si anak akan menjadi orang yang juga biasa menerima kritik,"
kata Seto. (Intisari)
















  "Virus free by ITP Scan Mail"



AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Reply via email to