sama mbak,
saya juga rasanya sedih banget dan bisa ngebayangin kejadian saat itu. Mata 
saya langsung berkaca-kaca dan ingat anak perempuan saya di rumah, jadi merasa 
bersalah karena bekerja. 
Ya Allah, mudah2an keluarga yg ditinggalkan diberikan ketabahan, amin.

Fithri Purwanti Devi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
sy bacanya sampe pengen nangiss :((
mudah2an keluarga yg ditinggalkan diberi ketabahan n keikhlasan

~ Umminya Abi n Farras ~
www.babiesonline.com/babies/a/abifarras

> -----Original Message-----
> From: Susila, Priya [SMTP:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: Friday, March 04, 2005 2:24 PM
> To: 'balita-anda@balita-anda.com'
> Subject: [balita-anda] OOT:Tangan mungil itu tak sempat kuraih...
> 
> Saat mendapat berita gembira tentang kehamilan pertamaku, aku bersama suami
> langsung sujud syukur. Pada 12 Desember 2000, putriku lahir. Ia kami beri
> nama Norifumi Sophie Rachmania. Rasanya aku mengalami kebahagiaan yang tiada
> tara. Ia adalah sosok mungil pemberi semangat, sekaligus penghibur dalam
> kehidupan kami yang pas-pasan kala itu. Demi dialah kami bertahan menjalani
> hari demi hari.
> 
> Hidup kami rasanya makin lengkap dengan keberadaannya. Apalagi, ditambah
> kehadiran anak kami yang kedua, M. Noriyuki Fachrurazi atau Yuki (1,6).
> Kehidupan keluarga kami terasa kian harmonis. Setiap akhir pekan, kami
> sekeluarga selalu pergi berjalan-jalan. Entah itu ke arena permainan
> anak-anak, ke mal, atau hanya makan bersama di restoran siap saji. 
> Sampai pada suatu akhir pekan kelabu itu, yang membuat acara akhir pekan
> kami tak bisa lagi sama. Hidup kami rasanya langsung jungkir balik.... Sabtu
> sore (30/08) itu, kami tidak langsung pergi jalan-jalan. Berhubung minggu
> depannya ada saudara yang akan menikah, aku mengajak singgah ke tempat
> penjahit langganan terlebih dahulu yang terletak di Jalan Sawo Kecik, Bukit
> Duri, Jakarta. 
> 
> Sebetulnya yang turun di situ cukup aku saja. Tapi, Sophie bersama tantenya
> (adikku) ikut turun. Yuki tinggal di mobil bersama suamiku. Jalanan di
> sekitar tempat itu memang tidak terlalu lebar, hanya tiga meter. Lokasinya
> sih, lebih mirip gang, tapi mobil bisa lewat dari dua arah, meskipun mepet.
> Jalan itu, kecil tanpa trotoar, tapi suasananya "hidup". Kendaraan umum
> seperti mikrolet banyak yang melewati jalan itu.
> 
> Ketika aku sedang asyik menerangkan design baju yang kuinginkan pada
> penjahit, adikku berkata, "Teh, aku ambil Yuki dulu, ya." Aku mengiyakan
> saja. Sayangnya, aku tidak menyangka Sophie mengikuti tantenya. Sekilas aku
> masih melihat Sophie menyusul langkah adikku. Ternyata, setelah aku lihat
> lebih jelas, adikku sudah berada di seberang jalan, sedangkan Sophie baru
> saja hendak menuju ke jalan. Secepatnya, aku mencoba menyusul dan berusaha
> meraih tanggannya. Belum sempat kuraih, dia terus berjalan. Dalam hati, aku
> berdoa, semoga tidak ada mobil yang lewat. Perasaanku pun deg-degan.
> 
> Tiba-tiba, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi datang. Buum! Tubuh Sophie
> dihantamnya, tepat di depan mataku. Ya Tuhan....! Hanya selang beberapa
> detik, aku melihat tubuh Sophie terpental sekitar 50 meter di depan mobil
> tadi. Belum sempat aku berbuat apa-apa, mobil yang melaju itu --sepertinya
> pengemudinya tidak bisa mengerem-- kembali menerjang tubuh anakku yang
> terbaring di jalan. Melihat kejadian itu, tak kuasa aku untuk berteriak,
> walaupun hatiku menjerit kencang. Aku seperti dipaku ditempat. Shock!
> 
> Peristiwa itu terjadi di depan mata kami semua: aku, suami, anakku, dan
> adikku. Kami lantas berlarian ke arahnya. pedih sekali rasanya melihat
> bidadari kecilku berlumuran darah, merintih kesakitan sambil mengucap
> dengang lirih, "Ayah...Ayah...Ayah..."
> 
> Kami berebut masuk ke mobil, melarikannya secepat mungkin ke Rumah Sakit
> Mitra Internasional di Kampung Melayu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari
> tempat kejadian. Sepintas, aku masih melihat mobil yang menabraknya tidak
> bergerak. Pengendaranya, seorang wanita berusia kurang dari 40 tahun,
> terlihat masih shock. Suamiku mengklakson mobilnya berulang-ulang agar
> menepi, memberi jalan buat kendaraan kami. Akhirnya dengan bantuan
> orang-orang di sekitar lokasi itu, mobil wanita tersebut bisa dipinggirkan.> 
> Di mobil, Sophie masih dalam keadaan sadar. Dia terus merintih. Wajahnya
> kebam-lebam. Aku tahu, betapa sakitnya dia. Melihat itu, rasanya aku ingin
> mati saja. Aku cuma bisa bilang, "Kakak tahan, ya? Tahan, ya?" untuk
> menenangkannya.
> 
> Sampai di rumah sakit, Sophie langsung masuk ke ruang UGD dan mendapat
> perawatan intensif. Kami bersyukur Sophie dapat ditangani dengan cepat,
> tanpa harus melewati prosedur segala macam. Aku terus menagis sambil
> menunggu kepastian dari dokter. Perasaanku galau. Beberapa jam kemudian
> dokter yang menanganinya keluar dari ruang operasi.
> 
> "Kondisi anak ibu sangat kritis. Paru-paru kanannya pecah, kedua tulang
> bahunya rontok, tulang rusuk retak, dan di tengkorak pangkal otaknya juga
> retak. Kami belum bisa berharap banyak," ujar dr. Antonius, spesialis anak.
> 
> Setelah mendengar penjelasan itu, pandanganku langsung buram, lututku lemas,
> dan hati ini rasanya seperti ditusuk-tusuk.
> 
> Keluargaku sepertinya sudah pasrah mendengar vonis dokter. Tapi, aku belum
> menyerah. Aku terus berharap, malaikat mungilku bisa kembali ke pelukanku.
> Aku terus berdoa agar beberapa operasi yang dia jalani hari itu membawa
> mukjzat. Lewat jendela kamar, kupandangi sosok mungil itu. Sedih sekali
> melihat tubuhnya harus "dilubangi" untuk mendapat bantuan perawatan dari
> mesin. Kenapa bukan aku saja yang menggantikannya? kurasakan, air hangat
> mengalir dari kelopak mataku.
> 
> Sambil memandanginya, aku teringat peristiwa Sabtu pagi itu. Ayahnya
> bercerita tentang mimpi yang dialaminya dua malam berturut-turut. Mungkin
> itu firasat ayahnya. Mimpi pertama, ayahnya memimpikan Sophie meninggal
> dunia. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Padahal, menurut mitos,
> mimpi itu artinya orang yang dimimpikan malah panjang umur. Malam kedua, dia
> melihat air bah yang bening, sekitar 50 meter. Dia menyelamtkanku dan
> sikecil, Yuki. Tapi, Sophie tidak ada. Saat suamiku menceritakan kepadaku,
> aku hanya tertawa saja, dan mengatakan bahwa itu hanya bunga tidur, tidak
> berarti apa-apa. Siapa sangka kami akan mengalami hal ini?
> 
> Hari Minggu-nya, ternyata masa kritis Sophie bisa dilewati, meskipun 90%
> fungsi tubuhnya masih dijalankan oleh mesin. Kondisinya belum membaik, tapi
> harapanku muncul kembali. Keesokan harinya, fungsi tubuhnya sudah mulai
> membaik. Paginya, dia hanya mendapat bantuan mesin 40% saja. Siangnya malah
> lebih baik lagi, hanya 10%. Secara umum, kondisi tubuhnya mulai membaik,
> jantungnya bekerja sendiri, paru-parunya sudah berfungsi kembali. Rasanya
> bahagia sekali, sepertinya doa-doaku terjawab.
> 
> Sambil menunggui di samping tempat tidurnya, aku sering menyanyikan lagu
> anak-anak kesayangannya. Sophie memang suka sekali menyanyi. Sepertinya aku
> juga mendengar suaranya mengikuti irama lagu yang kunyanyikan.
> 
> Tapi, kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Ada satu bagian luka yang
> tidak terlihat oleh dokter. Di bagian otaknya terdapat rembesan darah yang
> tidak terdeteksi. Hal ini menyebabkan dia kejang dan kondisinya kembali
> memburuk. Hatiku cemas sekali. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar diberikan
> kesempatan kedua untuk merawatnya lagi. Aku masih yakin, Sophie akan kembali
> sehat, apalagi aku melihat usaha keras dr. Antonius. Jantungnya masih terus
> dipompa.
> 
> Namun, takdir berkata lain. Saat melihat dia mengembuskan napas terakhir,
> aku masih belum percaya dia sudah pergi untuk selama-lamanya. Aku terus
> berteriak, "Kakak pulang, ya? Kakak cepat pulang lagi, ya," jeritku tidak
> rela melepasnya. Bude-ku yang sudah lama berada di sampingku berkata sambil
> menepuk pundakku, "Likat, Sophie tersenyum." Aku melihatnya. Ternyata benar,
> dia tersenyum manis. Melihat itu, rasanya aku ingin mendekati untuk
> memeluknya dan tak akan kulepaskan lagi. Tapi, aku hanya bisa memandanginya
> dari balik jendela ruang ICU. Akhirnya, tepat pukul 16.40, Sophie dinyatakan> 
> telah tiada.
> 
> Kini, yang bisa kulakukan hanyalah mengenangnya. Aku masih ingat kala
> pertama kali menggendongnya di pelukanku. Rasanya bahagia sekali, sekaligus
> lega, sebab proses kelahirannya tidak semudah yang kubayangkan. Setiap
> kontraksi, aku hampir pingsan, karena tidak kuat menahan sakit. Tapi, dokter
> yang membantu persalinanku sangat sabar. Keputusan untuk dioperasi caesar
> pun sudah di depan mata. Tetapi, tak berapa lama, dengan cara divakum bayi
> perempuan mungil itu akhirnya keluar juga. Kami memberinya nama Sophie,
> sesuai dengan nama dokter yang menolong persalinanku. Norifumi juga nama
> yang sangat unik, artinya malaikat. Dia memang malaikat kecil kami.
> 
> Semua orang dalam keluargaku menyayangi Sophie. Perilakunya yang riang dan
> lincah selalu membuat hati setiap orang yang melihatnya ikut gembira. Aku
> sangat bersyukur akan kehadirannya dalam kehidupan kami. Dia anak yang
> sangat mengerti orang tua. Tidak banyak permintaan dan selalu menurut kepada
> orang tuanya.
> 
> Sejak bayi pun Sophie tergolong anak yang kuat. Tidak gampang jatuh sakit.
> Saat ayahnya masih bergabung dengan kelompok lawak Padhyangan 6, Sophie
> selalu menyertai ayahnya manggung. Bahkan, tidak jarang juga dia dibawa
> keluar kota. Untungnya dia anteng dan tidak rewel. Jadi, semua crew yang ada
> juga ikut menjagainya. Bisa dibilang, Sophie adalah anak asuhan Padhyangan.
> Setelah usianya beranjak 9 bulan, ayahnya mengundurkan diri dari kelompok
> itu dan hijrah dari Bandung ke Jakarta untuk bekerja di salah satu provider
> telepon selular. Di Jakarta kehidupan kami makin membaik. Kami membangun
> keluarga ini mulai dari nol. Tapi, sepertinya, setelah kelahiran Sophie,
> rezeki selalu saja datang. Makanya, kami sering bilang Sophie itu pembawa
> berkah dalam keluarga kami. Kadang-kadang, kami menyebutnya secara guyon
> sebagai "anak preman", karena dia cepat beradaptasi di segala situasi dan
> kondisi. Diajak naik becak, angkot, motor, hingga sekarang naik mobil pun
> dia oke-oke saja.
> 
> Istimewanya, dia cepat menghafal sesuatu. Walau usianya baru dua tahun
> lebih, dia sudah hafal banyak lagu. Lagu-lagu dalam satu VCD anak-anak bisa
> dinyanyikannya semua. Kesukaannya menyanyi ini tidak hanya dilakukan di
> rumah. Di acara anak-anak, dimana pun, kalau disodori mikrofon, dia langsung
> tarik suara, tanpa malu.
> 
> Sophie sangat dekat dengan ayahnya. Aku tahu, ayahnyalah yang paling merasa
> kehilangan. Sophielah yang selalu membangunkan ayahnya setiap pagi, lalu
> membawakan koran dan secangkir teh. Meskipun sering tumpah di tempat tidur,
> aku tidak sanggup melarangnya melakukan kebiasaan itu. Kini, tidak ada lagi
> suara yang berkata, "Ayah, hati-hati, ya?" sambil melambaikan tangannya dan
> mengantarkan ayahnya berangkat kerja. Tak ada lagi sapaannya untuk ayahnya
> via telepon setiap siang. "Ayah cepat pulang, ya," celotehnya manja.
> 
> Beberapa minggu setelah dia pergi, rasa sakit terus menderaku. Apalagi mulai
> muncul kerinduanku untuk memeluk dan menciumnya. Rindu mendengar
> celotehannya, rindu menlihat gerak-geriknya, rindu sapaannya. Saking
> rindunya, aku sering menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, aku shalat untuk
> menenangkan hati.
> 
> Banyak orang bilang, anak adalah titipan Tuhan. Tapi, kadangkala aku masih
> terus bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengambilnya terlalu cepat, padahal kami
> menerima dengan sepenuh hati titipan-Nya tersebut? Apa dosa kami? Apa
> kesalahan kami? Tapi, mungkin ini adalah rencana Yang Mahakuasa, karena di
> sisiNya Sophie pasti lebih bahagia.
> 
> Aku mencoba bersikap tegar, walau setiap sudut rumahku selalu mengembalikan
> kenangan tentang Sophie. Tidak hanya itu. Saat berbelanja, membayar listrik
> atau telepon, ke bank, atau hanya jalan-jalan di depan rumah, selalu terasa
> ada dia di sampingku. Karena, ke mana pun aku pergi selama ini, Sophie
> selalu kuajak. Lucunya, bila diajak ke mal, bukannya dia yang lelah, malah> 
> dia yang sering bertanya padaku, "Mama capek, ya?"
> 
> Sophie sudah pergi, dan tak ada cara untuk mengembalikannya padaku.
> Betapapun sakitnya, kami tidak dendam dengan wanita yang menabraknya. Kami
> malah menganggapnya saudara. Dia benar-benar bertanggung jawab atas
> perbuatannya. Selama Sophie dirawat, dia terus berada di rumah sakit,
> termasuk saat pemakaman. Kami tahu, dia pasti tidak sengaja. Sebab, seperti
> kami, dia juga shock dan stres.
> 
> Kenangan indah bersama Sophie, mulai dari kelahiran hingga akhir hisupnya,
> menjadi memori yang tak akan kami lupakan. Selamat jalan malaikat kecilku!
> 
> (Kisah nyata M. Denny Abe (32) dan Henna Hennyastuty (30), yang harus ikhlas
> melepas kepergian putri pertama mereka, Norifumi Sophie Rachmania (2 tahun 8
> bulan), akibat ditabrak mobil - CN02).
> 
> 

                
---------------------------------
Celebrate Yahoo!'s 10th Birthday! 
 Yahoo! Netrospective: 100 Moments of the Web 

Reply via email to