BICARA SEKS PADA ANAK

Dorongan seks, sejalan dengan fungsinya  sebagai sarana reproduksi,
merupakan  fitrah manusia. Ia akan tumbuh dan berkembang pada waktunya
seiring dengan kematangan usia fisik dan psikisnya. Tapi, bagaimana jika
ada anak seumur jagung ‘matang’ sebelum waktunya sehingga fasih bicara
soal seks? Tabukah bicara seks pada anak?

Rasa penasaran anak
Dalam sebuah penelitian di lapangan, team konselor Yayasan Kita dan
Buah Hati –sebuah LSM pemerhati masalah anak dan keluarga; diketuai oleh
Hj. Ely Risman, Psi.-  mengungkap kasus anak kelas 5 dan 6 sebuah SD
Negeri menonton VCD porno bersama-sama, kemudian melakukan masturbasi
bersama-sama pula. Temuan lain, ternyata anak-anak itu pun tahu dimana
mendapatkan VCD porno, berapa harganya, model dan gaya apa yang bagus!
Jangan heran pula, ketika digali lebih dalam, keluar beragam pertanyaan
seputar seks yang bisa membuat kita geleng-geleng kepala.

“Kalau anak perempuan biasanya polos. Mereka lebih concern pada masalah
menstruasi, haid, keputihan. Kalau yang laki-laki aktif mencari
informasi, aktif mendapatkan media-media, VCD porno dan majalah komik. Ada
yang udah nanya: Kak, kalau payudara perempuan dipegang-pegang, itu kan
yang tengah-tengahnya ada hitam-hitam, itu bisa pecah, nggak, ya? Kenapa
anu saya  tegang kalau melihat perempuan seksi…? Coba, meraka bisa
bertanya itu…,” cerita Ika Pambajeng, Psi, konselor pada Yayasan Kita dan
Buah Hati, mengungkap pengalamannya menangani pelatihan masalah
seksualitas pada anak-anak SD. Menurut dia, pertanyaan diatas
mengindisikasikan
bahwa si anak sudah biasa melihat hal tersebut, karena pertanyaan anak
sudah menganalisa.

Kasus lain, papar Ika, “Anak laki-laki mbukain rok anak perempuan,
narikin BH-nya. Buat mereka kayaknya bercanda, ya menyenangkan. Tapi, tanpa
disadari mereka terangsang, loh. Lihat  paha mulus, terus lihat badan
yang mulai berbentuk, terus anak perempuan kalau digodain jerit-jerit
centil gitu, kan. Walaupun awalnya tujuannya bukan itu.”

Beberapa waktu lalu, tayangan berita di TV mengungkap kasus perkosaan
yang dilakukan anak usia 7 tahun pada anak 5 tahun. Belum lagi kasus
sodomi di kalangan anak-anak jalanan dan kasus penyimpangan perilaku seks
lain. Apa sebenarnya yang tengah terjadi?

Menurut Sri W. Rahmawati, Psi, konsultan psikologi pada SDIT Nurul
Fikri, Cimanggis, Depok, awalnya itu berangkat dari rasa ingin tahu anak,
keinginannya untuk eksplorasi, keinginannya untuk mencoba, setelah ia
mendapatkan atau melihat  adanya stimulus berupa gambar-gambar, misalnya.
“Ketika anak-anak  melakukan segala sesuatu itu, sebetulnya belum
dengan dorongan tertentu, bukan ke arah seksual, tapi dia nyoba fungsi
tubuhnya. Cuma kalau dia tidak mendapatkan pengarahan yang tepat, akhirnya
dia menganggap ini sebagai sesuatu enak atau apa.Kemudian dia mencoba
mengulangi lagi.”

Serbuan media Vs Orangtua tabu
Sebagian orangtua ada yang menganggap kasus-kasus di atas sebagai
‘kecelakaan peradaban’ yang tidak perlu ditanggapi serius. Berapa banyak sih
anak-anak yang seperti itu; buktinya anak saya baik-baik saja,
itu kan cuma kasus kecil yang tidak perlu didramatisir…

Pandangan tersebut mungkin ada benarnya, tapi bukan berarti kita  tidak
perlu peduli. Ingatlah, fenomena gunung es kasus narkoba, kasus AIDS
dsbnya. Terlebih, tayangan seputar seks lewat media demikian gencar,
mudah dan murah. Dan sebagaimana diakui oleh banyak kalangan, tayangan
media, baik cetak mau pun elektronik, memberi kontribusi yang signifikan
terhadap munculnya fenomena kematangan seksual sebelum waktunya. Media
seolah menjadi guru yang baik, tidak rewel dan setia bagi anak-anak dalam
penyebaran informasi seputar seks. Ini dakui  oleh Rahmawati yang
menilai tayangan untuk anak pun, semisal  film kartun Popeye, tidak luput
menyelipkan adegan-adegan seputar seks. Awalnya mungkin anak tidak
mengerti, tapi kalau terus-menerus melihat, akhirnya muncul rasa ingin tahu,
katanya. Ditambah pula kondisi gizi yang baik pada anak-anak sekarang
membuat  terjadinya percepatan kematangan fisik, termasuk organ seksual.
“Sekarang ini, anak kelas empat SD sudah bongsor, sudah dapat haid.”

Kenyataan ini bertabrakan dengan realita lain yaitu: kebanyakan
orangtua belum siap dan belum menyadari perlunya penyampaian informasi yang
benar, sehat dan lurus tentang masalah seks pada anak. Umumnya orangtua
masih menganggap tabu bicara soal seks pada anak. Pertanyaan, pernyataan
dan sikap anak terhadap seks seringkali diberangus dengan kata-kata
tidak perlu ditanya,  belum waktunya, nanti kamu mengerti sendiri dan
jangan bicarakan masalah itu, saru! Wajar, kata Ika, jika kemudian anak
lebih suka mencari informasi lewat media atau  lewat teman yang tidak akan
membuatnya dimarahi atau dicemooh.

“Jangan salah, saat anak nggak percaya sama orang tua, dia akan  cari
tempat lain. Dari pada susah-susah dimarahin sama orang tua, main
internet aja, murah, sejam paling lima ribu. Nabung apa patungan sama
temannya….” Jika ini terjadi, orangtua akan kehilangan aset anak yang amat
berharga, tandas Ika.
Pendidikan seksual pada anak
Apa yang dapat dilakukan orangtua? Perlukah memberikan pendidikan seks?
Ika Pambajeng menilai, penting memberikan pendidikan seksualitas
–bedakan dengan pendidikan seks, katanya- pada anak. Kerangka yang dibangun,
ujarnya, adalah berangkat dari motivasi membentuk kebiasaan  atau
perilaku seks yang benar, sehat dan lurus sejak dini. “Berbeda dengan ala
barat yang sekedar safe sex (seks aman); pakai kondom, jangan hamil dan
bebas AIDS.”

Menurut Ika, perilaku seksualitas yang ingin dibentuk, misalnya, kalau
laki-laki ekspresikan diri sebagai laki-laki, kalau perempuan
ekspresikan diri sebagai perempuan. Termasuk mempersiapkan masa pra baligh,
“misalnya, yang perempuan harus mulai berhijab, kalau udah mens nggak boleh
centil-centil,  duduknya nggak boleh sembarangan.” Masih kata  Ika,
pendidikan seksual juga dimaksudkan agar anak memiliki imunitas tinggi
terhadap segala perilaku  yang salah, bukan steril atau tidak paham sama
sekali. Misalnya, jangan sampai karena informasi yang salah, anak masih
kelas 1 atau  kelas 2,  karena ngga sengaja megang, dianggap pacaran.
Bahkan, cerita Ika, ada anak perempuan masih kecil yang malu ketemu
bapaknya

Sependapat dengan Ika, Rahmawati berpendapat bahwa pendidikan seksual
pada anak lebih diarahkan pada pengenalan fungsinya sebagai penerus
keturunan yang mekanisme detailnya telah diatur oleh ajaran agama.
Penyampaiannya, kata dia, dilakukan secara sederhana, logis dan tetap
terkait dengan penyampaian pendidikan keimanan dan akhlak, jangan berdiri
sendiri.

Karena itu, kata dia, orangtua sekarang harus berpikir antisipatif dan
mempersiapkan diri; bagaimana dan apa yang harus dilakukan jika
misalnya anak bertanya lebih cepat dari usianya. Menurut Ika, orangtua
perlu banyak membaca, berdiskusi, mengikuti pelatihan atau workshop untuk
menambah wawasannya tentang bagaimana mempersiapkan anak menuju masa
kematangan seksual yang wajar. Namun, bukan cuma wawasan, tapi juga rasa
percaya diri dalam menjelaskan informasi yang benar pada anak. “Tidak perlu
malu dan jengah untuk memanfaatkan beragam  kesempatan emas yang terjadi di
alam ini sebagai sarana atau alat bantu yang memudahkan penjelasan kita pada
anak.”

Bahkan, seandainya orangtua  belum tahu atau belum bisa menjawab
pertanyaan anak, katakan terus terang dan ajaklah anak untuk, misalnya,
bertanya pada dokter atau ahlinya. “Itu kan mengajarkan kebesaran jiwa juga,
bahwa orang tua itu bukan problem solver, bukan tahu segalanya, tapi
punya kebesaran hati untuk mencari tahu bersama-sama,” kata Ika.

Sebagai penutup, Rahmawati menandaskan bahwa memberikan pendidikan
seksual yang benar adalah tanggungjawab orangtua sebagai bagian dari
tanggungjawab pendidikan anak secara keseluruhan. (10/03/2003).

Maaf tidak ada sumber artikel. (rina rinso)





AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke