> Oleh : A. Suryana Sudrajat
> 
> Kartini akhirnya menikah dengan Djojoadiningrat  yang sudah punya 
> tiga istri dan tujuh anak. Bahkan puteri tertua suaminya hanya 
> terpaut delapan tahun dari sang raden ajeng. Perkawinan pada 8 
> November 1903 itu praktis mengakhiri perlawanan Kartini terhadap 
> praktik poligami di lingkungan masyarakat Jawa. Setelah diboyong ke 
> Rembang, menjadi raden ayu di kabupaten, ia memang tidak lagi bicara 
> soal kedudukan perempuan, atau menyerang poligami, bahkan juga cita-
> citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah berdamai 
> dengan lingkungannya. Ini memang aneh: seorang pemberontak bisa 
> menjadi begitu lentuk.
> 
> Padahal, bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa karena 
> memperlakukan perempuan  sewenang-wenang. Karena itu serangan-
> serangannya amat tajam, dan cenderung emosional. "Bagaimana saya bisa 
> menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila 
> sudah bosan kepada anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke 
> rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam," tulis 
> Kartini kepada Stella Zeehandelaar. Katanya, meskipun hal itu seribu 
> kali tidak boleh disebut dosa menurut ajaran Islam, selama-lamanya 
> dia  tetap menganggapnya begitu. "Dan dapatkah kamu membayangkan 
> siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang 
> bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya 
> sebagai istrinya yang sah?"
> 
> Awalnya adalah Ngasirah, yang melahirkan Kartini pada 21 April 1879. 
> Waktu itu ayah Kartini, Sosroningrat, masih wedana. Tapi ketika 
> diangkat jadi bupati, ia menikah dengan Raden Ajeng Moerjam, 
> keturunan bangsawan Madura. Dialah yang kemudian menjadi raden ayu 
> bupati Jepara. Bukan Ngasirah yang telah melahirkan delapan anak. 
> Ngasirah, anak kiai yang pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara, 
> tergusur: ia hanya seorang selir, dan  tidak berhak tinggal di rumah 
> utama Kabupaten. Ia harus memanggil anak-anaknya sendiri ndoro 
> ("majikan"), sementara mereka memanggilnya yu (panggilan  untuk orang 
> kebanyakan atau kakak perempuan). Bahkan Ngasirah masih harus 
> merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk di depan
> putera-puterinya sendiri. 
> 
> Menurut Kardinah, adik Kartini, yang juga dipaksa kawin dengan 
> seorang patih yang sudah beristri dan punya anak, Kartini tidak malu 
> mengaku ibunya dari rakyat biasa. Tapi seperti diungkapkan Th. 
> Sumartana (Tuhan dan Agama dalam Pergulatan  Batin Kartini), yang 
> disebut Kardinah itu meragukan. Sebab, meski tidak malu,  Kartini 
> sama sekali bungkam mengenai itu.
> 
> Misalnya ketika ada yang mencoba menanyakannya. Ia juga tidak pernah 
> menuturkan ihwal ibunya yang tragis itu dalam surat-suratnya. Malahan 
> J.H. Abendanon, yang menerbitkan Door Duisternis tot Licht (habis 
> gelap terbitlah terang), tidak menyebut jelas siapa ibu Kartini, 
> selain tidak mengatakan apa-apa tentang kehidupan kerumahtanggaan 
> Sosroningrat. Persoalan ibu kandung Kartini baru muncul setelah pada 
> 1954 H. Boumen menyebutnya secara eksplisit.
> 
> Kritik Kartini kepada Islam yang mendukung poligami memang keras. Ia 
> juga sempat meminta Abendanon untuk bertanya kepada Snouck Hurgronje 
> tentang hak dan kewajiban perempuan, dan anak perempuan mereka, dalam 
> hukum Islam. Sebulan kemudian dia beroleh jawaban bahwa "perempuan di 
> Jawa dalam soal perkawinan baik-baik saja adanya." Ia kecewa: "orang 
> besar" itu telah menentang perjuangannya. "Masih akan adakah orang 
> dengan tenang mengatakan bahwa "keadaan mereka baik-baik saja", kalau 
> mereka melihat dan mengetahui semuanya yang telah kami lihat dan 
> ketahui sendiri?" tulis Kartini kepada Abendanon. Kartini tak tahu 
> bahwa Snouck sendiri bukan "teladan" dalam soal itu: orientalis itu 
> kawin, dua kali, dengan gadis pribumi yang baru 13 dan 17 tahun, yang 
> tidak diakuinya di depan hukum Belanda.     
> 
> Kartini sering merasa sendiri dan putus asa. "Saya tidak mau. Mulutku 
> menjerit, hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali." Itu 
> dikatakannya mengenai musuhnya yang disebutnya kejahatan berukuran 
> raksasa itu, dan yang dianggapnya biang keterpurukan perempuan Jawa. 
> Yakni poligami. Dan bukan tatanan feodalistik masyarakat Jawa, biang 
> keterpurukan perempuan yang sebenarnya. Kartini seperti tidak melihat 
> sistem yang sebenarnya bertanggung jawab dalam menghinakan dan 
> menindas perempuan itu, lebih-lebih perempuan kebanyakan seperti 
> Ngasirah, ibunya. Ia punya keterbatasan, betapapun, untuk melihat 
> bahwa poligami bisa tampak begitu menjijikkan justru karena ia 
> poligami yang khas sistem itu, sistem yang Kartini sendiri cukup 
> bahagia menjadi bagiannya.      
> 
> Toh akhirnya dia sendiri menikah dengan jenis laki-laki yang tidak 
> dihormatinya itu. Betulkah hanya karena tidak kuasa melawan? Di 
> Rembang, betapapun, ia tidak bicara tentang kedudukan wanita. Tapi 
> bersuara lantang dan bagus tentang rakyat yang miskin akibat pajak 
> dan politik candu pemerintah. Ia malahan bangga menceritakan usaha 
> suaminya untuk memberantas candu, yang mendapat tentangan dari 
> seorang anggota Dewan Hindia yang menyatakan bahwa pemerintah masih 
> butuh uang. Pada 10 Agustus 1904 ia menulis kepada Ny. 
> Abendanon: "Tengoklah, jadi bukannya rakyat yang tak mau berhenti 
> mengisap candu, tapi pemerintah. Pahit, tapi, benar, kutuk terhadap 
> orang Jawa adalah suatu kekuatan hidup bagi pemerintah." 
> 
> Anehnya pula, kepada sahabat-sahabat Belandanya ia  mengatakan 
> hidupnya bahagia di tengah tiga selir (yang bernasib seperti 
> Ngasirah, ibunya sendiri) dan tujuh anak mereka. Kebahagiaan, kalau 
> benar, yang hanya sebentar dikecapnya. Ia wafat 17 September 1904, 
> empat hari setelah melahirkan anak laki-laki.*** 



AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke