Dear Moms & Dads,

Mungkin ada yang tau…Psikolog atau nama lembaga psikologi yang digunakan ibunya 
Dika itu apa yah?

Atau Moms & Dads punya info lembaga psikologi anak yang bagus.

 

Thanks
Leo

Tri Agustiyadi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:v\:* { BEHAVIOR: 
url(#default#VML)}o\:* {      BEHAVIOR: url(#default#VML)}w\:* {      BEHAVIOR: 
url(#default#VML)}.shape {    BEHAVIOR: 
url(#default#VML)}st1\:*{behavior:url(#default#ieooui) }FYI ..... buat renungan 
...
Walaupun topiknya bukan anak balita ...
 
M. Tri  Agustiyadi

----- Original Message ----- From: Yani 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, May 04, 2005 5:32 PM
Subject: [Pengembangan-Kepribadian] pesan anak yg tak terucapkan





Pesan Yang Tak Terucapkan 
  
  
pengalaman seorang ibu ..... 
============================================== 
saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para orang tua

Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak 
sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya 
memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut 
observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, 
tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat 
sebagai anak yang bermasalah.

Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan 
apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan 
sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian 
lama kian merosot. 
  
Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?" Dika 
hanya menggeleng.

"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya

"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk 
mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya 
kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk 
menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal 
dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja 
namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan 
rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek 
kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian 
dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. 
  
Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 
(Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang 
berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. 
Oleh sebab itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika 
kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test 
kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian 
test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, 
setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi 
salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya 
saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika 
yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang 
masih jauh dari ideal.

Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."

Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja" Dengan 
beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi 
kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa 
banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu 
menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan 
waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya 
main game di computer dan sebagainya.

Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu 
menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang 
memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan 
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal 
kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya 
sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa 
kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."

Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku 
ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu" 
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari 
atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin 
melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan 
kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat 
tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV 
secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. 
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh 
kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..." 
  
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal saya merasa 
bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih 
untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik 
dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri 
saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak 
sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang 
dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .." 
  
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak 
mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan 
bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk 
berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa 
yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong 
dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan 
baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat 
anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah 
atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk 
berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari 
sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga 
supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....." 
  
Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja". Saya cukup 
kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, 
sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, 
seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata 
hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak 
saya.

Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan 
tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran 
tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", 
  
Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. 
Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah 
berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf 
kepadaku". Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai 
manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya 
sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau 
perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua 
kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ........"

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar " Aku ingin 
ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah 
tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, 
pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya 
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa 
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh 
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ....."

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata 
"tersenyum" Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu 
menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya 
senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi 
justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala 
sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku 
memanggilku...." 
  
Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus" Saya 
tersentak sekali ! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling 
bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa 
sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa 
Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata 
"Tole", kependekan dari kata "Kontole" yang berarti alat kelamin laki-laki. 
Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu 
merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku 
memanggilku.." 
  
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli". Selama ini suami saya 
memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara 
dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis 
Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena 
selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan 
hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan 
hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai 
saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not 
a Choise" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah 
Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak 
saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan 
bermartabat.

Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak 
yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, 
ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang 
kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk 
menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh 
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik 
anaknya di dalam ajaran dan nasehat ALLAH.

Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2004, saya ingin 
mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu berpikir, bersikap dan 
melakukan hal-hal yang dikehendaki ALLAH.

(Ditulis oleh : Lesminingtyas)







  

 




= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 
= = = = =
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul(Nya
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak keturunanmu itu
hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar" (QS Al 
Anfaal 27-28).
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = 
= = = = = 



Sebelum reply, tolong hapus file message sebelumnya agar tidak berat, 
PERHATIKAN: besar Attachment maksimal 200 Kb dan perhatikan juga dengan baik 
judul subyek

- Bersama menuju puncak (Sukses saja tidak cukup, tp perlu Kebermaknaan -

ATURAN MAIN
- Dilarang mengirim info kerja dan SPAM: MLM, propaganda isu SARA, 
Iklan/promosi selain program personality Development. 

KESEPAKATAN BERSAMA
1. Bila aturan main dilanggar, maka seluruh member akan memberikan 
   peringatan & teguran langsung via JAPRI ke alamat e-mail pelanggar.
2. Moto kami adalah memperbaiki kepribadian secara bersama-sama dgn 
   saling menegur/mengingatkan bila ada yang berbuat salah bukan menghakimi

Agar Inbox tidak penuh:
[EMAIL PROTECTED]

Ajaklah rekan anda untuk bergabung dlm milis ini: 
[EMAIL PROTECTED] 

Milis ini hasil kerja sama dgn:
[EMAIL PROTECTED]

Salam

Moderator 



---------------------------------
Yahoo! Groups Links

   To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/Pengembangan-Kepribadian/
  
   To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
  
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 



                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Small Business - Try our new resources site! 

Kirim email ke