Masih ingat Muhammad Faiz si penulis  surat kepada Presiden itu?

  CINTA YANG TAK RUMIT  DARI FAIZ

  Apa yang menyebabkan kita menyapa atau  tidak menyapa, saat bertemu
  seseorang? Kebanyakan kita menyapa karena kita  mengenal atau minimal
  mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita  menyukai atau menghormati 
orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau  punya keperluan. Mungkin juga 
sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar  banyak soal ini dari seorang anak 
kecil yang berbeda umur 26 tahun dari  saya.

  Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu  jauh dari 
rumah, Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar kami. Empat 
tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan bagaimana cara 
ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau ditemuinya di jalan, 
tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum lebar Faiz.

  "Selamat pagi, Pak, selamat pagi,  Bu...."

  "Assalaamu'alaikum...."

  "Mari Oma, mari  Opa..."

  "Dari mana, Tante?"

  "Wah hari ini Kakak berseri  sekali!"

  "Mau kuliah, Bang?"

  "Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana  pagi-pagi sudah rapi?"

  Dan seterusnya....

  Saat ia duduk di  kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," Mas 
  Faiz,apa kamu tak lelah  menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"

  Faiz tertawa. "Tidaklah,  Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku
  mungkin bukan mengawali pagiku  saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula
  senyum itu kan sedekah,  Bunda."

  Saya nyengir. Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu  belum berumur 
delapan tahun. "Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang,  sedekahmu
  mungkin sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz  yang memerah.

  Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan  ibu-ibu sekitar rumah, mereka 
kerap membicarakan Faiz.
  "Waduh, Faiz  itu ramah sekali ya, Bu. Kalau bertemu saya selalu menegur
  lebih dulu, senyumnya manis sekali."

  "Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana  mendidiknya?"

  Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya?  Sesungguhnya saya tak pernah
  mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan  tersenyum. Sayalah yang
  banyak belajar dari Faiz!

  Terbayang lagi  berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk di 
bangku  SD.

  Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu dipanggilnya, 
diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan perkedel." Atau "Bapak 
mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk? Mau teh manis dingin?" Ia 
akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan mengeluarkan lembaran kertas dari 
sana untuk diberikan pada  mereka.

  Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat  pun disuruh 
mampir. Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini,  Pak. Kan capek. 
Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau  mau makan nasi?" 
Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota  keluarga lainnya untuk membeli 
sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami  tak terlalu membutuhkannya. "Apa 
salahnya sih menolong orang?"  ujarnya.

  Maka di rumah mungil yang kami tempati, tak pernah ada hari  di mana kami 
memasak sekadar pas untuk keluarga. Selalu ada tamu-tamu  istimewa yang
  entah siapa. Faiz mengundang mereka secara tak  terduga.

  "Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum  manis.

  Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan  terbata? Saya
  hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat. 

  (Helvy Tiana  Rosa)






------------------------------------------------------------------------------


Kirim email ke