Jumat, 17/06/2005 16:09 WIB SCTV
Didesak Hentikan Acara Ari Wibowo Mencari Pembantu M. Rizal Maslan
- detikHot
Jakarta, Acara reality show Ari
Wibowo Mencari Pembantu (AWMP) kembali menuai protes. Kali ini protes
disampaikan Gerakan Advokasi Perlindungan Hukum Pembantu Rumah Tangga
(GAPH-PRT). AWMP dinilai hanya bikin bodoh, sehingga harus
dihentikan.
Selain bikin bodoh, AWMP juga dinilai mengeksploitasi dan
melecehkan pembantu rumah tangga. Hal ini disampaikan Lita Anggraini dari
GAPH-PRT dalam jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, Jl. Diponegoro, Jakarta, Jumat
(17/6/2005).
AWMP diproduksi MD Entertainment dan akan ditayangkan di
stasiun televisi SCTV. Sebelumnya penayangan reality show itu benar-benar
dilaksanakan, mulai 20 Juni 2005, SCTV akan menayangkan terlebih dulu Diari
AWMP.
Selain meminta SCTV menghentikan tayangan, GAPH-PRT juga mengimbau
kepada seluruh stasiun televisi, khususnya SCTV, untuk memaksimalkan fungsinya
sebagai media yang mendidik dan tidak semata-mata mencari
keuntungan.
GAPH-PRT juga meminta agar masyarakat bersama-sama
mengkritisi acara itu dan acara sejenis lainnya serta tidak mengirimkan SMS,
karena hanya lebih menguntungkan pihak penyelenggara. GAPH-PRT juga meminta
Komisi Penyiaran Indonesia bersikap tegas.
Menurut Lita, acara AWMP
menyebarkan virus kebodohan dan sikap tidak kritis di masyarakat yang tidak
sesuai dengan misi media massa.
Acara tersebut juga hanya membentuk opini
bahwa masalah kemiskinan, penderitaan, dan kekerasan adalah persoalan
keberuntungan. "Ini bertentangan dengan realitas sebenarnya bahwa persoalan PRT
itu disebabkan kebijakan negara yang tidak memberi perlindungan kepada PRT,"
kata Lita.
Dikatakan Lita, dari hasil survei yang dilakukan ILO-IPEC pada
tahun 2003-2004, dari 2,5 juta orang PRT di Indonesia, 90 persennya adalah
perempuan dan 26,5 persen adalah anak-anak yang menerima gaji di bawah Rp 150
ribu.
Kompensasi upah Rp 10 juta/bulan selama setahun dalam ARMP bukan
merupakan solusi untuk memperbaiki kesejahteraan PRT. "Kenapa hanya Rp 10 juta
dengan satu orang yang dipilih," katanya.
Padahal, kata dia, pihak
produsen dan stasiun TV menerima keuntungan berlipat-lipat, mulai dari rating
acara, iklan dan SMS yang masuk. "Jadi keliru kalau mereka menyatakan bahwa
acara itu menguntungkan PRT, malah merekalah yang paling diuntungkan dengan
mengekploitasi realitas PRT melalui audisi-audisi yang sudah berjalan," tegas
Lita.
GAPH-PRT juga menilai rekrutmen acara itu mecerminkan rekrutmen
yang sarat dengan kepentingan penyalur serta pengguna jasa. Dalam acara itu
tidak ada kriteria yang sehat, tapi semata-mata dari penilaian juri yang
ternyata kebanyakan dari pihak modeling.
Selain itu, peserta audisi juga
harus melakukan apa pun sesuai permintaan Ari, juri, dan pihak MD Entertainment.
"Mereka disuruh nyanyi, joget, mengibas-ngibas rok yang tidak relevan dengan
profesi PRT, seperti stereotipe Inem Pelayan Seksi yang konotatif dan
bias gender kembali dilanggengkan," kata Lita.
Kondisi tersebut
menguatkan pernyataan Ari yakni 'asalkan nanti kalau sudah ngetop, dia jangan
bertingkah. Saya juga berhak memecatnya kalau dia macam-macam'. Pernyataan Ari
ini pernah dimuat di salah satu media massa di Jakarta, Mei lalu. "Ungkapan ini
mewakili perlakuan yang kerap ditampilkan pengguna jasa dan majikan," kata
Lita.
Karena itu, GAPH-PRT menuntut segera diadakannya UU Khusus yang
mengatur perlindungan kerja bagi PRT di Indonesia, terutama pengakuan dan
penegasan bahwa PRT adalah
pekerja.(umi)
|