Curhat dikit boleh yah...

Membaca Surat untuk Bapak Menteri membuat saya tambah sedih karena saya
punya anak yang di masa depan akan mengecap pendidikan di sini.

Saya gak ngerti apa yang salah dengan pendidikan Indonesia saat ini. Metode
pendidikan yang diterapkan selalu berganti-ganti,tidak berkesinambungan dan
tidak saling berkaitan.Buku-buku yang digunakan tidak standar sehingga tiap
ganti tahun ajaran,pasti ganti buku.Bukankah menambah biaya lagi bagi ortu
yang memiliki anak lebih dari satu???. Biaya pendidikan pun sangat mahal.
Para guru kurang bersahabat, kadang memposisikan kita bukan sebagai murid
tetapi sebagai "bawahan"nya, sehingga kita bisa seenaknya diperintah dan
disuruh-suruh tanpa dilatarbelakangi alasan yang jelas. Kalau kita
salah,bukannya dikoreksi atau dinasehati tapi malah dihukum. Kadang
hukumannya di luar kemampuan murid.
Dulu, sepupu saya yang masih sekolah setingkat SD di Amerika harus pulang ke
Indonesia karena masa kerja ayahnya di sana telah habis. Di Indonesia, dia
dimasukkan ke SDN yang kualitasnya baik. Tapi baru 2 minggu sekolah,
ternyata sepupu saya gak kuat kemudian sakit. Ternyata pola pendidikan di
Amerika dan Indonesia sangat jauh berbeda.Dia harus menghafal mati semua
mata pelajarannya di sekolah. Bayangkan anak usia kelas III SD harus
mengalami trauma dan stress. Apakah itu yang diharapkan dari pola pendidikan
di Indonesia???

Apakah biaya sekolah yang setinggi langit merupakan suatu trend bagi
sekolah-sekolah, terutama sekolah swasta, saat ini? Janji pemerintah untuk
meringankan biaya sekolah, apakah mungkin bisa ditepati???
Masih banyak pertanyaan yang ingin diungkapkan,tetapi yah... sudahlah...akan
saya tanyakan pada rumput yang bergoyang saja (tokh jawabannya ga ada juga).

----- Original Message -----
From: "mamakavin" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Sent: Thursday, June 23, 2005 9:32 AM
Subject: [balita-anda] Fwd: Surat Terbuka :Pak Menteri, ANAK SAYA BUKAN
JENIUS!


>
>
> Friends,
> Karena ini surat terbuka, maka silakan disebarluaskan!
>
> Trisno
> ========
> SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
> ---------------------------------
> Surat Terbuka kepada Mendiknas:
>
>
>
> Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
> Oleh Trisno S Sutanto
>
>
>
> BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke
> lembaga Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang
> yang penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa
> prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak
> akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula
> kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.
>
>
> Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat
> terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu
> yang
> prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di
> sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya,
> apa
> yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada
> anak-anak
> seusianya.
>
>
> Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi
> ujian kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup
> terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan
> terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang
> sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada "Hari
> Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke
> sekolah.
> Alasannya sederhana: "Aku benci
> sekolah!" Sebagai orangtua, saya memang dapat memaksa agar dia tetap
> pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model pemaksaan seperti itu tidak
> akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan ia tidak pergi ke
> sekolah,
> dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk mendiskusikan
> alasan-alasan
> ia mogok bersekolah.
>
>
> Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya
> sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak
> mata
> pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa
> dan
> mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja saya
> pilih,
> karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang
> (masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah begitu
> banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.
>
> Standar Kurikulum
> Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum
> Berbasis
> Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing sekolah. Akan tetapi,
> pada
> praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar
> kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai "ketinggalan" dari
> sekolah-sekolah "favorit".  Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan
> guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional,
> sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK
> mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang
> terbuka,
> seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan
> seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
> membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
> merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada
> umumnya.
> Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya beri
> contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling
> tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan
> khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer
> dan
> PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta).
> Itu
> berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku -
> saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian
> kenaikan kelas.
> Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata
> pelajarannya
> sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata
> pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa
> SLTP
> kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa
> buku-ajar
> standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak
> memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu.
> Jadi,
> izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar
> anak
> saya.
>
>
> Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan
> mampu memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan,
> masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat
> dipahami oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya,
> subjek bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan
> (idiil, struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam
> kegiatan dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek
> pembangunan nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan
> ekonomi
> (seluruh aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana
> menghitung
> pajak, dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka
> panjang (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam
> mata
> pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa
> diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan),
> sistem
> pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan),
> sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.
>
>
> Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
> mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara
> Diapedesis
> dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu
> Globmerulus
> dan
> di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana
> bagian
> Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak
> heran
> jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP
> sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"
>
>
> Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa
> yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa
> SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam
> KUHP
> yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per orangan
> yang
> mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk
> "perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang
> dipakai
> jika "pelajar menyerang guru"!
>
>
>
> Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar
> mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan oleh
> pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar membawa
> senjata api atau senjata tajam"...
>
>
>
> Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci
> beban mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia
> pergi ke sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas.
> Menurut saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua
> beban
> itu
> tanpa masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan
> anak yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.
>
>
> Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang
> sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak
> sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara
> lain
> kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya,
> Hafal
> Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di
> permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari
> sudut
> pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut
> berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat
> menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di
> masa
> depan.
>
>
> Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
> menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
> pada
> anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak
> jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *
>
> Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama),
> Jakarta
> --
>
> ----- End forwarded message -----
> --- End forwarded message ---
>
>
>
>
>
> AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN
SUMATERA UTARA !!!
> ================
> Kirim bunga, http://www.indokado.com
> Info balita: http://www.balita-anda.com
> Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke:
[EMAIL PROTECTED]
> Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
>
>


AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke