=============SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
---------------------------------
Surat Terbuka kepada Mendiknas:

Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!

Oleh Trisno S Sutanto



BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke lembaga
Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang
penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa
prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak
akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula
kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.

Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat
terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu yang
prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di
sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya, apa
yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada anak-anak
seusianya.

Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi ujian
kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup
terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan
terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang
sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada "Hari
Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke sekolah.
Alasannya sederhana: "Aku benci sekolah!" Sebagai orangtua, saya memang
dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut saya, model
pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya membiarkan
ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai kesempatan untuk
mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.

Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya sebagai
orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata
pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk apa dan
mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja saya pilih,
karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system pengajaran yang
(masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah begitu
banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.
Standar Kurikulum
Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing sekolah. Akan tetapi, pada
praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha memenuhi standar
kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai "ketinggalan" dari
sekolah-sekolah "favorit".  Apalagi, dalam sistem KBK, faktor pendidikan
guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan sebagai guru tradisional,
sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat menentukan. KBK
mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang terbuka,
seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai, dan
seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada umumnya.
Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya beri
contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling
tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, dan
khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer dan
PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta).
Itu berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 buku -
saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi ujian
kenaikan kelas.
Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja jumlah mata pelajarannya
sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing mata pelajaran sangat
rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa SLTP kelas II. Ini
mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa buku-ajar standar yang
dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri tidak memiliki waktu
cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar itu.  Jadi, izinkan saya
memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-ajar anak saya.

Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan mampu
memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, masing-masing
subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh mereka
yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan koperasi,
dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural, mental,
operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis, sampai
segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional dirinci
sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek budgeter,
APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan peraturan yang
terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I sampai
Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain. Ambil
contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan memahami
mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan (manusia
dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan), sistem saraf, sistem
indera, dan seterusnya.

Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara Diapedesis
dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus dan
di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana bagian
Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, tidak heran
jika seorang dosen biologi di sebuah universitas berkomentar, "Kalau SLTP
sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"

Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa
yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa
SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam KUHP
yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per orangan yang
mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk
"perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang dipakai
jika "pelajar menyerang guru"!


Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar
mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan oleh
pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar membawa
senjata api atau senjata tajam"...


Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci beban
mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi ke
sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas.  Menurut
saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu tanpa
masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan anak
yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.

Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang
sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak
sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara lain
kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, Hafal
Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di
permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari sudut
pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut
berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat
menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di masa
depan.

Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
pada
anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak
jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *

Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama),
Jakarta



--
Nazar Rahman



AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN SUMATERA 
UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke