Bagus nih buat dijadiin bahan renungan untuk yang
sudah punya anak, maupun yg baru mau akan bikin
anak... =================================================================================
Aku
Biasa - Biasa Aja !
Tahukah anda, apa yang paling dibanggakan orang
tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic, seperti
matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga
(kinestetik).
Tetapi, pernahkah kita membanggakan jika anak kita
memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan
interpersonal?
Rasanya jarang, sebab ketiga kecerdasan yang
terakhir hampir pasti uncountable, tidak bisa dihitung, dan sayang sekali
tidak ada pontennya (nilainya) di sekolah, karena di sekolah hanya
memberikan penilaian kuantitatif.
Ada sebuah cerita tentang seorang
anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak
sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di
sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja dilingkungan rumahnya.
Ada satu hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya. "Bu,
Ifa pinter sekali lho, Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia,
Menggambar....pokoknya pinter sekali....!" katanya santai. Vivi juga
pintar sekali menggambar, gambarnya bagus .sekali! Kalau si Yahya
hafalannya banyaaak... sekali !"
Ya memang Fani senang sekali
membanggakan teman-temannya. ketika mendengar celoteh anaknya ibunya
tersenyum dan bertanya, "Kalau mbak Fani pinter apa?"
Ia menjawab
dengan cengiran khasnya, "Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa saja".
Jawaban itu mungkin akan sangat biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun,
karena pada dasarnya Fani memang demikian. Ia biasa-biasa saja untuk
ukuran prestasi scholastic.
Tapi coba kita dengarkan apa cerita
gurunya, bahwa Fani sering diminta bantuannya untuk membimbing temannya
yang sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang
bertengkar.
Bahkan ketika dua orang adiknya, Farah (4,5 tahun ) dan
Fadila (2,5 tahun) bertengkar. Fani langsung turun tangan. "Sudah..!
sudah, Dek! Sama saudara tidak boleh bertengkar. Hayo tadi siapa
yang mulai?" Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur... Jujur itu
disayang Allah..! Sekarang salaman ya... saling memaafkan".
Pun
ketika suatu hari ia melihat baju-baju bagus di toko, dengarlah
komentarnya! "Wah bajunya bagus-bagus ya Bu? Aku sebenarnya pengin, tapi
bajuku dirumah masih bagus-bagus, nanti saja kalau sudah jelek dan Ibu
sudah punya rezeki, aku minta dibelikan ..." Ibunya pun tak kuasa
menahan air matanya, Subhanallah anak sekecil itu sudah bisa menunda
keinginan, sebagai salah satu ciri kecerdasan emosional.
Saya
sebenarnya ingin berbagi cerita tentang ini kepada anda, karena betapa
banyak dari kita yang mengabaikan kecerdasan-kecerdasan emosional seperti
itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes penerimaan pegawai, yang lebih
banyak diterima adalah orang yang mempunyai kecerdasan emosional walaupun
dari sisi kecerdasan scholastic adalah BIASA-BIASA SAJA.
Kadang
kita merasa rendah diri manakala anak kita tidak mencapai ranking sepuluh
besar disekolah. Tetapi herannya, kita tidak rendah diri manakala
anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang egois, mau menang sendiri,
sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.
Maka ketika Fani
mengatakan "AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya menjawab
"Alhamdulillah, mbak Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau
bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan mbak Fani,
diteruskan dan disyukuri ya..?"
Ya... ibunya ingin mensupport dan
memberikan reward yang positif bagi Fani. Karena kita tahu anak-anak kita
adalah amanah dan suatu saat amanah itu akan diambil dan ditanyakan
bagaimana kita menjaga amanah.
Sebagaimana doa kita setiap hari
agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.
Sudahkah kita
mencoba untuk menggali potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak
kita? Kalu belum mulailah dari diri kita, saat ini
juga.
|