Kalo saya mba...ngga pernah tuh nonton2 senitron.....liat iklannya aja 
BT,,,ngga ada bagus2nya.
Apalagi sesuai logika...contohnya mo bobo aja tuh muka penuh makeup, iye 
shadow, bulumata palsu dll.
Kayaknya takut banget jelek di tipi...belum lagi klo pas adegan tegang 
misal mukanya disorot berulang2 kyk film2 india itu..mana matanya melotot 
lagi...
Duh ngga cinta banget seh ma prod lokal......
Sekarang ini saya malah keranjingan en ketagihan nonton VCD2 korea, selain 
pemainnya ganteng2, cerita en actingnya natural lagi...
emm semalem sampe jam 12 nonton Vcd Memories of Bali....ada yg pernah ntn 
ngga?? duh..yg namaya Zaimin en Renxu.....emmmm cakep amat di 
bocah....hehehe....






"intan dima" <[EMAIL PROTECTED]> 
08/24/2005 01:47 PM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
<balita-anda@balita-anda.com>
cc

Subject
Re: [balita-anda] Email Berita : Meratapi Sinetron di Televisi






saya akhir2 ini lebih suka nonton film2 abege yg ceritanay hanya seputar 
indahnya naksir dan pacaran ehehhehe
ceritanya kesannya ngga kejam... gak ada ttg ibu tiri, kekerasan dalam 
rumah 
tangga, or semacamnya...... sinetron abege paling isinya hanya ngisi 
diari, 
curhat ama temen2nya, sirik2an ala anak smp/a....
dan yg pasti, mukanya seger2 :))~

ttg dokter yg dengan muka dingin memvonis umur pasien, itu emang yg punya 
ide naskah yg otaknay gak maju.... dia cuma ngikutin selera pasar tanpa 
mau 
usaha mendidik pasar menjadi leih smart,...... selain itu....emang 
aktornya 
aja yg bego gak bisa akting.... dah tau bego sama sutradaranya masi aja 
dipake..... dan kalao semua pasien smart, bisa2 pemerannya bukan anaknya 
lydia kandou, tapi para member di BA, kayak mbak sylvia, mbak luluk, 
mamakavin, alfin agung, de es be.....

kalo ttg iklan, saya suka liat iklan dari IDI ttg bahaya demam berdarah yg 

aktornya kayak pak SBY? yg isinya gini:

"HATI HATILAH DENGAN DEMAM BERDARAH!!!!!!!!!!! *SAMBIL NGACUNG2IN 
TELUNJUK*
"LEBIH BERHATI2 KALAU KETEMU SAYA!!!!  *ini karangan saya aja sendiri*



----- Original Message ----- 
From: <[EMAIL PROTECTED]>
To: <balita-anda@balita-anda.com>
Cc: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, August 24, 2005 1:04 PM
Subject: [balita-anda] Email Berita : Meratapi Sinetron di Televisi


Berikut kiriman berita dari teman Anda yang beralamat di:
[EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
Pesan Pengirim :
Sekedar Informasi
----------------------------------------

Rabu, 24 Agustus 2005 00:00 WIB

Meratapi Sinetron di Televisi
* Dana Iswara, pemerhati media dan masalah-masalah perempuan, Jakarta



TAYANGAN sinetron di televisi tampaknya pandai benar menimbulkan rasa
sedih. Ya, benar kesedihan. Sayang, kesedihan yang dimaksud di sini
bukan karena jalan cerita yang mengharukan. Bukan juga karena pemainnya
pandai berakting sedih.

Kesedihan di sini muncul karena rasa prihatin melihat perkembangan
sinetron kita yang seolah-hidup hadir di ruang hampa, yang mengabaikan
logika dan kecerdasan penontonnya dan menghadirkan representasi yang
buruk dari kaum perempuan. Berbagai adegan dan kalimat dalam sinetron
menunjukkan kecenderungan tersebut.

Suatu sore, ketika menonton sinetron berjudul Liontin, saya terhenyak
mendengar satu dialog antara seorang dokter dan pasiennya, seorang gadis
belia. Sang dokter berkata, ''Ternyata pusing-pusing yang kamu derita
bukan hanya karena stres atau kelelahan biasa, tetapi karena kamu
menderita leukemia...umurmu tak akan lebih dari tiga bulan lagi.''

Mungkinkah vonis seburuk itu disampaikan dengan nada dingin, tanpa
ekspresi, apalagi empati kepada si pasien? Mungkinkah dokter bekerja
secara mekanik tanpa empati? Dan mungkinkah si pasien (seorang gadis
yang digambarkan berpendidikan cukup) bisa begitu saja percaya pada
dokter, yang memvonis umurnya tinggal tiga bulan lagi tanpa repot-repot
memperlihatkan hasil laboratorium untuk mendukung diagnosisnya. Adegan
itu bagi saya cukup menunjukkan bagaimana produser dan penulis
skenarionya menganggap pasien mereka (dalam hal ini perempuan) adalah
makhluk pasif, tak punya hak tahu dan pasrah menerima masa depan
'nasibnya' begitu saja.

Sinetron-sinetron lainnya tak jauh berbeda. Sinetron Hikmah, misalnya.
Hikmah riuh dengan kata-kata pedas, kata hinaan dan caci maki. Berikut
ini penggalan kalimat dari sinetron itu: ''...kamu pikir kamu akan makan
dengan kita?, heh kamu hanya pantas makan makanan pembantu, makanan sisa
kita!'' Atau yang ini, ''... kamu bekas pelayan toko, mana bisa jadi
juru rawat?'' Sedangkan sinetron lain berjudul Liontin seolah hanya
sibuk mencari kata-kata hinaan, seperti ini, ''...saya tidak ingin Rendy
(anak laki-laki orang yang berbicara) punya hubungan dengan anak
sopir...'' ''Memang tidak ada perempuan lain selain anak sopir, ...
jodoh kamu adalah orang yang sejajar dengan kamu!''

Pada hemat saya, apakah itu pada periode sinetron misteri dan hantu,
atau periode cerita remaja dan anak sekolah yang marak sekarang ini, ada
satu ciri khas yang selalu diusung oleh sinetron kita, yakni
pertentangan antara rasa dengki, serakah, dan culas versi penderitaan,
kemalangan dan ketertindasan.

Akhir ceritanya sudah bisa ditebak, si cantik yang menderita dan
tertindas akan menang dan mendapat kebahagiaan. Tetapi sepanjang
penayangan, jalan cerita yang tidak melebar ke mana-mana serta
penggunaan logika adalah dua hal yang hilang dan tidak terasa penting.
Mungkin karena yang penting di sana adalah tema si baik melawan si
jahat, serta akhir cerita yang memenangkan tokoh yang menderita.

Yang juga menyedihkan, sinetron umumnya ditayangkan antara pukul 13
hingga 21 Waktu Indonesia Barat (WIB). Pada jam-jam itu pula umumnya
anak-anak ada di depan pesawat televisi. Tentu mereka bisa dengan mudah
mengakses acara sinetron yang sedang tayang. Jangan lupa, di antaranya
adalah (sinetron remaja) yang kadang-kadang (jika stasiun televisi tidak
lupa) sudah mencantumkan label SU (semua umur) sehingga secara sepintas
tampaknya itu adalah tontonan aman. Tapi, benarkah aman?

Kata-kata hinaan kepada pembantu, bekas pelayan toko, anak tiri, dan
sebagainya termasuk adegan menampar, membenturkan kepala, memukul dengan
sapu ada dalam tayangan sinetron antara pukul 13 hingga 19. Bahkan dalam
sebuah sinetron yang ditayangkan pukul 14 di Indosiar, terdapat adegan
anak perempuan berjingkrak-jingkrak gembira melihat seorang pria disiram
minyak tanah dan dibakar hidup-hidup! Sungguh amat sukar dipercaya.

***

Sudah barang tentu para penulis skenario dan produser sinetron punya
alasan sendiri mengapa kata-kata keras, keji, dan kasar digunakan dalam
sinetron mereka. Mungkin alasannya, yang disuguhkan adalah realita di
masyarakat. Setujukah kita dengan alasan itu? Adakah mereka ingat bahwa
sinetron-sinetron itu menggunakan televisi sebagai medium penayangannya,
yang artinya bisa diakses oleh penonton dari semua lapisan umur?

Sebagian besar sinetron televisi kita mengandung keganjilan-keganjilan
logika dan representasi yang buruk dari kaum perempuan. Saya tidak yakin
benar apakah itu semua 100% cerminan realita di masyarakat kita. Yang
pasti, mereka yang bertanggung jawab memproduksi dan menayangkannya,
yakni stasiun televisi (lokal dan nasional), produser, serta penulis
skenario di rumah produksi harus mulai memberi perhatian serius terhadap
hal ini dan melakukan perbaikan. Setidaknya ada tiga hal krusial yang
patut menjadi perhatian mereka.

Pertama, ada kecenderungan yang hampir merata pada sinetron-sinetron
sekarang untuk mengangkat tema 'yang lemah, yang terzalimi akan menang
dengan pertolongan Tuhan Yang Makakuasa'. Lihatlah judulnya, Tuhan Ada
di Mana-Mana, Hikmah, Di Balik Kuasa Tuhan, Kusebut NamaMu, Taubat, dan
sebagainya. Tidak itu saja, sinetron lain seperti Liontin, Tangisan Anak
Tiri, dan Bidadari juga mencoba menggapai rating tinggi dengan tema yang
sama.

Tokoh utama sinetron-sinetron ini umumnya adalah perempuan yang memiliki
sifat sabar, takwa pada Tuhan, jujur, berbaik sangka kepada siapa pun
dan seterusnya. Kita semua tentu sepakat, itulah nilai-nilai luhur yang
harus diteladani. Tetapi sayangnya, di dalam sinetron kita, orang yang
mempunyai sifat-sifat mulia justru digambarkan lemah, tak berdaya,
submisif, dan takut kualat kepada laki-laki. Tidakkah stasiun televisi,
para produser, serta penulis skenario sinetron mestinya sadar bahwa
alih-alih menyampaikan pesan 'luhur' dalam balutan hiburan, sinetron
mereka justru telah melanggengkan pandangan patriarkis dan stereotip
yang merugikan kaum perempuan?

Kedua, mari kita tengok dampak buruk sinetron terhadap anak-anak.
Kelompok anak-anak (3-10 tahun) sangat mudah menangkap dan menirukan
kata-kata kasar, adegan kekerasan, dan perbuatan merendahkan perempuan
yang mereka lihat. Meski perilaku buruk atau kriminal anak dan remaja
tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan kepada media, stasiun televisi dan
produser sinetron harus menyadari bahwa anak-anak ikut menonton
sinetron. Terutama jika ibu atau pengasuh mereka menjadi penonton
setianya. Dan mengingat tayangan televisi mampu membangkitkan respons
tidak sadar dari pemirsanya (baca: anak-anak), sinetron yang riuh dengan
caci maki serta adegan kekerasan bisa menjadi sesuatu lumrah dan umum
bagi anak-anak.

Ketiga, pada era di mana televisi adalah satu dari institusi ideologis
yang paling omnipotent dan omnipresent, mau tidak mau stasiun televisi
harus ikut mendukung kampanye antikekerasan terhadap perempuan. Tuntutan
ini amatlah tidak berlebihan, mengingat remaja kita terutama remaja
putri terus diiming-iming oleh hiburan yang tak bertanggung jawab dari
VCD/DVD porno, majalah porno, dan situs-situs internet. Pendidik dan
pengamat media Earle Barcus di dalam bukunya Images of Life on
Children's Television menegaskan, dewasa ini sedikit yang meragukan
bahwa anak-anak dan remaja belajar nilai-nilai, peran sosial, dan
tingkah laku dari tontonan televisi. Deskripsi di televisi tentang
kelompok minoritas, pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan
hubungan-hubungan dalam keluarga bisa memberi dampak mendalam terhadap
perilaku anak dan remaja di dalam masyarakat.

Oleh karena itu, sebagai industri kapitalistik, stasiun televisi dan
rumah produksi dituntut untuk tidak semata-mata mengejar keuntungan
materi. Persoalan tanggung jawab dalam melahirkan dan membina generasi
muda yang cerdas dan memiliki wawasan gender tidak hanya milik para guru
dan orang tua. Media televisi, sebagai institusi ideologis sebagaimana
dikatakan oleh Michel Foucault, harus berperan serta secara aktif. Di
antaranya tentu dengan menghadirkan sinetron yang menghargai logika
penontonnya.


----------------------------------------
Sumber: Media Indonesia Online
<http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?Id=2005082323143041>

Copyright © 2005 Media Indonesia Online. All rights reserved

AYO GALANG SOLIDARITAS UNTUK MEMBANTU KORBAN MUSIBAH DI ACEH & DAN 
SUMATERA UTARA !!!
================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke