---------- Forwarded message ----------
From: Rebecca Hutagalung <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Sep 26, 2005 10:06 AM
Subject: [Ida-Krisna Show] Fwd: "Malaikat Pencabut Nyawa itu Ternyata Lalat"
To: idakrisnashow@yahoogroups.com, [EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]


*Rebecca Hutagalung, S.Kom
*Child Health Dept. Univ. of Indonesia
SubDivision Nephrology
Diponegoro 70-71
Central Jakarta
Phone: 021-3915179

---------- Forwarded message ----------
From: "Rudy Lumban Tobing" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Mon, 26 Sep 2005 10:03:18 +0700
Subject: [parbada] "Malaikat Pencabut Nyawa itu Ternyata Lalat"


Malaikat Pencabut Nyawa itu Ternyata Lalat

Satu lagi temuan yang sangat berarti, lalat (Musca domestical) merupakan
"malaikat pencabut nyawa" yang selama ini
diremehkan kehadirannya, bahkan luput dari analis kesehatan.

Dengan bukti penelitian yang digarap kurang lebih dua tahun, ahli penyakit
hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada (UGM) Prof drh R Wasito MSc PhD bersama istrinya, yang juga
peneliti di fakultas yang sama Prof drh Hastari
Wuryastuti MSc PhD, menyimpulkan lalat merupakan vektor yang mengantarkan
avian influenza (AI) kepada manusia.

Meski belum mendapat lisensi internasional, kehadiran ahli virus dari
Amerika Serikat Prof Roger K dalam lingkup
penelitian mereka itu, cukuplah menjawab apa yang membuat heboh dunia
kesehatan belakangan ini.

Lalat. Mengapa harus lalat? Di Laboratorium Imunologi dan Molekuler UGM
itulah mereka mendapat jawaban. Dugaan sementara,
burung-burung liar, tikus, dan kecoa, mampu menjembatani AI kepada manusia
setidaknya terbantahkan.

Diteliti

"Prof Hastari yang pertama mengungkapkan kegelisahannya. Kalau semua tidak
terbukti, lalu apa? Istri saya itu curiga,
jangan-jangan serangga yang ada di sekeliling kita adalah penyebabnya. Nah,
sejak dua tahun lalu, kami diam-diam
mengumpulkan sample dan baru sekarang kami berani mempublikasikannya," ucap
Wasito, Rabu (21/9) di Yogyakarta.

Mantan Dirjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian itu lantas
mengemukakan, lalat yang dikumpulkannya dari
berbagai provinsi itu sedang dalam proses diteliti. Namun, ia sudah
menyimpulkan, setidaknya lalat Makassar dan
Karanganyar, Jateng, yang diambilnya di sekitar peternakan dan sebagian
lalat rumah, positif mengandung AI subtype H5 N1.
"Kami baru selesai memproses dua tempat itu, yang lain masih berjalan,"
ucapnya.

Rasa penasaran pasangan profesor itu berawal dari kota Makassar, yang
sebelum tahun 2004 tidak pernah mendapat kasus AI.
Namun, pada akhir 2004, AI langsung menyerang dengan ganas. "Itulah sumber
pertanyaannya. Dari mana AI itu menyerang?" ia
menjelaskan.

Jawabannya? Lalat, hewan yang hidup dan berkembang biak di semua tempat,
juga bisa tumbuh di feses binatang.

"Begitu bertelur di feses hewan yang positif AI, maka anak turunnya, sudah
membawa AI. Kita tidak pernah berpikir bahwa
sepatu kita juga bisa jadi sarana menempelnya telur lalat itu. Lalu dengan
mobilitas manusia, telur itu terbawa dan
berkembang biak di tempat lain. Nah, bayangkan, dari sepasang lalat, bisa
tumbuh triliunan lalat dalam jangka waktu 3
sampai 5 bulan," ia memaparkan.

Mukosa

Meski sudah cukup berani menyampaikan hasil penelitiannya itu, Wasito
mengaku belum bisa memastikan, bagian mana dari
lalat yang mengandung AI itu. Hal itu, menurutnya, masih memerlukan
penelitian yang lebih mendalam, karena untuk sementara
lalat memang dihancurkan untuk mendapatkan selnya.

"Sedang untuk menentukan lokasi pastinya, apakah di bagian kaki atau
tubuhnya, butuh bedah anatomi kan?" kata Wasito.

Lalu, bagaimana pula sampai bisa menularkan AI kepada manusia? Satu-satunya
yang paling pasti adalah lewat mukosa
(kelenjar) saluran pernapasan dan itu bukan karena udara. "Tepatnya, kalau
kita dengan tidak sengaja mengorek hidung dalam
kondisi tangan kotor, dan AI menempel, maka virus itu akan melekat di
kelenjar mukosa yang di dalamnya terdapat reseptor
virus," ia menjelaskan.

Satu-satunya upaya untuk menolak kehadiran "malaikat maut" itu adalah
sanitasi lingkungan dan menumpas habis kehadiran si
lalat itu.

Berkaitan dengan kesimpulan sementara penelitiannya itu, Wasito mengatakan
yang baru merespons positif adalah Pemerintah
Jawa Timur. Gubernur Jatim sudah mengeluarkan kebijakan dan dana untuk
diaplikasikan sampai ke tingkat rumah tangga dengan
menggerakkan seluruh aparat dan PKK," ujarnya.

Ia mengakui, yang jelas, masih banyak lalat dari berbagai daerah, menunggu
untuk diuji. Beralih ke unggas yang selama ini
jadi momok, Wasito justru menekankan bahwa usaha peternakan besar, sudah
melakukan upaya mandiri dan melakukan biosecurity
dengan baik.

"Pekerja di peternakan besar justru tidak tertular flu burung. Saat ini,
justru yang harus mendapat perhatian serius
adalah peternakan-peternakan milik rakyat. Manajemennya harus dibenahi.
Hindarkan ayam-ayam berkeliaran," katanya.

Terbagi Dua

Profesor spesialis penyakit hewan itu juga memaparkan, hingga detik ini,
hanya tinggal dua negara di dunia yang memberikan
vaksin kepada unggas. Negara itu adalah Indonesia dan Cina.

Berdasarkan tingkat patogenitas (kemampuan menyebabkan sakit), Wasito
menjelaskan virus AI terbagi atas dua, yaitu HPAI
(Highly Pathogenic Avian Influenza) dan LPAI (Low Pathogenic Avian
Influenza). Namun, dalam perkembangannya, karena tipe
virus itu adalah tipe abnormal, suatu saat low pathogenic bisa berubah
menjadi highly pathogenic.

"Selain itu, belum tentu saat ini AI di Indonesia hanya tipe H5 N1. Mungkin
sudah menjadi H5 N20 atau mungkin ada tipe
baru lagi yang muncul. Jadi vaksinasi H5 N1 itu akan percuma," katanya.

Di negara lain, katanya, unggas positif AI lebih baik dimusnahkan dengan
cara dibakar dan dikubur. Itu jalan satu-satunya
dan setelah itu sanitasi lingkungan ternak sebelum kembali memulai.

Soal kematian Rini Dina, Riska, dan keluarga Iwan, Wasito sangat tidak
setuju dengan sikap pemerintah yang banyak
mengandalkan kata-kata "diduga". Padahal, untuk memastikan apakah mereka
benar-benar positif flu burung atau tidak, tidak
perlu mengirim sample ke Hong Kong.

"Kirim pada kami, jawabannya pasti, dan tidak usah menunggu lama. Cukup dua
sampai tiga hari, kami bisa menganalisis darah
dan sel jaringan," katanya.

Wasito juga mengkritik apakah karena harus ikut prosedur, Pemerintah
Indonesia tidak percaya diri kalau bangsanya juga
bisa melakukan tes.

"Kami memiliki laboratorium yang mampu menganalisisnya. Ya memang kecil,
tetapi yang penting SDM-nya. Okelah kalau itu
prosedur, namun data bandingan juga dibutuhkan untuk sesegera mungkin
mengantisipasi dan mengambil tindakan," ia
menegaskan.

Pembaruan/Fuska Sani Evani
Last modified: 23/9/05
Suara Pembaruan Daily

Hangtuah Digital Library

Kirim email ke