ngga papa lageeee...lama2 kan punya anak juga bayar pajak :=)))




[EMAIL PROTECTED] 
10/21/2005 09:51 AM
Please respond to
balita-anda@balita-anda.com


To
balita-anda@balita-anda.com
cc

Subject
Re: [balita-anda] ohh...nasib (UU Pajak Baru th.2006)






Bingung deh, kok jadi mili pajak seeeehhhhh
Tolong donk....



  
                      [EMAIL PROTECTED]   
                      com                      To: 
balita-anda@balita-anda.com  
                                               Subject: [balita-anda] 
ohh...nasib (UU Pajak Baru th.2006) 
                      10/21/2005 10:14   
                      AM   
                      Please respond   
                      to balita-anda   
  
  
  
  






Apa yang hendak dicapai RUU Perpajakan ?

Oleh Mar'ie Muhammad Mantan Menteri Keuangan

Sumber : Bisnis Indonesia, 17 Oktober 2005*





Para pembaca dan masyarakat hendaknya siap-siap untuk setiap saat 
dipanggil
petugas pajak. Tindakan ini tentu berkaitan dengan kewajiban perpajakan
yang
harus Anda penuhi.



Petugas pajak pasti akan semakin galak di masa mendatang. Kita tidak perlu
heran dengan sikap tersebut karena target penerimaan pajak yang ditimpakan
kepada petugas pajak berlipat ganda. Demikian pula para wajib pajak akan
dilipat-gandakan, sehingga mereka yang harus memasukkan SPT ditargetkan
mencapai di atas 10 juta. Padahal, sekarang baru sekitar 3 juta wajib
pajak.




Keadaan menjadi lebih musykil karena penggelembungan penerimaan pajak,
pembayar pajak, dan kekuasaan aparat pajak dilaksanakan di tengah himpitan
kesulitan ekonomi dan bisnis yang dihadapi masyarakat dan dunia usaha
akibat
kenaikan harga BBM. Akal sehat menyimpulkan penerimaan pajak biasanya
meningkat sebanding dengan ekonomi yang semakin bergairah.



Tetapi Indonesia penuh keanehan, penerimaan pajak justru akan digenjot di
tengah ekonomi yang menurun. Bahkan semakin santer suara, Indonesia 
diancam
stagflasi. Inilah ironi yang akan dihadapi setelah RUU Perpajakan 
disetujui
DPR menjadi UU, yang kelihatannya tinggal hitungan hari.



Aparat pajak sekarang sangat sibuk dan getol menyiapkan berbagai perangkat
dan peraturan pelaksanaan RUU yang telah diajukan pemerintah ke DPR itu.
Hal
ini karena mereka optimistis RUU itu mulai diberlakukan awal tahun depan.
Tidak ada sesuatu yang salah sebenarnya jika pemerintah berbulat hati
hendak
menaikkan jumlah pembayar pajak yang memang masih sangat rendah
dibandingkan
dengan negara di Asia Tenggara. Tetapi yang perlu didalami adalah apa yang
hendak dicapai dengan RUU Perpajakan?



Ini merupakan masalah mendasar ketimbang sekadar langsung membahas kata
demi
kata yang mati dalam RUU tersebut. Jika kita menyimak dan merangkum secara
menyeluruh RUU Perpajakan, tidak ayal lagi yang hendak dicapai adalah
peningkatan penerimaan pajak secara signifikan dalam jangka pendek, selain
peningkatan besar-besaran jumlah pembayar pajak. Istilah pembayar pajak
lebih baik digunakan untuk menggantikan istilah wajib pajak. Ini karena
pembayar pajak seakan-akan hanya mempunyai kewajiban tanpa hak.



Sebagai mantan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, saya sepenuhnya sepakat
bahwa Indonesia masih memiliki potensi besar untuk meningkatkan penerimaan
pajak. Karena itu, potensi tersebut harus terus digali. Peningkatan
penerimaan pajak bertujuan agar anggaran belanja semakin sehat dan defisit
anggaran dapat ditekan guna mencapai fiscal suistanability. Tetapi di lain
pihak, kita harus berhati-hati, jangan sampai maksud baik ini menimbulkan
dampak kontra produktif yang akan semakin menyulitkan perekonomian
nasional.




Ada beberapa tinjauan kritis yang perlu digeluti dan diperbincangkan yang
bermuatan substansi prinsipal. Misalnya, apakah RUU Perpajakan itu telah
benar-benar menerapkan asas keadilan dalam pembayaran pajak. Apakah pula
substansi RUU Perpajakan itu benar-benar bersahabat dengan dunia usaha.
Lalu
perlu ditanyakan apakah RUU Perpajakan itu dapat mendorong investasi,
terutama di bidang atau daerah yang diprioritaskan? Perlu ditanyakan pula,
apakah cukup sudah perangkat yang mengawasi tingkah laku petugas pajak
sehari-hari dengan kekuasaan yang begitu besar?



Dalam hal ini apakah tidak sebaiknya dibentuk Ombudsman Pajak sebagai 
badan
independen terhadap pemerintah dan hal itu diatur dalam UU Perpajakan yang
baru? Ombudsman ini terutama berfungsi menampung berbagai keluhan pembayar
pajak, menyaringnya, dan selanjutnya menyampaikannya kepada Menkeu dan
Dirjen Pajak. Dalam rangka transparansi, secara berkala Ombudsman Pajak
menyiarkan temuannya di berbagai media masa. Aspek keadilan



Keadilan dalam pembayaran pajak tidak sekadar tercermin dalam tarif pajak
yang progresif sebagai faham konvensional yang dianut hingga saat ini.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah apakah hak para pembayar pajak
dilindungi? Jadi, harus ada keseimbangan antara kewajiban dan hak sebagai
pembayar pajak. Melalui UU, harus ada garansi objektif bahwa petugas pajak
tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap pembayar pajak yang telah
menyetor sebagian penghasilan mereka kepada pemerintah tanpa diberikan
imbalan apa pun secara langsung. Dalam kaitan ini, ramai dibicarakan
mengenai kasus kealpaan oleh wajib pajak (Pasal 38, RUU Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan) yang dapat dikenakan sanksi pidana. Menurut pasal
itu,
jika kealpaan tersebut menimbulkan kerugian negara, wajib pajak dapat
dikenakan sanksi pidana kurungan dan atau denda. Mengingat penerapan 
aturan
perpajakan tidak matematis dan umumnya masyarakat tidak menguasai aturan
perpajakan dan aturan perpajakan banyak yang intepretatif (tergantung dari
intepretasi petugas pajak), maka sebaiknya kita kembali kepada prinsip
pajak, yaitu untuk penerimaan negara.



Jadi, jika indikasinya cukup bahwa pembayar pajak hendak melalaikan dengan
sengaja pembayaran pajaknya, dikenakan sanksi denda dan berikan sanksi 
yang
berat. Hukuman pidana hanya dikenakan melalui putusan pengadilan, hal ini
penting agar ada kepastian hukum dan tidak menjadi alat tarik ulur antara
petugas pajak dan pembayar pajak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah
mengenai keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan pembayar pajak.
Menurut paradigma lama, kepentingan pemerintah sama dengan kepentingan
negara harus diubah dan pemerintah hanya salah satu stakeholder untuk
menjaga kepentingan negara. Ini karena masih ada stakeholder lain, yaitu
DPR, kelompok kepentingan, dunia usaha, dan masyarakat sipil.



Dalam RUU ini nyata sekali bahwa kepentingan pemerintah yang diasosiasikan
dengan kepentingan negara di atas semuanya dan kepentingan masyarakat
ditempatkan di bawah kepentingan pemerintah. Dalam pasal 36A RUU Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa jika petugas pajak, dalam
melaksanakan tugasnya tidak sesuai UU Perpajakan yang berlaku sehingga
merugikan negara, maka petugas pajak dapat dikenakan sanksi sesuai
ketentuan
peraturan perundang-undangan. Artinya, petugas pajak dapat dihukum karena
melakukan tindak kejahatan (pidana). Tetapi di lain pihak, dalam pasal 
yang
sama disebutkan bahwa jika petugas pajak dengan sengaja menyalahgunakan
wewenang dan atau melanggar hak-hak perpajakan wajib pajak, dapat diadukan
ke unit internal Departemen Keuangan. Jadi, jika pegawai pajak merugikan
negara dipidana. Tetapi jika dengan sengaja menyalahgunakan wewenang
sehingga melanggar hak-hak perpajakan, maka wajib pajak hanya diadukan ke
unit internal Depkeu. Di sini nyata sekali bahwa asas keadilan dalam hukum
perpajakan telah diabaikan. Kepastian hukum



Bagi pembayar pajak, termasuk dunia usaha, kepastian hukum di bidang
perpajakan sebenarnya lebih utama ketimbang tarif pajak yang lebih rendah.
Namun pengenaan tarif pajak yang lebih rendah tentu merupakan pemanis dan
dapat memberikan daya tarik bagi dunia usaha dan investor. Dalam RUU itu,
untuk badan, sejak 2005 akan diterapkan tarif tunggal sebesar 30%. Tarif
ini
kemudian diturunkan menjadi 28% sejak 2007 dan tarif tunggal 25% sejak
2010.
Dengan pengenaan tarif tunggal 30% untuk badan, maka secara praktis pajak
yang harus dibayar badan atas laba yang mereka peroleh pada 2005 dan 2006,
akan lebih besar dibandingkan dengan yang berlaku saat ini.



Kita tidak perlu khawatir dengan penurunan tarif pajak jika kita
benar-benar
berhasil dalam ekstensifikasi sesuai program pemerintah, meningkatkan
kepatuhan sukarela, meningkatkan kepastian hukum tanpa pandang bulu, dan
meminimalkan kebocoran dalam pembayaran pajak. Karena itu, perlu 
dipikirkan
agar tarif tunggal 25% dapat segera diberlakukan supaya tarif pajak kita
kompetitif dengan negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Saat 
ini
pembayar pajak yang menjalankan usaha biasanya diperiksa berkali-kali. Ini
karena setiap objek pajak dapat diperiksa dan hal ini tentu mengganggu
iklim
usaha dan terlalu banyak tenaga yang dikeluarkan untuk melayani 
pemeriksaan
pajak.



Dalam setiap pemeriksaan, pembayar pajak harus mengeluarkan semua buku dan
catatan yang diminta petugas pajak. Dalam RUU itu, seharusnya diatur
ketentuan mengenai pemeriksaan pajak yang menyeluruh (all taxes audit
system) yang menyangkut semua obyek pajak, baik pajak penghasilan dan 
pajak
pertambahan nilai maupun objek pajak yang lain, sehingga wajib pajak tidak
perlu diperiksa berkali-kali dalam satu tahun atau masa tertentu. Insentif
fiskal



Janji Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye masih mengiang di telinga.
Yudhoyono, dalam berbagai kesempatan saat itu, berjanji akan melakukan
reformasi perpajakan yang bersabahat bagi dunia usaha dan memberikan
insentif fiskal untuk menarik investasi. Banyak analisis di dalam dan luar
negeri yang skeptis. Mereka sungguh meragukan apakah RUU Perpajakan ini
memenuhi janji tersebut.



Hal ini merupakan komitmen bagi pemerintah yang diulang kembali oleh 
Kepala
Negara saat bersafari ke AS beberapa waktu lalu. Masih terbuka celah untuk
melakukan perbaikan dalam RUU ini sehingga memenuhi komitmen itu. Selain
penurunan tarif pajak serta kepastian hukum dan keadilan bagi pembayar
pajak, sebagaimana yang disarankan di atas, perlu misalnya dibuka
kemungkinan bagi bidang investasi tertentu agar diberikan insentif fiskal
dalam bentuk kompensasi kerugian yang lebih panjang. Dalam RUU ini,
kompensasi kerugian dibatasi hanya lima tahun (Pasal 6 ayat (2) Pajak
Penghasilan) dan berlaku bagi semua bidang usaha dan daerah.



Saat ini kita bergelut dengan masalah BBM. Ini karena semakin nyata
konsumsi
domestik BBM meningkat tajam dan produksi stagnan, bahkan menurun. Perlu
diberikan insentif dalam bidang ini, misalnya, kompensasi kerugian di
bidang
migas, dapat diperpanjang hingga 10 tahun. Hal ini tentu dikaitkan dengan
ketentuan mengenai cost recovery di bidang migas. Kita juga bergelut
mengenai kebutuhan prasarana ekonomi dan pemerintah pun tidak memiliki 
dana
yang cukup untuk pembangunan prasarana seperti pembangkit listrik, jalan,
pelabuhan, dan sebagainya. Di bidang pembangunan prasarana yang padat 
modal
dengan jangka waktu investasi yang panjang, perlu diberikan insentif dalam
bentuk kompensasi kerugian hingga dua kali sehingga mencapai 10 tahun.



Demikian pula untuk daerah terpencil dan di luar Jawa umumnya. Perlu
dipikirkan bagi para investor yang menanamkan modal di luar Jawa dengan
investasi yang cukup besar dan berjangka panjang, kepada mereka diberikan
juga insentif fiskal dalam bentuk kompensasi kerugian hingga 10 tahun. 
Saat
ini pemerintah tampaknya berkonsentrasi habis-habisan untuk meningkatkan
penerimaan pajak tetapi penghematan dalam pengeluaran negara masih
merupakan
angan-angan. Lihat, misalnya, pemekaran daerah yang sama artinya dengan
memperbesar armada birokrasi yang tidak rasional terus dilakukan.



Banyak penghematan pengeluaran negara yang masih dapat dilakukan dan hasil
penghematan itu bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai
negeri, termasuk pegawai pajak, agar tidak berbuat macam-macam. Sekarang
aparat pajak sudah menggebu-gebu melaksanakan tugas mereka. Tugas ini 
tentu
akan didukung masyarakat jika dilaksanakan secara jujur dan sama rata bagi
semua pembayar pajak.



Masyarakat tentu menunggu kapan petugas pajak betul-betul berani memeriksa
secara konsekuen pembayar pajak yang termasuk kelompok pembesar di negeri
ini, seperti anggota DPR, para menteri, pimpinan lembaga negara, bahkan
sampai Wapres dan Presiden sekali pun. Kapan masyarakat menyaksikan sang
menteri sebagai pembayar pajak dipanggil ke kantor pajak sebagaimana
layaknya kaum kawula yang tak henti-hentinya dikejar-kejar petugas pajak?





___________________________________________



PT Wisma Nusantara International

Payroll & Tax Article 21 Officer (HQ)

Albert Yakob

 <mailto:[EMAIL PROTECTED]> [EMAIL PROTECTED]

Ext    : +6221 3900909 (6537)
Facs : +6221 31930927

___________________________________________







================
Kirim bunga, http://www.indokado.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Stop berlangganan/unsubscribe dari milis ini, e-mail ke: 
[EMAIL PROTECTED]
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke