Oleh Dr. Handrawan Nadesul

Dalam keadaan sekarang ini hidup terasa semakin sulit. Segala hal menjadi
mahal. Dulu, jika sakit, tinggal pergi ke dokter. Tapi sekarang ini banyak
orang yang tidak bisa selalu menebus obatnya, jika pergi ke dokter.

Sama seperti harga barang lain, harga obat pun ikut-ikutan terbang ke
langit. Sementara upaya untuk mengobati diri sendiri pun bukan tanpa bahaya.
Jika yang diobati sendiri bukan penyakit ringan, ongkos pengobatannya
menjadi lebih besar. Misalnya, jika harus dirawat di rumah sakit. Memang ada
kondisi yang bisa diobati sendiri dengan obat warung. Tapi ada saatnya pula
kapan harus ke dokter, serta bagaimana bersikap kritis dan rasional dalam
penggunaan obat.

Berikut ini ada sepuluh panduan yang mungkin bisa dimanfaatkan agar lebih
efisien dalam berobat.

1. Tidak semua keluhan sakit memerlukan obat.

*Betul.* Bagaimanapun obat menjadi "racun" jika salah alamat dan dipakai
secara berlebihan. Sekalipun itu obat warung, pasti ada efek sampingannya.
Lebih-lebih jika sering dipakai. Efek sampingan obat sakit kepala terhadap
ginjal dan hati, misalnya. Orang Amerika sudah jera, sebab obat sakit kepala
(aspirin) dulu diperlakukan masyarakat mirip kacang goreng. Sakit kepala
sedikit, langsung minum obat.

Pihak yang konservatif lebih takut menggunakan obat, sehingga tidak
sebentar-sebentar minum obat. Betapa ringannya pun obat itu pasti ada efek
buruknya bagi tubuh. Mereka yang bergerak di bidang pengobatan alternatif
merasa prihatin atas pemakaian bahan kimia obat pada tubuh. Pengobatan
homeopathy, mixobition, prana, orthomoleculer medicine, accupressure, maupun
akupungtur, sebetulnya hendak menjauhkan tubuh dari imbas bahan kimiawi
obat. Jika masih bisa sembuh atau meringankan tanpa obat, sebaiknya tidak
memilih obat.

2. Tidak semua obat menyembuhkan penyakit.

*Memang, *tidak semua obat menyembuhkan penyakit. Jika pemakaian obat yang
sama untuk waktu lama tidak mengubah penyakit, mungkin obatnya memang tidak
tepat. Dalam keadaan begini, sebaiknya obat segera dihentikan. Prinsip dalam
memakai obat memperhitungkan unsur manfaat dan melupakan efek buruknya. Jika
masih punya manfaat, efek buruk obat boleh dilupakan. Tapi jika minum obat
tidak memberi manfaat, orang cuma memikul efek buruknya. Ini yang harus
dicegah.

Banyak pasien kanker juga tidak sudi diberi obat, sebab efek buruk obat
kanker dianggap menyengsarakan: rambut rontok, kulit jelek, dan sel darah
rusak. Karena manfaatnya cuma memperpanjang hidup dan efek buruknya dirasa
menyengsarakan, maka orang tidak memilih obat.

Obat menjadi tidak bermanfaat kalau dokter salah mendiagnosis. Pemakaian
obat untuk penyakit baru yang tanpa reaksi kesembuhan harus dicurigai. Dalam
hal ini selain salah mendiagnosis, bisa saja dokter salah memberi obat, atau
obatnya memang palsu.

Rata-rata obat sudah memberikan reaksi setelah beberapa kali diminum. Obat
suntik segera memberikan reaksi. Jika tidak ada reaksi sama sekali, tanyakan
pada dokternya. Melanjutkan obat tanpa khasiat, selain merugikan kocek, juga
memikul efek buruk obat.

3. Tidak semua obat dalam resep harus diterima.

*Benar.* Dalam meresepkan obat, dokter berpola pada dua hal. Pertama,
memberikan jenis obat untuk meringankan keluhan dan penderitaan pasien.
Jenis obat ini sebetulnya perlu tidak perlu. Jika pasien bisa tahan dengan
keluhan demam, nyeri, batuk, mual, atau muntahnya, dan dokter memperkirakan
tidak akan mengancam jiwa, obat pereda keluhan dan gejala tidak begitu
perlu.

Yang lebih perlu tentu obat pokok. Obat ini yang membasmi atau meniadakan
sumber penyakitnya. Kalau infeksi, ya, antibiotiknya. Kalau darah tinggi,
ya, penyebab darah tingginya. Soal pereda demam, pereda nyeri kepala,
pusing, boleh diberi boleh tidak.

Orientasi dokter sering memihak pada permintaan pasien. Kebanyakan pasien
mengira keluhan dan gejala yang mereda identik dengan sembuh. Karena itu
pasien (dan sering-sering juga dokter) lebih mementingkan obat simptomatik
daripada obat untuk meniadakan penyebab penyakitnya. Dengan atau tanpa obat
simptomatik, asal pilihan obatnya tepat, sebetulnya penyakit akan sembuh
juga.

4. Mutu obat tidak ditentukan oleh harganya.

*Bukan *sebab harganya tinggi maka obat lebih bermutu. Semua obat generik,
yang meniru obat aslinya, jika dibuat dengan standar pembuatan obat yang
baik (CPOB), pasti sama manjurnya.

Banyak kali kesembuhan pasien ditentukan pula oleh faktor psikisnya. Rasanya
kurang tokcer kalau tidak minum obat mahal. Pasien dari awal sudah tidak
percaya pada obat yang berharga rendah. Sugesti begini bisa berpengaruh
terhadap proses kesembuhan dan memang bisa tidak sembuh betulan. Efek
placebo begini banyak menghantui orang kota. Imbasnya, dokter yang tak mau
dianggap kurang bonafid akan selalu memberi resep yang mahal, walaupun ia
tahu ada pilihan yang lebih murah. Takut pasien nggak sembuh. Padahal obat
sama yang lebih murah mengobati lebih banyak pasien (di pedesaan) yang dari
awalnya memang percaya saja.

5. Kebanyakan obat bisa menimbulkan penyakit baru.

*Benar.* Orang sekarang doyan sekali banyak minum berbagai jenis obat
sekaligus. Minum obat jadi kebanggaan. Padahal di negara-negara maju, orang
mampu pun semakin membatasi pemakaian obat.

Semakin berderet resep yang diberikan dokter, mungkin saja bisa mencerminkan
keragu-raguan dokter. Tapi itu juga bisa untuk menenteramkan hati pasien,
yang dianggap dokter punya efek menyembuhkan juga.

Banyak ahli obat mencemaskan kecenderungan dokter sekarang yang menulis
resep lebih banyak. Resep yang disebut bersifat polypharmacy menjadikan
perut pasien mirip apotek. Semua jenis obat masuk. Hal ini sering tidak
rasional.

Pemakaian obat secara berlebihan yang tidak jelas manfaat dan tujuannya,
jelas merugikan pihak pasien. Kasus kesalahan pihak dokter dalam memberi
obat atau iatrogenic menjadi pembicaraan masyarakat modern. Kini, semakin
banyak kasus orang sakit akibat kebanyakan obat yang tidak perlu. Penyakit
iatrogenic sedang dicemaskan masyarakat yang sadar akan bahaya obat.

6. Pasien tetap punya hak bertanya.

Kesalahan selama ini sebab pasien tidak memanfaatkan haknya untuk bertanya
pada dokter yang memeriksanya. Jangankan bertanya obat yang diberikan, soal
apa penyakitnya pun sering pasien belum tahu. Pasien cenderung menerima saja
apa yang dikatakan dan diberikan dokter.

Di pihak lain, kondisi yang tersedia pada kebanyakan dokter di negara
berkembang kurang cukup waktu bagi dokter untuk menjawab pertanyaan pasien.
Dokter berpikir, yang penting sembuh, pasien tak perlu banyak bertanya.

Namun dalam hal obat, pasien perlu bertanya. Kultur pasien di Barat selalu
memanfaatkan haknya untuk bertanya. Bahkan bertanya apa saja, sebab memang
kewajiban dokter untuk menjelaskan, apa yang dilakukan dokter terhadap diri
pasiennya. Termasuk obat apa yang diberikan, bagaimana cara kerjanya, apa
efek buruknya, dan seterusnya.

Pasien yang banyak bertanya menguntungkan dirinya dalam banyak hal. Begitu
juga dalam hal resep yang dia terima. Mestinya, pasien menanyakan
jenis-jenis obat yang diresepkan dokter. Apa gunanya dan apa bahayanya.
Apakah boleh dikurangi? Misalnya, obat-obat yang cuma meringankan keluhan
dan gejala, apa bisa dicoret dari resep atas kesepakatan dokternya.

7. Apotek tidak berhak menukar obat lain dari yang ditulis dokter.

*Ya,* acap kali terjadi apotek menukar obat yang tidak sesuai dengan yang
dituliskan dokter tanpa sepengetahuan dokter. Motifnya lebih karena alasan
ekonomi. Mungkin obat yang diminta dokter memang tidak ada. Agar pasien
tidak mencari ke apotek lain, apotek menukarnya sendiri dengan obat yang
sama dari pabrik yang lain.

Mungkin juga sebab kenakalan apotek, misalnya sengaja menukarnya dengan obat
yang walaupun sama tapi harganya lebih tinggi, atau yang memberi untung
lebih besar bagi apotek. Ini berarti merugikan kocek pasien, padahal khasiat
kesembuhannya tidak berbeda. Sekali lagi obat yang lebih tinggi harganya
tidak berarti selalu lebih manjur.

8. Tidak semua obat harus dihabiskan.

Pasien sering bingung apa obat yang diberikan dokter perlu dihabiskan atau
tidak. Juga karena komunikasi pasien - dokter yang buntu, pasien dirugikan
sebab memakai obat secara salah. Sebab, tidak semua obat yang diberikan
dokter perlu dihabiskan. Obat jenis simptomatik, yaitu untuk meredakan
keluhan dan gejala pasti tidak perlu dihabiskan. Hanya diminum kalau keluhan
dan gejalanya masih ada atau muncul lagi.

Obat yang masih sisa sebaiknya disimpan baik-baik. Jika tahu indikasinya,
obat yang disimpan baik bisa dipakai kembali jika mengalami keluhan yang
sama.

9. Tidak setiap kali sakit perlu ke dokter.

*Benar.* Demi penghematan dan efisiensi, masih arif kalau tidak selalu pergi
berobat setiap kali sakit.

Untuk dapat berperan demikian tentu perlu pengetahuan medis dari bacaan dan
pergaulan. Jika batuk pilek saja, bisa minum obat sendiri. Begitu juga jika
mulas, pening, pusing, atau mual.

Hampir kebanyakan penyakit harian, biasanya akan sembuh sendiri walaupun
tidak diobati. Tubuh kita punya mekanisme penyembuhannya yang besar.
Intervensi obat yang terlalu cepat atau berlebihan justru mengganggu
mekanisme alamiah tubuh.

Obat warung dibutuhkan jika orang sudah merasa terganggu dengan keluhannya.
Misalnya, peningnya bikin susah tidur, atau mualnya sampai nggak bisa makan,
obat baru diperlukan. Selama bisa tanpa obat, biarkan tubuh menyembuhkannya
sendiri.

Jadi, kapan kita harus ke dokter? Yaitu bila keluhan dan gejala yang sama
tidak menghilang sampai beberapa hari. Atau keluhan dan gejala yang sama
berkembang progresif. Semakin hari keluhan dan gejalanya semakin berat. Ini
tanda penyakitnya bertambah parah dan perlu intervensi medis.

Batuk-pilek lebih dari seminggu pun perlu diwaspadai. Siapa tahu sudah
radang paru-paru, sinusitis, atau congekan. Mengobati sendiri memang tidak
selamanya aman, selain berisiko membiarkan penyakit telanjur bertambah
parah. Tapi dengan pengetahuan dan wawasan medis yang semakin banyak, di
saat harga obat dan berobat menjadi semakin mahal, upaya pengobatan sendiri
menjadi pilihan untuk efisiensi.

10. Banyak upaya untuk pencegahan bisa dilakukan.

Motto lebih baik mencegah daripada mengobati harus diingat kembali.
Sebetulnya, banyak upaya bisa dilakukan supaya tidak gampang sakit.

Pertama, kondisi tubuh jangan sampai diperlemah. Dalam kondisi seperti
sekarang, stres bisa merusak badan juga. Orang kurang doyan makan, menu
menurun mutunya, istirahat terganggu sebab semakin susah tidur, pekerjaan
bertambah berat karena harus cari tambahan kiri-kanan. Semua itu memperburuk
pertahanan tubuh.

Dalam kondisi pertahanan tubuh yang buruk penyakit mudah menyerang. Selain
infeksi, maag, darah tinggi, herpes zoster, sering flu, atau kena virus lain
yang kesemuanya lazim menyerang orang dengan kondisi tubuh yang dibiarkan
menurun terus. Dalam keadaan seperti sekarang ini, tetaplah hidup teratur.

Dalam musim penghujan perlu membuat tubuh lebih hangat. Pilih menu yang
hangat, seperti soto, sop, dan berprotein tinggi. Jauhkan menu dan jajanan
yang dingin seperti gado-gado, rujak, asinan, buah dingin, masakan Padang,
serta semua yang dihidangkan secara instan, tidak panas, atau dimakan
mentah.

Ketika tubuh mulai terasa kurang enak, stop kerja berat, makan makanan yang
lebih banyak mengandung protein (daging, ikan, susu, telur), dan
beristirahat lebih banyak atau lebih sering. Jika merasa lesu dan mengantuk
berarti tubuh memang mengajak kita untuk beristirahat. Isyarat ini jangan
dilawan. Kalau memang maunya tidur terus, bawalah tidur dan jangan melakukan
aktivitas apa pun, sekali pun menonton TV atau membaca.

Banyak penyakit yang menyerang orang yang tubuhnya sedang lemah. Semua
penyakit virus, termasuk demam berdarah (yang kini cenderung menyerang orang
dewasa juga, selain anak-anak), cacar air, herpes zoster dan herpes simpleks
mulut, flu, dan banyak penyakit perut disebabkan oleh virus dari jajanan dan
lingkungan kotor.

Semua ancaman di sekitar kita tidak mungkin kita redam. Yang bisa dilakukan
hanya membuat tubuh lebih kuat dengan menu bergizi, cukup beristirahat, dan
olahraga untuk melawan semua ancaman itu. Jika tubuh terasa loyo, mungkin
diperlukan vitamin C, E, dan mineral lebih banyak, selain buah dan
sayur-sayuran.

Kirim email ke